Dunia tata rambut, saya datang! Maka, belajarlah saya di Salon Remaja, sebuah salon yang di tahun 70-an sangat terkenal binaan Robby. Status saya sebagai anak magang mengharuskan saya untuk mengerjakan apa saja di sana, mulai dari menyapu dan mengepel, sampai diajarkan mencuci rambut pelanggan. Proses belajarnya sangat serabutan, karena memang belum ada sekolah tata rambut dengan kurikulum layaknya sekarang. Selesai magang di sana, saya beranikan diri untuk membuat salon sendiri di rumah orang tua saya. Keadaan salonnya sangat sederhana, karena hanya ada sepasang meja dan kursi, yang itu pun sebenarnya adalah meja rias ibu saya yang ditarik dari kamar. Untuk mencuci rambut hanya menggunakan gayung dan ember, dan semuanya dilakukan di ruang tamu rumah orang tua. Tapi, salon itu mampu berkembang dengan baik, hingga tiga tahun, tepatnya tahun 1971, saya harus drop out dari bangku kuliah karena lebih sibuk mengurus salon. Salon menjadi tempat saya mendulang uang untuk seluruh keluarga saya, maka saya pun mantap memilih itu.
Saya ingin menjadi leader, bukan pengikut Setelah mantap memutuskan berhenti kuliah dan fokus mengurus salon, saya harus mendalami bidang ini dengan sekolah formal. Umumnya, di masa itu para penata rambut bersekolah formal di Singapura, Hongkong, atau Tokyo, belum ada yang berinisiatif sekolah di Eropa. Saya nggak ingin sama dengan mereka, maka saya pun berangkat ke London untuk mendalami tata rambut. Bisa dibilang, sayalah penata rambut pertama dari Indonesia yang sekolah ke Eropa pada masa itu. Selesai sekolah di sana, saya pun makin yakin kalau bidang ini adalah usaha yang cocok untuk saya, terlepas dari saya berbakat atau tidak. Sabar dan tekun adalah kunci saya untuk bisa menempuh perlahan kesuksesan di dunia ini, karena saya harus bertahan selama 10 tahun di salon “menumpang” di rumah orang tua saya sebelum akhirnya bisa membuka salon di tempat sendiri dan dikenal orang.
Saya penata rambut kelas atas Salon pertama saya terletak di gang buntu yang satu mobil saja susah untuk masuk. Itulah yang membuat saya harus berani untuk membuka cabang di lokasi yang lebih baik, karena tujuan utama saya adalah menjadi penata rambut kelas atas. Maka, saya ambil satu space di kawasan Duta Merlin, komplek komersial paling prestisius di masa itu karena menjadi shopping centre pertama di Jakarta yang menjual barang-barang merk internasional dan dilengkapi dengan pendingin udara. Sehingga, mendatangkan pembeli dari kawasan Menteng maupun Jakarta Selatan dan itu otomatis juga memberikan pelanggan baru untuk salon saya yang sesuai dengan cita-cita saya yaitu kalangan menengah atas. Karena pelanggan saya orang ternama, maka saya pun menyesuaikan harga pelayanan salon, seiring dengan posisi saya yang naik setingkat sebagai penata rambut kelas atas dan memiliki salon di area mewah. “Kejayaan” salon yang saya beri nama brand “Rudy Hadisuwarno”, terus berjalan dari 1978-1998 hingga terus membuka beberapa cabang lain.
Bisnis sukses harus pintar memotong harga Bisnis salon saya lalu dihadang dengan krisis moneter yang hebat. Bisnis semapan apapun bisa dengan mudahnya goyah bila nggak pandai-pandai menyiasati biaya operasional. Saya banyak membaca di berbagai media tentang hal ini, sehingga dua tahun sebelum krisis itu melanda, saya sudah bersiap-siap melakukan langkah pencegahan dengan membuka salon untuk kelas konsumen menengah ke bawah dengan nama “Rudy by Rudy Hadisuwarno”. Saya memotong harga pelayanan saya hingga seperempat dibanding harga salon Rudy Hadisuwarno yang diperuntukkan untuk kelas A. Langkah berani selanjutnya adalah mengubah beberapa salon eksklusif saya menjadi salon yang middle class, sambil tetap mempertahankan beberapa salon saya yang memang lokasinya strategis dan pantas dipertahankan, seperti yang ada di Plaza Indonesia dan mengganti yang terletak di Blok M. Nyatanya, keputusan saya memang tepat karena di masa krisis itu banyak salon berguguran karena pendapatan nggak bisa mengimbangi pengeluaran.
Jangan cuma bisa potong rambut Strategi membuat second line untuk salon ternyata bukan hanya mampu menyelamatkan saya dari krisis, tapi juga memperluas ranah bisnis saya. Begitu banyak pelanggan saya yang beralih ke salon lini kedua itu, membuat brand itu bisa dijadikan franchise, seiring dengan fenomena franchise yang mulai menjamur saat itu. Dan memang benar, franchise adalah langkah yang tepat untuk menyebarluaskan salon saya dan mampu menjangkau banyak wilayah, namun tidak serumit membuka cabang. Salon saya bisa sampai di Nangroe Aceh Darussalam hingga Merauke, dengan kualitas yang terjaga. Penguasaan saya dengan dunia bisnis ini karena saya suka membaca dan tidak berhenti belajar. Saya memang putus kuliah, tapi saya melanjutkan sekolah di LPPM yang sekarang bernama PPM, untuk mempelajari akuntasi, ekonomi, manajemen, dan berbagai hal yang terkait erat dalam berbisnis.
Selanjutnya: menyekolahkan calon hairdresser Bersamaan dengan adanya franchise, saya membuka sekolah pelatihan untuk para calon penata rambut, yang selanjutnya akan ditempatkan di berbagai lokasi salon franchise saya. Walau membuka franchise yang istilahnya saya nggak banyak ikut campur tangan dalam operasionalnya, tetap saja karyawan harus dari saya untuk menjaga mutu salon. Caranya adalah di dua tahun pertama pengoperasiaan salon franchise itu, saya hanya memperkerjakan tenaga kerja yang sudah dilatih di sekolah saya di Jakarta. Lalu, di tahun kedua salon tersebut sudah harus mulai memperkerjakan karyawan dari warga setempat dan dikirim ke Jakarta untuk disekolahkan. Selanjutnya, tenaga terlatih dari daerah itu sudah siap kerja dan pada akhirnya nanti tenaga kerja dari Jakarta akan ditarik kembali dan digantikan oleh karyawan setempat. Ini merupakan win-win solution. Di satu sisi saya mampu berbagi ilmu dengan banyak orang, namun sekaligus menghemat biaya operasional.
“Membawa pulang” kualitas salon Setelah franchise, ada pula produk perawatan rambut kreasi saya. Sebenarnya ini sudah dimulai sejak tahun 70-an, dimana adanya permintaan pelanggan yang ingin rambutnya terus terawat setelah mereka pulang dari salon saya. Untuk memenuhi permintaan itu, awalnya saya membeli produk perawatan rambut secara grosir, lalu menjualnya di salon saya. Namun, lama-lama saya ingin menjual produk yang murni kreasi saya, bukan sekadar menjadi reseller. Mulailah saya berkreasi dibantu oleh ayah saya yang juga adalah pedagang bahan-bahan kimia dan tahu cara meracik ramuan untuk dijadikan shampo dan berbagai macam lainnya. Produk itu diterima dengan baik, hingga proses produksi secara sederhana di sebuah dapur, berpindah ke ranah pabrik yang ditangani oleh Kalbe Farma. Belakangan, divisi kosmetik perusahaan farmasi itu diakusisi oleh Martha Tilaar Grup. Yang membuat saya cocok bekerja sama dengan Ibu Martha adalah kami memiliki visi yang sama, yaitu swadaya. Dulu, berbagai salon berbangga hati karena menggunakan produk impor, sementara kami lebih senang menggunakan produk yang kami buat sendiri. Kalau bisa buat sendiri, buat apa menggunakan punya orang lain? Di masa itu, belum ada yang terpikir melakukannya.
Saya pencipta creambath Saat saya menciptakan produk perawatan perambut, saya sekaligus menciptakan krim yang dipakai untuk memijat rambut, namun tidak lengket ketika rambut dibilas. Penciptaan krim ini lalu saya lengkapi dengan ritual perawatan yaitu memijat dan menggunakan handuk panas untuk membuka pori-pori kulit kepala, lalu membilasnya. Inilah creambath. Banyak yang mengira kalau terapi perawatan ini berasal dari luar negeri, padahal sebenarnya asli kreasi anak bangsa. Yang sedikit disayangkan adalah saya dulu nggak terpikir untuk mematenkan konsep creambath, sehingga sekarang hanya bisa mengikhlaskan saja kalau sudah dikomersialkan di mana-mana atau diganti dengan macam-macam nama seperti hair spa. Biarlah konsep creambath kini telah menjadi milik publik, namun paling tidak saya menjadi hairdresser pertama yang memberanikan diri untuk menciptakan dan menjual produk perawatan rambut menggunakan nama saya sendiri.
Sedang menyiapkan regenerasi Usia saya kini sudah 63 tahun, hampir menjelang 70 tahun. Itu yang membuat saya tidak lagi ngoyo untuk memikirkan ingin menajamkan bisnis apalagi, namun lebih memikirkan siapa yang akan menggantikan saya. Ada satu batas kalau saya harus digantikan oleh orang lain, dan itu harus dipersiapkan mulai sekarang. Dari segi manajemen, perusahaan sudah diambil alih oleh orang lain, saya bukan lagi CEO, cukup menjadi komisaris dan konseptor. Di lapangan, saya kini mulai didampingi oleh Diana, yang saya persiapkan sebagai pengganti saya. Di tahun ini kami masih muncul berdua sebagai duo partner, namun di tahun depan saya sudah tidak tampil lagi. Terkesan cepat, tapi saya harus berani karena kalau ditunda-tunda nggak akan berjalan regenerasi ini. Apakah saya sedih? Tidak sama sekali, justru sangat senang. Rasanya saya sudah cukup mendapatkan semuanya, buat apa lagi ngoyo? Kini saatnya saya memberikan kesempatan untuk mereka yang muda, sementara saya melihat dari belakang. Ini cara saya menikmati masa tua.