Next
FIMELA.com membuka obrolan dengan bertanya apa pengeluaran terbesarnya setiap bulan. Dan Teges mengaku paling banyak menghabiskan uang untuk beli berbagai majalah, walaupun sudah ada yang namanya digital magazine via iPad misalnya, tapi rasanya kurang. Majalah yang sering dibeli dari majalah fashion semacam Vogue sampai majalah cooking dan interior seperti Bon Appetit, Martha Stewart dan Vogue Living.
Beli majalah karena butuh bahan referensi untuk belajar. Dan kalau ada kesempatan, jalan-jalan ke luar negeri, wisata kuliner, cari ide untuk toko atau restoran. Karena teknologi terus berkembang, terutama di bidang makanan, sehingga kalau nggak terus belajar, menurut Teges, nanti bisa ketinggalan dan nggak pintar-pintar.
Mengaku lagi sering jalan bareng Kleting, dan kagum banget karena Kleting punya teman di berbagai penjuru dunia. Sehingga acara jalan-jalan jadi lebih seru karena dapat info dari teman yang tinggal di kota yang mereka datangi.
Teges merasa dirinya bukan tipe orang yang suka basa-basi, dan merasa energi basa-basi serta ngomong sudah habis untuk kerjaan. Jadi saat liburan, dia nggak berminat lagi untuk ngomong banyak, hal yang sering diprotes oleh Kleting.
Teges mengungkapkan kalau pengen lebih banyak ke trade show makanan biar lebih tahu tren, tahu apa yang akan hip tahun depan. Termasuk juga ke trade show fashion. Setiap kali ke trade show, Teges nggak pernah lupa mengumpulkan banyak brosur. Dan nggak ada yang dibuang satu pun. Pernah ke trade show Bread and Butter di Berlin, dimana lebih dari 300 brand memamerkan karya mereka di delapan hanggar bekas airport. Brosur yang terkumpul sampai 25kg, dan dikirim pulang agar bisa dipelajari.
Next
“Saya dari dulu pengen jadi PR,” cerita Teges. Waktu masih SMA, almarhumah ibu menyuruh dia memilih mau kerja atau main. Teges memilih untuk kerja membantu ibu dari seorang sahabatnya yang jadi PR. Kerjaannya dulu dari fax surat, foto kopi sampai jaga meja registrasi kalau ada press conference.
Lulus SMA, mendaftar kuliah Komunikasi Massa di Universitas Indonesia tapi sayangnya nggak lolos, malah diterima di Sastra Cina. Teges pun panik. Karena merasa nggak menguasai, sehingga dia mengambil kelas PR malam hari. Akhirnya memutuskan keluar dari UI dan masuk London School. Sambil kuliah pun, kerja part time di radio Prambors. “Masih jaman Meutia Kasim dan Erwin Parengkuan, plus Becky Tumewu siaran! Lama banget!” tawa Teges.
Setelah lulus, kerja jadi PR di sebuah restoran. Menurut sang empunya, tugasnya hanya menemani tamu minum dan makan. Padahal Teges punya banyak ide untuk bikin restorannya ramai. Akhirnya dia berinisiatif dengan mendatangkan band dan bikin brosur sendiri pakai Rugos.
Sempat jadi PR Hard Rock, bikin Salsa Club, dan berniat terjun ke politik dan jadi anggota DPR. Sayangnya terbentur karena dia menikah dengan orang asing, dan aturan pemerintahan mengatakan kalau warganegara yang menikah dengan orang asing nggak bisa jadi anggota DPR.
RCTI merupakan perusahaan besar pertama yang menjadi tempatnya bekerja. Mengepalai departemen Marketing dan Communication, dan kebetulan acara di RCTI lagi banyak-banyaknya sehingga membuat dia jadi jarang di rumah dan mengurus anak-anak. Ketika sang ibu meninggal, Teges memutuskan untuk berhenti kerja dan lebih banyak meluangkan waktu untuk anak-anak. Karena dia memiliki keyakinan kalau sebenarnya tugas utamanya sebagai perempuan adalah mengurus anak.
Next
Sampai akhirnya kembali bekerja di Gran Indo sambil masih membuat beberapa restoran, antara lain Luna Negra. Jarak rumah-kantor yang memakan waktu 2,5 jam membuat dia merasa waktunya termakan habis di jalan. “Dan energi saya pun sudah nggak sebanyak dulu, sudah tua!” kata Teges sambil tertawa.
Sekarang konsentrasinya, selain masih jadi konsultan PR untuk Gran Indonesia, sebuah proyek baru bernama A Good Life yang dibangun bersama sang tante dan Kleting, adiknya. Yang dikerjakan memang beda banget dengan restoran, tapi menurut Teges sangat menyenangkan karena build up something new from scratch.
Ide bikin A Good Life, sebuah agency yang menampung dan mewakili 18 desainer muda Indonesia, munculnya nggak sengaja ketika lagi mengurus konsep pembuatan Level One.
Teges merasa dia bisa melakukan sesuatu untuk support para desainer muda yang kebetulan awalnya memang dia dekati untuk mengisi butik-butik di Level One. Mereka membangun brand sendiri dari awal, susah payah berjuang untuk diakui. Menurut Teges, dia bisa membantu dengan membuat sebuah agency, menerapkan sistem yang benar serta membangun network. Untuk memancing pembeli atau buyers serta sambil terus mencari bakat-bakat baru dengan karya yang konsisten.
Next
Ke depannya, kalau sudah berjalan dia bisa mengawasi dari mana saja. Alasannya karena kedua putrinya, Rosa dan Azurra berencana untuk meneruskan sekolah nanti di Florence, Italia. A Good Life juga merupakan cara dia untuk membangun sesuatu yang bisa bertahan lama dan bisa diandalkan untuk sumber penghasilan dirinya dan anak-anak. Dan Teges mengaku dengan umurnya sekarang ini, dia harus mencari cara untuk menghasilkan seseuatu yang sumber kreativitasnya bukan dari dirinya.
Teges merasa kalau dia bisa melakukan sesuatu untuk support para desainer muda. Mereka susah mendapatkan untung, dan harus kerja keras jungkir balik. Teges berpikir kalau dia bisa melakukan sesuatu. Antara lain dengan membuat sistem yang benar serta network yang bagus agar bisa tinggal mengawasi dari jauh, memancing pembeli/buyers serta terus mencari desainer-desainer baru dengan karya yang konsisten.
Teges mengungkapkan kalau sebagai agen, pendekatannya memang beda. A Good Life punya konsultan produksi sendiri, sehingga kalau ada masalah para desainer bisa konsultasi dengan si konsultan tersebut. Kemudian mengajarkan bedah harga yang benar agar bisa menentukan harga, yang pastinya harus menguntungkan. Karena orang memandang para desainer yang ditampungnya, sebagai desainer distro/indie label, sehingga harga harus murah.
Waktu ditanya kenapa namanya A Good Life? Teges menjawab dengan simpel, "Karena saya pengen punya a good life." Salah satu pelajaran hidup yang dia dapatkan adalah, the best thing in life is when you’re surrounded by people who love you for who you are.
Tapi menurut beberapa orang yang sudah lebih lama terjun di bisnis retail, hal tersebut salah, karena retail merupakan sesuatu yang membutuhkan kerja keras. Tapi dia nggak mempermasalahkan perjuangan dan kerja keras yang ada di depan mata. “I don’t mind,” tegas Teges sambil tersenyum.
Ke depannya, masih tetap nggak bisa lepas dengan bisnis restoran. Karena Teges mengaku kalau dirinya dan anak-anak suka banget makan, pecinta makanan dan hobinya grocery shopping plus masak. “Lemari dapur isinya selalu penuh dengan makanan,” tawa Teges. Bahkan para desainer yang tergabung dalam agency-nya sering banget minta dibuatkan masakan serta hangout berlama-lama di rumahnya yang luas dan super nyaman.
Well, as far as we know, Teges already living HER good life.