Bahkan, penularannya kini lebih tinggi di kalangan ibu rumah tangga ketimbang pekerja seks komersial. Kalau sebelumnya pelaku seks tidak aman dan pengguna narkoba adalah yang sangat berisiko mengidap HIV/AIDS, sekarang, menurut informasi Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, ibu rumah tangga menjadi “korban” dari seks tidak aman pasangan. “Mereka disebut korban karena tidak melakukan tindakan berisiko dan tidak menggunakan narkoba, tapi tertular dari suaminya," ungkap Nafsiah.
Makin rentannya ibu rumah tangga terserang HIV/AIDS membuat risiko bayi yang juga tertular kian besar. Penyakit ini pun akan menjadi penyakit turunan dan makin tersebar luas di pihak yang seharusnya aman dan bebas dari penyakit ini, sehingga kini perempuan dan anak-anak menjadi fokus yang mesti diselamatkan. Karena, tanpa tindakan pencegahan, sekitar 1,8 juta jiwa terancam terinfeksi HIV/AIDS pada tahun 2025!
Jumlah ODHA di Indonesia sendiri, menurut data dari Kementerian Kesehatan, dalam kurun waktu 15 tahun ini sudah mencapai angka 120 ribu orang dan 35,1% dari jumlah penderita itu adalah perempuan, yang logikanya, jumlah sebenarnya jelas lebih banyak dari data tersebut.
Kondom, kondom, dan kondom. Sejak dulu alat kontrasepsi ini menjadi media pencegah penularan virus dari pasangan yang terus disosialisasikan. Tapi, sebenarnya ada solusi yang lebih baik, yaitu dengan setia kepada pasangan masing-masing, selain anjuran lain seperti menghindari penggunaan jarum suntik secara bergantian dan memastikan darah transfusi bebas dari virus.
Intinya, pencegahan jumlah penularan HIV/AIDS dimulai dengan memproteksi diri. Perempuan harus memiliki kesadaran untuk menyelamatkan diri, salah satunya dengan menyelamatkan hubungan—menjaga keharmonisan dan berkomitmen untuk saling setia dengan pasangan—agar peluang terinfeksi virus kian kecil. Tak mau kan, kita, anak-anak, dan orang terdekat lain termasuk dalam 35,1 % jumlah perempuan pengidap HIV/AIDS, hanya gara-gara menyepelekan komitmen dalam hubungan?