Pemandangan mencolok terlihat di booth Tengkleng Klewer Ibu Edi (Solo). Antreannya Fimelova, sampai membuat jalan tertutup! Selain Tengkleng, Mie Koclok Mas Edy (Cirebon), Sate Jamur Cak Oney (Yogyakarta), Tahu Tek Telor Cak Kahar (Surabaya), Lontong Balap Pak Gendut (Surabaya), Sate Klatak Mak Adi (Yogyakarta), Mie Aceh (Sabang), Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih (Jakarta), Nasi Pindang Pak Ndut (Semarang), dan Oseng-Oseng Mercon Bu Narti (Yogyakarta), pun laris-manis. Jelas saja, ke-10 jajanan ini termasuk legenda kuliner yang memang sudah terkenal di seantero Nusantara!
Melihatnya, kami makin bersemangat bertualang. Kami pun langsung menuju bagan daftar makanan untuk melihat menu-menu yang disajikan, dan perburuan akhirnya dimulai. Booth pertama yang menarik perhatian kami adalah Sate Bang Thohir Kalibata. Letaknya yang paling mudah dijangkau mata plus bumbu kacangnya yang menggoda membuat kami tak tahan kalau tak mencicipi, apalagi sate ini cukup terkenal. Satu porsi sate dan lontongnya, diharga 15 ribu Rupiah. Begitu pula dengan jajanan lain, harga dipukul rata 15 ribu Rupiah.
“Camilan” pertama ini kami lahap dengan cepat, setelah itu perjalanan berlanjut ke booth Tengkleng Klewer Ibu Edi (Solo). Butuh perjuangan untuk menikmati makanan satu ini. Hampir setengah jam kami mengantre, sampai akhirnya satu piring tulang kambing kuah kuning yang gurih ada di tangan kami. Ada kepuasan tersendiri bisa mendapatkannya, karena booth ini adalah juara pada siang hari itu. Rasanya? Gurih, asin, pedas, hangat, bercampur jadi satu. Apalagi, bumbu yang meresap sampai ke daging membuat rasa tengkleng ini makin istimewa.
Lidah dan perut rupanya masih belum puas. Pilihan kami berikutnya masih tak jauh dari salah satu legenda kuliner Nusantara, Nasi Pindang Pak Ndut (Semarang). Booth ini menarik perhatian karena di atas mejanya tersaji bermacam jeroan sapi, telur pindang, dan satu panci besar kuah kaldu yang sedap. Ah, kami pesan satu piring lagi! Beruntung, belum terlalu banyak yang mengantre. Pesanan kami dengan tambahan babat bacem segera tersaji. Rasanya tak bisa digambarkan dengan kata, yang jelas kuah hangat dan rasa pedas dari sambal yang kami tuang bersendok-sendok, membuat keringat bercucuran nikmat! Kami pun menjadikan Nasi Pindang Pak Ndut ini sebagai salah satu menu terenak di festival ini.
Kalau tak tertarik mencicipi menu lain, mungkin kami sudah memesan nasi pindang satu porsi lagi. Sebelum khilaf, cepat-cepat kami menjauh dari booth dan mencari minuman segar. Es Duren Teh Iteung tak membuat kami berpikir dua kali untuk mencobanya. Tak rugi juga sedikit berdesakan. Dua biji durian, es batu, dan susu dikombinasikan pas, menghapus rasa haus dan sisa pedas jajanan sebelumnya dengan sensasi kenikmatan tersendiri.
Suasana makin ramai, udara makin panas, tapi berkat es duren kami tetap segar dan bersemangat. Sambil menurunkan isi perut, kami kembali berkeliling mengintip jajanan lain. Perut memang sudah penuh sesak dengan tiga main course, tapi lidah ternyata masih penasaran dengan beberapa jajanan. Akhirnya, kami membeli Martabak Kubang & Roti Cane dan Es Dawet Srikandi yang kami bungkus untuk dibawa pulang sebagai pencuci mulut terakhir. Kali ini benar-benar terakhir. Hari ini, kami bahkan sama sekali lupa kalau sedang berdiet!