Bukti Keseriusan Ananda Sukarlan dan Mesty Ariotedjo untuk Musik Klasik

Fimela Editor diperbarui 05 Jul 2011, 12:59 WIB

Ananda Sukarlan, pianis yang lama menetap di Spanyol, bersama Mesty Ariotedjo, pemetik harpa dan peniup flute yang masih menyandang status sebagai mahasismi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, kompak bersatu untuk membuat perubahan bagi musik klasik di Indonesia. Di bawah Yayasan Musik Sastra Indonesia yang digagas oleh Pia Alisyahbana, sosok perempuan kuat di dunia media Indonesia, ingin mengajak lebih banyak generasi muda unutk mengenal musik klasik lebih dalam. Proses regenerasi ini dibalut dalam sebuah program, dimana anak-anak berbakat di usiaSekolah Dasar, diberi kesempatan untuk mendapatkan pelatihan musik klasik secara cuma-cuma dari para musisi dan guru berlatar pendidikan musik. Pelatihan ini dibentuk selayaknya kurikulum sekolah musik yang berjangka waktu 6 bulan. Lalu, setiap kenaikan level pelatihan, anak-anak ini akan diuji untuk mendapatkan bibit yang terbaik.

Terdengarnya memang sederhana, namun baik Ananda maupun Mesty, menganggap ini adalah sebuah bentuk tanggung jawab mereka sebagai pribadi yang berkesempatan mencicipi musik klasik, untuk membaginya ke lebih banyak anak Indonesia.

“Musik atau seni adalah milik semua orang. Seniman atau produser yang melakukannya memang hanya segelintir orang, namun bukan berarti musik ini hanya untuk sedikit orang. Cara pikir bahwa musik klasik itu eksklusif harus diubah dari pemerintahannya, tapi sayangnya pemerintah sibuk urus yang lain, makanya kami musisi klasik bergerak secara swadaya. Mempelajari musik ini memang masih harus terbang keluar negeri, tapi sayangnya untuk berkarier, bakat-bakat kita terbang keluar semua karena nggak terpakai di dalam negeri untuk memperkenalkan Indonesia di dunia Internasional. Kalau nggak ada yang memutuskan ini harus diubah, hal ini akan terus begini. Rencana kami banyak banget, ingin merangkul banyak kalangan, namun kami fokuskan dulu ke anak-anak kecil yang benar-benar ingin belajar musik klasik. Kalau kami mengerjakan terlalu banyak hal, malah nggak akan merealisasikan apa-apa,” urai Ananda optimis.

Mesty yang ditunjuk sebagai duta dan juru bicara YMSI sejak tahun ini, juga merasa tertantang untuk membuktikan bahwa musik klasik adalah genre untuk semua umur, baik anak-anak maupun kalangan muda. Perempuan cantik berusia 22 tahun tersebut, menceritakan bagaimana perubahan cara pikir di kalangan anak muda tentang musik klasik berdasarkan pengamatannya.

“Banyak banget anak muda yang mau masuk orkestra. Kalau dulu, konser orkestra itu pasti nggak diminati oleh publik, terutama kalangan muda. Tapi yang saya lihat sekarang adalah, tiket pertunjukan acara seperti itu selalu sold out. Dari pengamatan saya juga, murid di kelas harpa menjadi bertambah. Dulu hanya segelintir, sekarang bisa sampai 40 orang. Kalangan muda juga sudah banyak yang berminat untuk mengikuti audisi musik orkestra, yang mana proses audisi itu yang memacu sikap kompetitif di antara mereka. Saya memang termasuk yang beruntung karena bisa masuk ke dunia musik klasik, karena orangtua bisa menyediakan berbagai fasilitas penunjang. Makanya, saya ingin nggak cuma saya yang merasakan, namun lebih banyak lagi anak Indonesia. Di sinilah gunanya keberadaan YMSIyang bisa memasyarakatkan musik klasik, mencarikan dana atau sponsor, lalu merangkul anak-anak untuk bisa kami latih di sini,” papar Mesty.

What's On Fimela