Kisah Pilu Perbudakan di Balik Kelezatan Mewah Cokelat

Fimela Editor diperbarui 31 Mei 2012, 12:10 WIB
Di zaman yang serbamaju ini mungkin kamu mengira perbudakan hanyalah cerita lama yang nggak akan pernah kita temukan lagi. Kamu salah besar. Perbudakan memang pernah ada, tapi sampai sekarang masih tetap ada. Budak-budak anak bekerja untuk menghasilkan cokelat-cokelat lezat, mewah, dan mahal, tapi mereka sendiri bahkan belum pernah mencicipi hasil keringat mereka itu.
Anak-anak itu menjadi korban perdagangan manusia. Mereka diwajibkan bekerja 100 jam seminggu dan akan dihukum fisik jika lamban atau mencoba melarikan diri. Memilih kakao-kakao yang sudah masak, memetik dan mengupasnya dengan parang, dan pekerjaan berat lainnya dibebankan ke mereka, pekerjaan yang sangat berisiko untuk anak seusia mereka.
Pekerjaan yang terlalu berat dan menyiksa itu nggak jarang membuat mereka cedera atau terluka. Banyak pula dari mereka yang kulit di sekitar bahu dan punggungnya terkelupas, membekas sampai sekarang, akibat beban berat yang dipanggul setiap hari.
Bagaimana cara mengetahui cokelat-cokelat yang ada di hadapanmu hasil keringat anak-anak malang itu atau bukan? Entahlah, nggak ada yang pernah tahu karena mencari sumber kakao sama dengan mustahil. Mereka yang ada di balik perbudakan anak, mulai dari petani, pedagang grosir, sampai eksportir, menutup rapat fakta ini dengan segala cara, salah satunya menambah jumlah perantara sampai biji-biji kakao itu berubah jadi cokelat.
Isu ini sudah muncul sejak 2001, dan tahun 2005 pernah ada kesepakatan untuk mengakhiri perbudakan anak di perkebunan cokelat, tapi gagal. Tiap tahun kesepakatan terus dibuat, tapi sampai sekarang nggak ada keputusan pasti, apalagi realisasi penghentian perbudakan. Tahun 2007 lalu, bahkan masih ditemukan 5 ribu sampai 10 ribu anak, sebagian besar berasal dari Mali dan Nikaragua, yang masih diperdagangkan di Pantai Gading dengan dalih kemiskinan.
Ironis ya, cokelat yang konon jadi simbol cinta justru asalnya dari tempat yang sama sekali nggak mengenal belas kasihan. Masih akan tetap jadi penggila cokelat? Siap-siap beralih ke cokelat lokal yang lebih jelas proses penanaman, panen, sampai pengolahan kakaonya? Atau, berdalih membeli cokelat-cokelat demi kesejahteraan anak-anak itu? Percuma, bantuanmu nggak akan menjadikan mereka sejahtera karena keuntungan penjualan kakao sama sekali nggak mengalir ke mereka, malah makin memperkaya dalang-dalang di balik perdagangan dan perbudakan anak itu.
Hati-hati, mungkin selama ini cokelat yang kamu nikmati adalah hasil keringat dan tangis anak-anak yang terjebak situasi, yang belum layak dipekerjakan, yang bekerja bukan karena keinginan mereka sendiri, dan yang dipekerjakan tanpa memedulikan hak dari keringat yang sudah mereka keluarkan!