Next
Fimela (F): “Matah Ati “ adalah pementasan yang persiapannya nggak sebentar. Apa yang membuatnya begitu lama?
Atilah: Ya, 2,5 tahun untuk riset, 2 tahun untuk melatih penari. Karena, ini kisah nyata dan sejarah, jadi kami sebagai tim produksi harus benar-benar memikirkan supaya nggak ada yang sembarangan. Apapun yang serba cepat, hasilnya akan biasa saja. Kami memang punya pemikiran supaya benar-benar jadi bagus, agar “Matah Ati” bisa menjadi satu kesatuan tontonan yang bagus.
F: Apa yang Jay ingin wujudkan dari mengemas “Matah Ati” ini?
Jay: Sama seperti Mbak Atilah tadi bilang, saya justru heran kalau ada pertunjukan yang dibikin sebentar, karena pasti jelek. Itu yang saya sayangkan, karena banyak anak muda yang bikin apa-apa malah bangga karena bisa bikin sesuatu dalam sebulan. Untuk “Matah Ati” ini, saya bersyukur sekali karena Mbak Atilah berasal dari Mangkunegaran, kita jadi dapat mudah mendapat akses ke perpustakaan, ke tempat Raden Mas Said berperang, dan napak tilas ke makamnya. Dari situ kita bisa tahu sebenarnya apa yang dicita-citakan untuk diceritakan ke penonton. Alasan pertama saya adalah karena ini sejarah, bukan seperti versi cerita Mahabrata atau Ramayana. Banyak orang bertanya “Matah Ati” itu apa, dianggapnya sebagai jenis wayang orang, padahal sebenarnya adalah langendriyan, yaitu kombinasi antara seni tari, suara, dan peran. Kebudayaan ini sebenarnya kita sudah kita punya sejak lama, bukan justru dari Negara Barat. Perlu diketahui juga, raja-raja zaman dahulu, selain sebagai panglima perang, baik Jawa maupun Solo, juga menjadi koreografer, Jadi, mereka juga bisa menciptakan sebuah tarian. Alasan kedua adalah, isu kesetaraan gender yang sebenarnya sudah ada dari abad ke-18, bahwa seorang perempuan juga bisa menjadi panglima perang. Orang awam mungkin cuma tahu Cut Nyak Dien, sementara yang berasal dari Tanah jawa kurang diketahui, nah salah satunya adalah Rubiyah ini. Ini yang saya rasa generasi sekarang perlu tahu, adanya kesenian langendriyan, cerita sejarah, kesetaraan gender, dan sekarang tugas saya serta Mbak Atilah adalah bagaimana generasi sekarang bisa senang dengan ini, jadi mereka nggak melihat ini sebagai tontonan yang membosankan atau nggak bisa diikuti karena berbahasa Jawa.
"Kita harus bermain pertama kali di luar negeri dulu. Itu memang taktiknya. Karena, apapun yang berasal dari dalam negeri nggak akan dihargai,"
F: Dan apa strategi agar “Matah Ati” bisa berhasil?
Jay: Makanya saya bilang ke Mbak Atilah, kalau kita harus bermain pertama kali di luar negeri dulu. Itu memang taktiknya. Karena, apapun yang berasal dari dalam negeri nggak akan dihargai. Saya yakin, kalau dulu kita main di dalam negeri terlebih dulu, nggak akan ada yang nonton. Tapi, kalau kita bermain ke luar negeri kemudian mendapat penilaian bagus, itu kita pasti baru dilihat oleh bangsa kita sendiri, walaupun langkah ini sebenarnya berisiko tinggi, karena kalau misalnya kita jelek dan pers Singapura menulisnya jelek, maka kita akan habis. Tapi, dengan semua pemikiran, usaha, dan niat kita untuk nggak merusak pakem tradisinya dengan unsur kekinian sebagai penunjang, kita yakin bisa berhasil, dan untunglah begitu.
What's On Fimela
powered by
Next
F: Ibu Atilah mengatakan bahwa niat membuat “Matah Ati” karena gerah Solo, kota asal Ibu, dikatakan sebagai surganya teroris?
Atilah: Iya, di beberapa headline surat kabar, Solo dikatakan sebagai surganya teroris, padahal Solo aslinya adalah sentral budaya, kaya akan kesenian, tapi sekarang jadi carut marut karena dijadikan tempat sembunyi para teroris. Sayangnya, yang diberitakan itu kebanyakan bukan orang Solo. Keramahtamahan orang Solo disalahgunakan, yang selalu menerima dengan tangan terbuka warga pendatang. Waktu masanya Nurdin M. Top itu, orang Solo kalau ke Singapura selalu disendiriin, diperiksa sangat ketat, mau minta visa ke Kedutaan Amerika juga susah sekali, makanya saya berpikir untuk bagaimana caranya mengubah image buruk ini kembali ke image semula. Makanya, begitu saya pulang ke Solo, membaca buku di perpustakaan Mangkunegaran tempat saya sejak kecil, akhirnya menemukan satu cerita yang bisa diangkat, lalu saya mulai mencari narasumber, mencari literatur sampai minta ke Belanda, dari Michigan juga ada seorang profesor yang punya datanya, itu saya kumpulkan. Sebenarnya dari kecil saya sudah tahu kisah “Matah Ati” ini, namun hanya sekadar tahu. Yang luar biasa adalah, di zaman itu, Rubiyah sudah menulis buku harian tentang apa yang ia dan Raden Mas Said, suaminya, kerjakan selama pemberontakan 16 tahun. Sosok Rubiyah itu sungguh luar biasa, dia panglima perang, tetap meladeni suami, dan menjadi pemimpin prajurit wanita dari yang awalnya hanya seorang gadis desa dan bukan siapa-siapa.
F: Jay Subiakto bisa dibilang adalah “juru kunci” yang mengemas “Matah Ati” menjadi lebih masa kini tapi nggak meninggalkan nilai-nilai budaya asli. Pernah terpikir menemukan sosok lain selain Jay yang bisa mengemas “Matah Ati” seperti ini?
Atilah: Setelah menyelesaikan naskah, saya mencari tahu ke teman-teman yang berkecimpung di dunia pertunjukan, nggak ada orang lain yang seorang pecinta Indonesia, idealis, gila, tapi galaknya minta ampun, ya cuma Jay Subiakto. Makanya karena sudah diwanta-wanti pleh anyak orang agar saya nggak usah banyak ngomong sama Jay karena dia orangnya sangat galak, saya jarang sekali berdialog dengannya, pokoknya saya percaya bahwa Jay dengan pemikirannya sendiri bisa mengmas “Matah Hati” menjadi bagus. Yang saya marah sekali sama dia waktu pertama kali liat panggung yang dia buat dengan bahan metal dan kemiringan 45 derajat, karena pikir saya waktu itu unsur kolosalnya akan hilang. Setelah saya lihat saat latihan, baru saya menangkap maksudnya. Jenius banget idenya yang memiringkan panggung agar semua lapisan penari terlihat dari sudut manapun. Saya nggak salah memilih dia.
"Solo dikatakan sebagai surganya teroris, padahal Solo aslinya adalah sentral budaya, kaya akan kesenian, tapi sekarang jadi carut marut karena dijadikan tempat sembunyi para teroris,"
F: Kendala apa yang dihadapi tim produksi maupun penari saat mempersiapkan “Matah Ati”?
Atilah: Saat pertama kali latihan di panggung miring, semua penari nangis dan menggerutu karena itu betul-betul siksaan untuk mereka. Tetesan keringat saja bisa membuat mereka terpeleset, belum lagi tata lampunya yang sangat silau sehingga bisa mengganggu konsentrasi. Ditambah, para penari biasanya menari dengan istilah “tancap bumi”, menapak di tanah, sekarang tancap metal. Tapi, dengan latihan yang nggak sebentar, anak-anak sekarang malah semangat penghayatannya hilang kalau nggak ada panggung miring itu.
Makin penasaran “Matah Ati” itu seperti apa? Pastikan kamu semua sebagai generasi muda nggak melewatkannya. See you there!