Sehari Bersama Surya Saputra: Intim, Jenaka & Tak Terlupakan

Fimela Editor diperbarui 12 Sep 2012, 08:00 WIB
Apa yang kami lakukan hari itu? Lanjut mengobrol, Surya mengajak kami menuju ruang menonton. Home theater dan sepasang sofa putih, menjadi “partner” setia Surya untuk menonton. “Film bisa membuat saya tertidur pulas, bisa juga membuat saya kuat mengobrol berjam-jam tanpa terasa lelah. ‘Transformers’ yang pertama adalah contohnya. Bersama Garreth Evans, sutradara ‘The Raid’, kami seperti berdebat kusir tentang semua sisi dari film itu. Dan kesimpulannya, film itu tak ada cacatnya. Sempurna dan pas untuk fantasi kami para laki-laki terhadap film action, baik secara musik maupun sinematografi.”
Pilihan Surya terhadap film diakuinya variatif. Ia memang penggila action dan detail sejarah dalam sebuah film, tapi ia bisa juga menangis diam-diam ketika menonton film Korea. “Film-film Korea adalah variasi menyenangkan untuk ditonton. Temanya mungkin universal, seperti cinta, drama keluarga, atau komedi, yang sudah banyak diangkat. Tapi, twist di film Korea sungguh tidak terduga dan nggak ketebak,” pujinya. Lalu, bagaimana caranya menjembatani antara selera film Surya dan Cynthia? Seperti yang ia ceritakan, Cynthia adalah tipe perempuan yang menyenangi film drama dengan alur mendayu dan “sangat perempuan”, serta tidak suka dengan genre horror yang justru menjadi favorit Surya. “Biasanya kami saling bergantian menemani nonton. Setelah saya ditemani nonton film horor, gantian saya yang menyaksikan film pilihannya. Biasanya lokasi untuk menonton film drama di kamar kami, karena kemungkinan besar saya tertidur saat menonton hahaha…”.
Enaknya mengobrol dengan aktor, selain mendapat rekomendasi film-film bagus, juga seperti mendapat hiburan storytelling secara live. Ia bercerita tentang sebuah film Korea, berjudul “Castaway on the Moon”, yang membekas di hatinya sebagai film bagus, dengan gaya bercerita yang atraktif. Saking semangatnya ia bercerita, ia secara tak sadar sambil berdiri dan berakting menirukan mimik dan gestur pemain di film tersebut. Ia pun lalu duduk kembali dan bercerita tentang bagaimana sebuah film juga mampu membuatnya berpikir dan mengintrospeksi dirinya sendiri. “Drama romantis seperti film ‘Closer’ atau yang baru saya tonton, ‘360’, menjadi pembelajaran untuk hubungan saya sendiri. Rutinitas kadang membuat tumpul sensitivitas kita terhadap pasangan, dan disadarkan lewat film itu ampuh, lho!”.
Beberapa film juga menjadi collectible items bagi Surya, sehingga ia rela bersusah payah mencari Original CD atau membeli edisi Blu-ray yang memiliki kualitas gambar dan suara lebih bagus. “Bukan hanya film Hollywood yang saya gemari, tapi juga film klasik Indonesia. Seperti film ‘Drakula Mantu’ yang dibintangi oleh Alm. Benyamin Sueb. Walaupun klasik, selalu berhasil buat saya terpingkal-pingkal. Makanya, saya simpan baik-baik karena ini investasi.”
Enam film sudah dipilih oleh Surya. Kini saatnya menyalakan DVD Player dan mulai menonton. Film pertama yang diputar olehnya adalah ‘Enemy at the Gates’. Kami yang kurang menyukai film bertema perang, dibuat yakin olehnya kalau film ini bisa dinikmati oleh siapa saja. “Film ini sarat dengan sejarah dan memperlihatkan bagaimana nilai persahabatan ketika dihadapkan dengan persaingan. Ada juga kisah cinta yang terselip di tengah peperangan, maka komplitlah film ini,” promosinya.
Film berikutnya adalah “Grown Ups”. Film yang diproduseri dan dibintangi oleh Adam Sandler itu, menjadi karya Sandler berikutnya yang disukai oleh Surya.”Aktor komedi yang saya suka adalah dia. Dialog dalam setiap filmnya bisa mengalir secara normal dan menghibur tanpa terkesan murahan. Celetukannya, sindirannya, dan sedikit tambahan splastick, dikombinasikan dengan pas. Bukan cuma ketawa-ketawa, filmnya juga pasti memberikan nilai moral, sehingga menjadi sebuah paket komplit tontonan.”
Dan benar saja, saat film berlangsung, Surya tidak bisa berhenti tertawa dan terpingkal karena dialog dan tingkah konyol Sandler cs. “Sayang sekali, belum ada film komedi Indonesia yang setaraf kreasi Sandler. Membuat orang tertawa itu susah dan lebih susah lagi mengemasnya dalam bentuk film yang alurnya enak diikuti.”
Film komedi berikutnya yang dipilih oleh Surya adalah “Sex=Zero”, sebuah drama komedi Korea. “Film ini punya tingkat kelucuan yang berbeda. Konyol, sedikit menjijikkan karena ada beberapa adegan yang membuat tidak nyaman, tapi memiliki akhir cerita yang bagus. Di balik ketololan dan aksi konyol yang membuat tertawa, si pemeran utama sebenarnya adalah seorang laki-laki perasa yang memendam perasaan cinta ke perempuan idamannya. Film yang dikemas dengan gaya yang sangat laki-laki, tapi tetap bisa dinikmati oleh perempuan karena unsur dramanya ada.”
“Avatar” adalah film selanjutnya yang direkomendasikan oleh Surya. “Film ini menjadi salah satu pilihan yang saya tonton berkali-kali dan tidak membosankan. Kejeniusan James Cameron yang memiliki ide film tersebut sebelum teknologi 3 Dimensi belum ditemukan, adalah salah satu bukti kalau film ini tidak sembarangan. Bayangkan, menunggu 10 tahun untuk sebuah penggarapan film, rasanya baru dia yang melakukan itu.”
“Film ini juga seperti menjadi reminder untuk kita semua, betapa manusia bisa dengan serakahnya menguasai alam yang harusnya menjadi tempat tinggal bersama. Keterlibatan saya di WWF, lebih membuka mata saya bahwa begitu banyak kerusakan yang dibuat oleh manusia dan sebenarnya tanpa disadari kita ikut andil di dalamnya. Sebagai contoh, sebuah perusahaan besar yang memperkerjakan banyak karyawan, namun mereka yang membuat  berhektar-hektar hutan hilang. Di sisi lain, perusahaan besar itu juga memiliki program CSR (corporate social responsibilities) yang berlawanan dengan apa yang sudah mereka lakukan untuk mendapatkan keuntungan. Sad, but true.”
Mood menonton berubah dramatis ketika kami mulai menonton “The Pianist”. Setting film yang mengambil suasana Jerman ketika Nazi masih berkuasa, memang menjadi salah satu faktor kenapa film ini dipilih. Tapi, ada alasan lain untuk Surya kenapa ia menyukai film yang dikatakannya sebagai “One of the best movie” itu. “Hubungan antarkeluarga bisa tertangkap dengan baik di sini. Tema-tema semacam itu yang hamper semua orang mengalaminya, sehingga membuat kita sebagai penonton seperti terikat dengan jalan cerita. Film ini juga punya nilai moral tentang sifat alami manusia untuk bertahan hidup, namun bilai tidak dekat dengan Tuhan, kita cenderung akan menindas sesama manusia.”
Film “Braveheart” selanjutnya dipilih oleh Surya. Sempat kesulitan menemukan CD film tersebut, Surya lalu dengan senangnya bisa menikmati lagi cerita kolosal itu sambil berujar alasan khususnya kenapa menyukai film ini. “Film ini memang drama, tapi tidak yang berlebihan dan terkesan lemah. Justru mampu memperlihatkan sisi terdalam seorang laki-laki yang penampilannya terlihat garang sekalipun, tapi bisa sangat lemah lembut bila berhadapan dengan istri yang dicintainya. Adegan yang saya paling suka di film ini adalah ketika Mel Gibson menyemangati pasukannya. Sangat patriotik. Kalau mengomentari tentang kualitas detail, sejarah, dan pemilihan setting, itu jangan diragukan lagi.”
Tetap melekatkan pandangan ke layar televisi sambil seseklai mengok ke arah kami, Surya flashback tentang awal hubungannya dengan Cynthia. “Saya pernah gagal menikah, sehingga di pertemuan kedua kami, saya langsung bertanya apa dia mau menjadi istri saya. Cynthia memang kaget saat itu, tapi setelah tahu alasannya kenapa saya seagresif itu, dia pun makin yakin kalau hubungan kami sudah berada di jalur yang tepat.”
Seharian berada di rumahnya, pergantian hari menuju malam menjadi pengingat kami untuk pulang. Surya pun sebenarnya sudah punya rencana lain juga, yaitu mengunjungi ibunya, selagi Cynthia sedang sibuk latihan untuk sebuah proyek barunya. Ramah, baik hati, hangat, romantis, dan mencintai ibunya, what more could you ask for from him?