Kanker Payudara di Kehidupan Nina Tamam Hingga Ivy Batuta

Fimela Editor diperbarui 19 Okt 2012, 04:00 WIB
Erwin Parengkuan Kanker payudara terjadi di kehidupan sahabat istri saya, Jana. Payudaranya diangkat, menjalani kemoterapi, dan divonis oleh dokter bahwa ia nggak boleh memiliki anak karena akan memperparah penyakitnya, tapi ia bersikeras untuk punya anak. Akhirnya ia hamil juga dalam kondisi masih sangat sakit, hingga si anak lahir secara prematur di usia kehamilan 7 bulan. Setelah kelahiran anaknya, keadaannya semakin menurun dan menyedihkan, kurus kering termakan penyakit ini, sampai akhirnya meninggal. Perubahan kondisinya itu kami ikuti setiap hari, mulai dari dia yang lumayan fit, wajahnya semakin cekung, lalu nggak bisa jalan, bahkan sampai tulang belakangnya patah. Melihat betapa ganasnya penyakit ini di depan mata kami sendiri, semakin kami sadari bahwa ini bisa dicegah dengan minimal memeriksakan payudara secara berkala, di samping juga perlu melakukan medical check up.
Indy Barends Belajar dari pengalaman mama yang berhasil sembuh dari kanker payudara, saya sadar benar kalau obat penyakit ini hanya satu: bahagia tanpa stress. Makanya sekarang, saya selalu mengingatkan diri saya sendiri untuk 2S, yaitu stress, switch. Ketika saya mulai merasa stress, saya ubah cara berpikir saya dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Penyakit ini bersifat genetis dan bisa saja menurun ke saya, jadi saya harus membentengi diri sendiri mulai sekarang.
Ivy Batuta Tante saya adalah breast cancer survivor. Didiagnosa saat berada di stadium lanjut, kami semua sudah berpikiran kalau penyakit ini tak bisa tertolong lagi. Tapi penyakit itu ternyata bisa pergi dari tubuhnya karena ia terus berpikiran positif. Memang pada akhirnya ia meninggal, namun lebih karena faktor usia. Hikmah dari kejadian ini, saya sebagai perempuan harus bisa memperhatikan diri saya sendiri di samping mengurus suami dan anak-anak. Perempuan memang terlahir sebagai makhluk multitasking, tapi seringkali malah acuh dengan keadaannya sendiri, sehingga suka nggak menyadari kalau sedang terjadi sesuatu di tubuhnya yang bisa saja berbahaya. (Fotografi: Koleksi pribadi Ivy Batuta)
Nina Tamam Kanker payudara merenggut hidup tante saya. Almarhumah divonis kanker payudara dan merembet menjadi komplikasi diabetes. Saat payudaranya diangkat dan mengambil lemak dari paha, kedua luka baik di dada maupun di paha itu nggak bisa mengering dengan sempurna sehingga menganga dan perlahan-lahan membusuk. Kesalahannya dulu adalah beliau mengambil jalan pengobatan alternatif dan menurut saja ketika disuruh makan ayam kate setiap hari. Padahal sebenarnya itu sama saja seperti menyiram bensin ke kobaran api, yang malah membuat kanker payudaranya semakin ganas. Kejadian ini yang memotivasi saya untuk wajib hidup sehat dan berolahraga teratur. Ini juga menjadi pecutan suami saya, Erikar Lebang, untuk mendalami ilmu kesehatan dan Yoga.
Tike Priyatnakusumah Saya memiliki seorang teman yang sudah mengetahui kalau di payudaranya punya cukup banyak benjolan, tapi hingga hari ini nggak mau memeriksakan ke dokter. Alasannya, karena ia takut divonis oleh dokter bahwa benjolan itu benar adalah kanker payudara, padahal di hati kecilnya dia sebenarnya sudah tahu kalau itu benar. Di sisi lain, teman saya yang lain malah sangat memperhatikan kesehatan payudaranya sehingga rutin memeriksakan payudaranya sendiri setiap pagi dan langsung memeriksakan ke dokter ketika ia dulu pernah menemukan benjolan mencurigakan. Ternyata benjolan itu memang bukan apa-apa, tapi kepeduliannya  pada kesehatan didasarkan atas ia masih ingin hidup lama demi melihat anaknya tumbuh besar. Dari situ saya melihat bahwa penyakit ini memiliki dua sisi, mau dihadapi atau dibiarkan. Sama halnya dengan pencegahan kanker payudara. Mau kita gerakkan badan kita ini untuk mulai memeriksakan diri atau tak peduli seolah-olah penyakit ini nyata ada. Semuanya kembali ke diri kita sendiri.