Next
Kalimat pertama yang diucapkan Tuta, begitu pria ini disapa, adalah sebuah penegasan bahwa “Catatan Si Boy” (2011) yang akan tayang pertengahan tahun ini, sama sekali bukan pengulangan dari “Catatan Si Boy” yang populer di tahun 90-an. Lalu, kenapa ia memilih mengangkat film ini sebaga debut pertamanya bila ia tidak ingin terus terkait dengan image yang sudah terlanjur terkenal?
“Boy itu seperti Batman. Itulah film indonesia yang bisa dibikin lima sekuel dalam waktu lima tahun. Selain Boy dan Warkop, nggak ada lagi film Indonesia yang mempunyai banyak sekuel. Itu sebabnya saya tertarik ingin menyutradarainya dan bersyukur sekali diberi kesempatan itu,” jawabnya lugas.
Dan, apa perbedaan yang ditawarkannya sampai ia berani untuk menjamin “Catatan Si Boy” besutannya benar-benar berbeda?
“Saya ingin membawa Boy lebih real, nggak terlalu jauh dari mimpi. “Catatan Si Boy” yang dulu memang sesuai dengan zamannya dimana fantasi tentang berlimpah materi yang didukung dengan ketampanan dan ketaatan beragama bisa diterima. Sementara sekarang, gambaran seperti itu sama saja seperti yang kita temui di layar televisi, makanya kita ingin buat Boy yang sekarang ini jauh berbeda dengan yang dulu. Kalau orang nanti nonton, mereka akan langsung tahu kalau ‘Catatan Si Boy’ yang sekarang berbeda banget, karena saya nggak mau membawa penonton ke arah yang sama dengan yang dulu,” urai Tuta.“Boy itu seperti Batman. Itulah film indonesia yang bisa dibikin lima sekuel dalam waktu lima tahun. Selain Boy dan Warkop, nggak ada lagi film Indonesia yang mempunyai banyak sekuel,"
Ketika FIMELA.com diberi kesempatan melihat trailer film ini yang masih berformat rough cut, sedikit tergambar bagaimana jalan cerita film ini. Terdapat Satrio (Ario Bayu), seorang anak muda yang menelusuri karakter Boy melalui catatan di buku harian yang ia temukan. Ia bersama teman-temannya, menelusuri siapa dan bagaimana menemukan Boy, dengan bumbu khas anak muda yaitu persahabatan, persaingan, dan percintaan. Akhir trailer menyisakan pertanyaan, apakah Satrio bisa bertemu langsung dengan profil Boy yang ia kenal hanya lewat tulisan tangan. Dari cuplikan singkat itu, masih ditemukan adegan kebut-kebutan mobil mewah dan gaya hidup Jakarta yang high end tetap terasa. Dan, ini dibenarkan oleh Tuta dengan sebuah alasan.
“Elemen mewah dan kaya memang tetap harus ada, karena ini Boy, gaya hidup dari cerita film ini harus kita ikuti seperti itu. Satrio tetap pula saya gambarkan sebagai seseorang yang beragama dengan adanya adegan dia shalat, tapi maksudnya bukan menyuruh orang shalat, tapi untuk mengingatkan kalau kita boleh jadi anak muda gaul se-Jakarta, tapi harus tetap punya rem dalam hidupnya,” ujarnya.
What's On Fimela
powered by
Next
Perdebatan tentang gaya hidup mewah yang diangkatnya di film ini, terus berlanjut. Tuta menelaah bahwa apa yang penonton lihat di “Catatan Si Boy” versi lama, sebenarnya masih bisa ditemui sampai sekarang, tapi itu tidak dijiplaknya secara penuh.
“Di masa Boy yang lalu, materi dan kemewahan adalah bahan yang bisa membuat kita move forward, tapi setelah masa reformasi, pasca ‘98, gaya hidup berubah. Kita menjadi orang yang harus bisa bertahan dengan apa yang kita punya. Dengan otak, badan, dan tenaga yang kita punya, bagaimana kita bisa berdiri di atas kaki sendiri. Makanya di film yang ini, saya gambarkan Satrio sebagai sesosok anak muda yang boleh anak orang kaya dan bisa mengendarai mobil mahal, tapi dari dalam badan anak itu sendiri, at least you work for something, ada keinginan untuk survive, untuk bisa kerja apapun bentuknya. Kasarnya, kalau zaman dulu gimana caranya menghabiskan uang, kalau sekarang gimana caranya menghabiskan uang dengan cara yang benar,” Tuta coba menjelaskan.
Selain gaya penceritaan yang benar-benar beda, pemilihan Satrio sebagai “reinkarnasi” Boy sedikit mengelitik karena penampilan fisik pria ini sama sekali berbeda dengan gambaran Boy yang dulu diperankan Onky Alexander. Satrio diperankan Bayu yang jelas berkulit sawo matang dengan rambut plontos, dan itu seperti ingin mendobrak mitos kecantikan yang juga terjadi di kalangan perempuan bahwa yang bagus itu adalah yang berkulit putih.
“Saya pilih Ario Bayu karena dia yang paling mewakili gambaran orang Indonesia. Kalau kita lihat sosoknya, penonton nggak akan merasa jauh dengannya, karena bentuk Bayu merupakan tipe orang yang ada di kehidupan sehari-hari. Sedangkan, kalau saya memilih pria berkulit putih, ganteng, dan keturunan indo, itu terlalu jauh dari kultur kitam yang membuat penonton berpikir bahwa figur itu untuk dipegang saja susah, sehingga cerita yang kita angkat di film ini bisa saja nggak tersampaikan,” kata Tuta.
Next
“Packaging Boy yang dulu itu bila dibawa ke masa sekarang udah nggak aneh. Di zaman Boy dulu, dengan dandanan parlente dan mengendarai BMW, itu luar biasa, tapi sekarang udah sangat umum. Makanya kalau dulu, sisi kemewahan Boy yang menonjol, sedangkan untuk sekarang sisi dalam Boy yang lebih ditampilkan. Jadi, yang bisa dipetik dari Boy bukan cuma kemewahan, tapi ada nilai yang lain. Makanya bisa ditarik kesimpulan bahwa perbedaan karakter antara Boy dan Satrio adalah Satrio lebih menginjak tanah. Fungsi Andi (Dede Yusuf) di masa lalu adalah partner in crime Boy, apapun yang Boy ingin lakukan, Andi mendukung. Tapi fungsi Andi (Abi Manan) sekarang adalah sebagai pengingat Satrio agar lebih bertanggung jawab,” lanjutnya.
Dari penjelasan Tuta, terpapar jelas bahwa untuk karakter pemain pun, dijaga agar sangat berbeda dengan versi lama, dan ini merupakan tantangan bagi Tuta dan semua pemain yang terlibat.
“Itulah sebabnya saat saya menyuruh semua pemain di film ini untuk menonton ‘Catatan Si Boy’ versi lama, dan pesan pertamanya adalah jangan meniru karakter yang sudah ada di film tersebut. Saya nggak mau dan nggak memperbolehkan ada duplikasi karakter seorang Emon, Andi, atau Boy. Yang harus mereka lakukan adala tonton filmnya, lalu pikir setiap gestur dari karakter yang ada, temukan impact apa yang mereka dapat sebagai seorang penonton, dan itu yang jadi pedoman mereka untuk menghayati peran masing-masing. Albert Halim sebagai Nico sama sekali tidak boleh menjadi Emon dengan line khas zaman dulu, yaitu ‘Rumpiii deh’, tapi dia kembangkan peran Emon sebagai seseorang yang bisa menawarkan suasana segar dengan karakternya yang exaggerated. Saya bersyukur sekali ada Mas Didi Petet sebagai acting coach untuk film ini, karena Mas Didi yang paling mengerti esensi film ini dan dia menjaga banget agar kita nggak menyamai Catatan Si Boy yang dulu” papar Tuta. "Saya nggak mau dan nggak memperbolehkan ada duplikasi karakter seorang Emon, Andi, atau Boy,"
Sebelum mengakhiri pembicaraan, Tuta menyisipkan satu harapan untuk film layar lebar perdananya tersebut.
“Film ‘Catatan Si Boy’ ini adalah pop corn flick, dan saya nggak bisa mengubah itu. Saya nggak akan mengemas film ini sebagai film perjuangan yang berat dicerna. Saya hanya ingin orang datang, duduk, ketawa-ketawa nontonnya, dan keluar bioskop dengan senang. Namun, di balik film ringan ini semoga penonton bisa merasakan chemistry yang kuat sehingga mereka bisa merasa bahwa itu bagian dari pergaulan mereka dan merasa karakter di film ini adalah gambaran anak muda sekarang, sehingga pesan yang disisipkan ke dalam film ini tersampaikan,” tutupnya bijak.