Kampanye yang pintar dan segar, karena memperlihatkan keluarga Missoni seperti apa adanya. Rumah yang penuh dengan karpet warna-warni, dinding yang tertutup lukisan dan foto keluarga, senyuman hangat, peluk antara anggota keluarga.
Missoni sangat menyadari kalau alat penjualan paling berharga mereka adalah kepribadian mereka, dan sangat terwakili oleh Margeritha Maccapani Missoni, anggota keluarga terbaru yang resmi bergabung dengan perusahaan tersebut sebagai desainer dan mengepalai divisi aksesori, cantik, langsing but not ‘fashion thin’, serta bebas makeup. Sang ibu, Angela, adalah creative director brand Missoni dan pemegang keputusan pada koleksi utama, dan sang nenek, di umur 80 ‘menguasai’ home collection serta rangkaian hotel Missoni.
Missoni berdiri tahun 1953 oleh kakek dan nenek Margeritha, Rosita dan Ottavio. Setelah menikah, Rosita dan Ottavio membuat workshop kecil di basement rumah mereka. Anna Piaggi, konsultan kreatif Vogue Italia, adalah salah satu yang pertama mengakui keahlian Missoni dalam hal knitwear, teknik rajut dan padu warna yang menarik serta berbeda. Pada tahun 1969, saat bertemu Diana Vreeland editor Vogue Amerika, di situlah nasib mereka berubah. Saat melihat hasil karya Missoni, Diana sangat terkesan.
Tahun 1998 putri Rosita, Angela, mengambil alih posisi creative director dan sejak saat itu brand Missoni become a global success. Tapi tidak membuat brand tersebut kehilangan identitasnya – karya-karya Missoni masih dibuat di pabrik yang terletak di Sumirago, 30 mil dari Milan. Hanya beberapa meter dari kediaman keluarga Missoni. Rosita dan Ottavio membangun rumah-rumah untuk anak-anak mereka, termasuk Angela dan cucu-cucu, yaitu Margherita, Francesco dan Teresa.
Keluarga, kata Margherita, yang bisa membuat dia tetap bersahaja dan kreatif, serta mengembangkan esensi gayanya. “Fashion is a real passion in my family,” kata Margherita. “I never even realized it was something glamorous until much later. For me it was my family’s job.” Saat kecil Margherita menyangka kalau semua anak pulang dari sekolah dan langsung ke studio untuk bermain dengan boneka, benang, dan potongan kain. “It never occurred to me that it was something different to have your own fashion company.”
Yang dia miliki adalah kombinasi dari traditional upbringing, complemented by a more bohemian approach to life. Bahkan sedikit seperti komunitas hippy, dengan teman dan keluarga datang dan pergi. ‘Ketidakbiasaan’ tersebut semakin terasa setelah kedua orangtua Margherita berpisah saat dia berumur tujuh tahun. Margherita masih tetap dekat dengan sang ayah, Marco Maccapani, seorang produser film dan event. Margherita mengaku sangat mengagumi sang ibu yang tidak pernah sekali pun mengkritik sang ayah di depan anak-anaknya, dan merupakan tradisi keluarga (termasuk sang ayah) berlibur bersama di Sardinia setahun sekali.
Walaupun masa kecilnya terdengar damai dan tenteram, menurut Margherita saat beranjak dewasa dia merasa kalau bisnis keluarga membuatnya tertekan. “It’s really hard to know how to identify yourself as a person when you come from that environment, because you exist as part of a group. You don't know where you end and the others begin. I guess that's why, when I look back, I felt like going away, far, to a city.”
Margherita pindah dari Roma ke Paris kemudian New York. Belajar akting dan berkata pada keluarganya kalau dia memilih akting sebagai pilihan karirnya. Tapi sambil meneruskan peran tidak resminya sebagai brand ambassador Missoni. With acting, she says, she felt she was doing something that she had chosen to do, rather than something that had been chosen for her.
Pada akhirnya Margherita merasa sudah waktunya untuk pulang. “You realise you can go on endlessly. You can meet endless people, go to endless dinners, endless parties. I love acting and it's still something that maybe I'll go back to, but I think it was more a rejection of fashion than a proper love for New York or acting.”
Mengakui pada keluarga kalau dia mundur dari akting dan bergabung dengan perusahaan keluarga adalah sesuatu yang sulit, kata Margherita. Keluarganya pasti akan merasa bahagia, tapi Margherita mengaku kalau dia adalah orang yang keras. “For me, it was admitting I'm coming home. It was like saying to my mother, "I'll be back in your life." Karena Margherita satu-satunya yang meninggalkan rumah, dan merupakan cucu tertua sehingga punya hubungan khusus dengan sang nenek dan kakek. Tapi, setelah berpikir cukup lama, akhirnya Margherita memberitahu sang ibu kalau dia ingin kembali sambil menangis. Her mother didn't seem surprised and simply said, 'Are you free tomorrow at 12 o'clock? We have an appointment.'
Walau sang ibu memberikan tanggungjawab dan kebebasan, tapi, seperti hubungan ibu dan anak pada umumnya, hubungan mereka bukannya tanpa masalah. Pernah dalam satu meeting, sang ibu marah karena dipotong saat berbicara oleh Margherita, memukul mulut Margherita dengan keras dan membuat dia menangis.
Nyatanya sang ibu, Angela, sangat menghargai energi dan sense of humor Margherita, walaupun kadang merasa tidak pada tempatnya. “'For me it's really fun. And that's something I've brought into the atelier - fun. Although my mum says, "You just come here and laugh." Margherita kadang muncul di pabrik dan berteriak, “Look at this dress that I found!” dan para pekerja akan berhenti dan mengagumi gaun tersebut sambil meminta Margherita mencobanya, sementara Angela akan berteriak, “We still have 50 jackets to finish!” Margherita memaklumi sikap sang ibu, karena Angela bertanggungjawab pada setiap aspek perusahaan, so she has other stresses.
Hubungan yang saling mendukung, dan Margherita berkata kalau sang ibu menganggapnya sebagai perpanjangan tangannya, sepasang mata tambahan yang dia percaya.
Apakah Margherita punya visi berbeda dari sang nenek dan ibu saat pada akhirnya nanti dia menempati posisi creative director? “I grew up in the same place as my mother, seeing the same trees my mother saw when she was at work, the flowers I picked were the flowers that my grandma planted. We have different styles, I wouldn't make the same clothes that my mum made, or my grandma, but we have the same taste. So I'm confident in saying that I will be good for them, but I could probably be really hard for someone else!”
(dari berbagai sumber)