10 Hal Tentang Hidup Yang Dipelajari Dari Memasak

Fimela diperbarui 14 Mar 2011, 12:05 WIB

 

 

 

1. Tindakan kecil bisa menjadi awal perubahan. Sehari setelah penembakan di Virginia Tech, April 2007 lalu, saat sekeliling tempat tinggal saya di utara Virginia terguncang, saya membuat lemon cupcakes with milk-chocolate frosting. Saat saya mengagumi frosting yang manis, saya jadi berpikir: Bisa nggak cupcake sekecil ini membuat dunia menjadi lebih hangat, walaupun hanya satu gigitan saja? Saat saya membagikan cupcake tersebut ke para tetangga, senyum yang merebak di wajah mereka adalah bukti nyata.

2. Kesenangan bisa didapat dari mana saja. Di dunia yang sudah diperbudak Blackberry, menanam makanan sendiri, walaupun hanya kebun rempah kecil, bisa membantumu menghargai kehidupan: saat memanen tomat yang cantik kemerahan, wangi daun mint saat dipetik. Saat akhir tahun, saya selalu merasa bersyukur dengan memetik rosemary hasil kebun sendiri dan menambahkannya ke apple pie, roast meat dan bruschetta.

3. Jangan mengatur berlebihan. Saat tunangan dan barang-barangnya pindah ke apartemen kecil saya, saya nggak masalah dengan koleksi buku dan CD-nya, poster-poster, bahkan printilan aneh yang dia selipkan di rak lemari yang sudah penuh. Tapi beda urusan dengan dapur saya, nggak ada yang boleh berubah, susunan dan tata letak. Jadi saat dia membeli pisau tanpa bertanya pada saya, rasanya seperti terkena stroke. Of course, respon saya merupakan simbolisasi dari terbiasa hidup sendiri, yang nggak perlu membahas atau meminta ijin siapa pun. Kalau saya membiarkan dia memasuki hidup saya, seharusnya saya juga membiarkan dia masuk ke dalam dapur saya.

4. Rileks itu perlu. Walaupun saya sekolah masak dan training sana sini, tapi saya nggak bisa membuat adonan pizza dengan benar. Seringnya terlalu keras, terlalu lembek, atau berlubang. Saat seorang teman dari Australia berkunjung, dia bernyanyi saat membuat pizza, menunjukkan letak kesalahan saha: Karena saya terlalu berusaha membuat pizza saya sempurna, saya terlalu keras mengulen adonan. Saat saya nggak terlalu memikirkannya, I got it right.

5.  Selalu ada kesempatan kedua. Seorang sahabat dekat meninggal tiba-tiba karena serangan jantung. Sebelumnya selama berbulan-bulan, saya berniat untuk memasak sesuatu untuknya, dan sekarang semuanya sudah terlambat. Or was it? Saat melayat, saya membuatkan kue marmer dan membawanya, seusai pemakaman, teman dan orang terdekatnya berkumpul dan menikmati kue buatan saya sambil berbagi cerita tentang almarhum.

6. Yang penting kegunaannya. Orang mungkin berpikir kalau dapur seorang chef pasti penuh berisi peralatan mahal dan moderen. Nyatanya saya menghabiskan empat tahun di apartemen yang saking kecilnya dapur sehingga membuat roti panggang yang benar saja sulit. Suami saya, yang nggak suka membuat toast dengan dipanggang di oven, memohon kepada saya. Sehingga saya membeli toaster kecil khusus untuk berkemah. Bukan hanya nggak makan tempat, tapi juga membuat roti panggang sarapan suami jadi sempurna.

7. Kita bisa kalau mau. Pengarang buku masakan legendaris Edward Espe Brown mengajarkan pada saya banyak hal tentang sisi kreatif menyiapkan makanan – bagaimana setiap langkah yang kita lakukan adalah ekspresi artistik, seperti melukis atau menari. Seringkali kamu nggak akan memperdulikan hal tersebut saat harus buru-buru menyiapkan makan malam. Tapi kalau kamu berpikir memasak itu sama dengan menyiptakan sesuatu, bahkan saat membuat makanan paling standar sekalipun, kamu akan lebih menikmati waktu di dapur – dimana kita bisa memiliki kemampuan kreatif, besar atau kecil.

8. Komunikasi, dengan segala cara. Dua tahun lalu, keluarga nggak yakin adik laki-laki saya bisa bertahan hidup. Dia sehat-sehat saja sekarang, tapi dulu, merasa nggak sanggup menolong dia, saya meletakkan fotonya di dapur, dan mengajarkan dia membuat saus daging, step-by-step, seakan dia ada di sebelah saya. Walaupun obrolan berlangsung satu arah, melihat wajah tersenyumnya di foto saat saya mengaduk saus membantu saya melewati satu masa paling sulit yang pernah saya alami.

9. Instingmu mungkin nggak selalu benar, but it’s yours. Seorang instruktur chef yang ditakuti di sebuah sekolah masak di Italia pernah memberikan tugas pada saya dan partner di kelas, Max, untuk membuat risotto. Saat mengaduk, chef Sergio dengan tegas mengingatkan kita untuk menambahkan garam sebelum disajikan. “Seberapa banyak?” tanya kami. “Secukupnya,” jawabnya sambil berjalan pergi. Kami kebingungan tapi waktu hampir habis, jadi kami bergantian memberikan garam dan mencicipi sampai setuju kalau rasanya sudah pas. Did chef Sergio like it? No. Tapi masakannya memang terlalu salty untuk saya.

10. Less really is more. Contoh A: grilled cheese sandwich. Saat memanggang dua tangkup roti dengan keju Cheddar di tengahnya dan ditambah dengan mustard, saya pasti tersenyum lebar. Nggak perlu masakan super hebat untuk menyenangkan diri sendiri atau orang lain.

 

Kim O'Donnel adalah chef, online food personality dan jurnalis.