Belum juga lama kami memulai obrolan, Jajang langsung bercerita panjang lebar tentang keluh kesahnya terhadap perfilman Indonesia yang masih terus saja berfokus pada bintang muda. Jalan cerita tentang cinta anak remaja, lika-liku pasangan muda, dan sebagainya, akhirnya hanya menempatkan aktris atau aktor senior sebagai “pemanis”. Seperti Jajang yang baru saja tampil di film “Tebus” karya sutradara muda Muhammad Jusuf, dimana ia berperan sebagai ibu tua, yang notabene bukan sebagai inti cerita.
“Belum pernah ada cerita yang menceritakan orang-orang middle age, 30 tahun ke atas, apalagi nenek-nenek, sehingga yang ada adalah peran-peran sebagai ‘ibu si anu” atau “neneknya si anu”. Jangankan peran pembantu, peran untuk aktor atau aktris tua cuma numpang lewat, yang jadi bintangnya tetap si muda. Masih banyak yang berpikiran bahwa yang cantik adalah yang menarik. Padahal, bukan cuma film Amerika atau Eropa, beberapa film Jepang dan Korea sekarang sudah ada yang tokoh utamanya orangtua, baik laki-laki maupun perempuan. Di sini nggak ada, sayang sekali, padahal masalah-masalah manusia kan bukan hanya untuk anak muda. Boleh temanya cinta, tapi sudah bosen cinta anak muda, mestinya cinta orangtua juga. Memangnya orangtua nggak punya cinta? Punya pastinya. Saya aja, umur 59 tahun, punya pacar sudah tujuh tahun. Tetap ada cinta dan gairah hidup untuk orangtua. Belum lagi masalah-masalah yang dialami orangtua, bukannya nggak ada, banyak sekali, tapi ini memang ada kesalahkaprahan, nggak tau dimana dimulai dan bermuara, di dunia film dan pertelevisian. Salah satu contohnya, di sinetron, pemeran ibu dan anak dimainkan oleh orang yang secara umur dan tampang nggak jauh beda. Padahal Indonesia belum jago untuk makeup effect yang bikin orang muda jadi tua atau orang kurus jadi gemuk. Itulah Indonesia, orangtua nggak penting, orang miskin nggak penting, orang yang teraniaya nggak penting, yang penting cuma yang kaya, yang cantik, yang berkuasa.”
Ditanya tentang banyaknya kegelisahan yang ia rasakan dan apa yang bisa ia lakukan dengan nama besarnya sebagai seniman senior, ia menggeleng. “Saya nggak punya kuasa apa-apa. Mungkin kalau saya produser yang kaya atau saya istrinya menteri siapa, itu berpengaruh. Masyarakat biasa saja yang beberapa menghargai saya, ada beberapa kemudahan yang bisa saya dapatkan, seperti ketika mengurus visa di Imigrasi, namun untuk suara saya didengar dan diperhatikan, nggak ada. Saya selalu mengajak teman-teman filmmaker untuk membuat film tentang ibu-ibu atau orangtua, tapi mereka juga terbatas pada apa yang mereka mau ekspresikan. Mereka punya keinginan sendiri untuk membuat film seperti apa, saya nggak bisa memaksakan.”
Lalu, apakah dia kesulitan untuk menemukan karakter peran yang cocok di umurnya sekarang? Sambil menghembuskan asap terakhir dari batang rokoknya yang pertama, Jajang menjawab tidak.
“Saya sih nggak kesulitan mendapatkan peran, orang meminta saya main di suatu film, saya tentu mengerjakannya dengan baik. Toh, saya pasti mendapat peran kalau nggak sebagai ibu-ibu, nenek-nenek. Tugas saya sebagai pemain adalah memberi bentuk pada karakter di setiap peran, nggak cuma asal ngomong dialog. Saya memainkan peran sebagai ibu-ibu kampung sampai sepuluh kali pun, saya harus tetap bisa memberikan karakter yang lain-lain. Itu pekerjaannya sebagai aktris. Cara saya memahami peran adalah mengambil contoh. Misalnya ketika saya menjadi dokter di ”Berbagi Suami”, saya cari siapa teman saya yang dokter, kemudian saya mengidentifikasikan diri saya sebagai dokter. Saya nyontek apapun tentang dia, seolah-olah saya dia. Waktu saya main di “Bibir Mer”, saya jadi wanita Jawa, sementara aslinya saya orang Padang dan tomboy. Agar bisa meresapi, saya mengidentifikasikan diri sebagai mbak Sitoresmi Rendra, istri kedua W.S. Rendra, yang adalah orang Keraton. Saya berpura-pura saya adalah dia. Cara jalan, ngomong, ketawanya, semua saya ikuti. Setiap pagi mau berangkat syuting, saya juga selalu memasang lagu Hetty Koes Endang, agar dari dalam hati saya terikut lembut seperti orang Jawa betulan.”
Obrolan kami lalu mengarah ke kesibukan ibu dua anak dengan satu cucu ini. Dan dia menjawab dengan singkat tak ada yang membuatnya sibuk sekarang, semuanya mengalir saja. “Saya menikmati peran sebagai pemain film, kapok menjadi sutradara. Saya mau menyutradarai sinetron “Bukan Perempuan Biasa” karena itu naskah Mas Arifin. Dia meninggal ketika baru selesai mengetik tujuh episode, kurang tiga lagi untuk jadi pas sepuluh episode, sementara Raam Punjabi berencana untuk mengangkat itu, tapi tidak percaya pada kemampuan saya. Dia hubungi Putu Wijaya, Slamet Rahardjo, Garin Nugroho, Sophan Sophiaan, Enison Sinaro, pokoknya sampai tujuh orang selama satu setengah tahun, ditolak semua, karena saya sendiri yang meminta mereka untuk menolak tawaran Pak Raam. Nah, setelah ditolak tujuh orang itu, baru Pak Raam mau memberi saya kesempatan, karena dia juga sebenarnya dikejar deadline untuk mengisi slot di Indosiar. Dari sinetron tersebut, saya bisa memberikan Pak Raam penghargaan Best Drama Series di Festival Sinetron Indonesia 1997, penghargaan berdasarkan kualitas, biasanya penghargaan untuk Multivision Pictures itu berdasarkan penonton terbanyak. Saya yang kasih dia penghargaan itu karena hanya saya yang tahu gaya cerita Mas Arifin, jadi mesti saya yang membuatnya,” kisahnya bangga.
Sebelum berpamitan, Jajang memperlihatkan foto pasangan yang menemaninya selama tujuh tahun terakhir ini. Dan, saya tergelitik untuk bertanya apa pria tersebut sudah masuk kriteria pria idaman yang ia sempat kemukakan dulu, yaitu pintar Bahasa Inggris, pintar dansa, keren, dan kaya raya. “Dia orang Batak, nggak pintar dansa tapi saya paksa dansa, bisa Bahasa Inggris, dan yang pasti nggak keren serta nggak kaya raya,” ucapnya santai. “Kriteria itu sebenarnya saya cuma asal ngomong, karena dulu ada wartawan yang kurang ajar bertanya apa saya mau nikah lagi padahal belum 40 hari Mas Arifin meninggal,” tutupnya sambil bersiap untuk pergi.