Hari Perempuan Internasional, Dari Berbagai Belahan Dunia

Fimela diperbarui 09 Mar 2011, 08:04 WIB

Di Turki, para perempuan meneriakkan “Don’t Turn Our Wedding Dresses into Shrouds,” menentang keras pembunuhan atas nama reputasi keluarga, dimana laki-laki anggota keluarga dianggap punya hak untuk membunuh perempuan yang membuat malu keluarga.

Ratusan perempuan berunjuk rasa di Pantai Gading, mengutuk ditembaknya tujuh orang perempuan saat demonstrasi meminta Laurent Gbagbo turun dari kursi presiden. Kebanyakan berpakaian putih dan mengenakan ikat kepala merah, mereka berbaris untuk menghormati para perempuan yang menjadi korban. “Kami nggak akan berhenti sampai Laurent Gbagbo turun.”

Di Washington Hillary Clinton menyatakan kalau Amerika akan mendorong perempuan untuk dilibatkan dalam transisi demokrasi di negara Arab. “Pada bulan dan tahun mendatang, para perempuan Mesir dan Tunisia serta negara lainnya akan punya hak yang sama dengan laki-laki untuk memperbaiki pemerintahan negera mereka menjadi lebih bertanggungjawab, dapat dipercaya dan transparan,” kata Hillary.

Presiden Brazil Dilma Rousseff, perempuan pertama yang memimpin negara besar di Amerika Selatan tersebut berkata, menghapuskan kemiskinan adalah tujuan utamanya, dan hanya bisa dicapai dengan membantu kesejahteraan perempuan dan anak-anak.

Para peserta Mardi Gras di Rio de Janeiro merayakan Hari Perempuan dengan cara yang paling mereka kuasai – perayaan di biara Carmelite, yang sudah menjadi tradisi karnaval tersebut.

Sementara di Guatemala, dimana ketidakadilan terjadi saat nyaris 700 perempuan terbunuh tahun lalu, dibentuk sebuah komisi resmi yang fokus pada masalah tersebut, untuk menegakkan keadilan terhadap para perempuan yang menjadi korban. Di Peru, setidaknya 123 perempuan dibunuh pada tahun 2010 oleh pasangan atau mantan.

Aktivis perempuan yang tergabung dalam Jaringan Perempuan Yogyakarta memperingati dengan unjuk rasa di depan kantor DPRD setempat. Poster dan spanduk yang berisi tuntutan para perempuan, antara lain menolak poligami, diusung dalam aksi tersebut. Para peserta juga membagikan bunga kepada perempuan yang mereka jumpai.

Sementara di Solo, beberapa LSM perempuan mendatangi pemerintah kota, mendesak agar pemerintah lebih peduli pada kasus kekerasan terhadap perempuan.

Di depan Istana Negara, Jakarta, ratusan perempuan juga menggelar aksi damai, mengajukan 10 tuntutan kepada pemerintah antara lain harga bahan pangan diturunkan, cabut kebijakan yang mendiskriminasi perempuan, serta perlindungan hukum atas tindak kekerasan terhadap perempuan.

Para buruh perempuan di Bandung yang tergabung dalam Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia berkumpul di depan Gedung Sate. Mereka menuntut agar pemerintah lebih memperhatikan hak-hak buruh perempuan di Indonesia, antara lain hak cuti menstruasi, cuti hamil, cuti melahirkan, serta cuti setelah melahirkan.

Serikat Uni Eropa mengatakan kalau perempuan memegang peranan penting untuk melakukan perubahan di Afrika Utara. “Diantara kekerasan yang terjadi, perempuan bergabung untuk menuntut perubahan,” kata Wakil Presiden Komisi Eropa Catherine Ashton dan Viviane Reding dalam pernyataan mereka. “Perempuan harus ada di tengah pembicaraan tentang kepemimpinan masa depan.”

Tapi di Kairo, ratusan perempuan Mesir yang berunjuk rasa menuntut hak mereka mendapat perlawanan dari para laki-laki yang berteriak agar mereka pulang saja.

Beberapa kelompok perempuan di Venezuela berpartisipasi dalam sebuah event di Caracas untuk menghormati para pahlawan perempuan yang ikut berjuang demi kemerdekaan negara.

Para perempuan Palestina turun ke jalan-jalan di Gaza meminta agar kependudukan Israel diakhiri. Mereka menutup jalan utama selama setengah jam untuk memprotes Israel. “Salah satu dari hak perempuan sudah dilangkahi dengan pendudukan Israel,” kata aktivis Fadwa Khader. “Mereka diusir dari rumah yang kemudian dihancurkan untuk menekan pemerintah Palestina.”

Di Yunani, dimana krisis ekonomi membuat lebih banyak perempuan kehilangan pekerjaan, para feminis menggerakkan ribuan massa untuk melakukan “Tiga Menit Tanpa Perempuan” di pusat kota Athena.

Norwegia – negara pertama yang memaksa perusahaan besar untuk menyamakan jumlah pemimpin/pekerja dari kedua gender – pemerintahnya menyatakan kalau kuotanya akan ditambah ke lebih banyak perusahaan.

Kelompok hak asasi manusia dari Maroko meminta pihak kerajaan untuk menetapkan peraturan persamaan hak atas kedua gender dalam undang-undang. Hukum yang melindungi perempuan dari kawin paksa masih belum ditegakkan. Usia minimum menikah untuk perempuan dinaikkan dari 15 menjadi 18 pada tahun 2004, kecuali pada kasus khusus yang disetujui oleh pengadilan. Tapi tetap saja, sekitar 42.000 permintaan untuk menikahi anak dibawah umur disetujui pada tahun 2009.

Perempuan Kamboja tidak diperbolehkan untuk merayakan Hari Perempuan secara publik, karena pemerintah melarang unjuk rasa berdasarkan kekuatiran akan adanya kerusuhan.

Mengenakan kaus dan jeans atau baju panjang dan jilbab, ratusan ribu perempuan menyuarakan keinginan mereka dari jalanan, dari Tunisia sampai Kairo, Bandung sampai Rio de Janeiro. Dan memastikan agar suara mereka lebih didengar dan persamaan hak, tidak hanya pada Hari Perempuan Internasional, tapi juga di masa yang akan datang.

 

(dari berbagai sumber)

What's On Fimela