What's On Fimela
powered by
Do not think a lotKenapa filmnya harus berbahasa Inggris, kenapa berlokasi di hutan, kenapa dibuat seolah-olah bersetting di luar negeri, dan banyak pertanyaan lain yang mempermasalahkan hal kecil film ini, sebaiknya jangan terlalu dipusingkan. Untuk masalah pemilihan bahasa Inggris, Joko Anwar sebagai sutradara dan Lala Timothy sebaga produser, sama sekali bukan untuk meniatkan film ini agar bisa dijual ke luar negeri, murni atas dasar kreativitas. “Bahasa hanya sebuah alat komunikasi dan itu bisa dipakai oleh siapa saja di mana saja. Sebaiknya, fokus saja pada pengalaman berteriak, ketakutan, dan deg degan saat menonton film ini layaknya naik roller coaster,” kata Joko. Saran lain dari Surya Saputra, salah satu pemain film ini, adalah jangan makan terlalu banyak sebelum nonton. “Seperti film-film Joko yang lain, bersiaplah melihat banyak darah karena selalu nggak tertebak filmnya seperti apa,” tuturnya. Surya yang mendapatkan peran sebagai bapak dari dua putra yang bahagia harus secara khusus membuat botak kepalanya dan tampil gemuk, sehingga menambah berat badannya 5 kilogram.
Kids stay at homeFilm ini tergolong dalam kategori film dewasa dan menurut Masyarakat Film Indonesia (MFI) cocok ditonton oleh mereka yang berusia 18 tahun ke atas. “Oleh karena itu, jangan bawa anak-anak ketika menonton film ini karena kasihan anaknya, dan kalau tetap nekat membawa anak, ketika mereka nangis akan mengganggu penonton lainnya. Saya juga dapat komentar lucu dari seseorang di Twitter kalau misalnya ada tempat penitipan jantung, bisa dititipkan dulu jantungnya karena film ini memang ngagetin. Itu sebabnya lagi-lagi, ini nggak cocok untuk ditonton anak-anak,” kata Lala.
No spoiler, please!Kekuatan film ini terletak pada jalan cerita yang twisted dan ending yang nggak terduga. Itulah sebabnya, baik Joko maupun Lala sangat menjaga keeksklusifan jalan ceritanya, walaupun mereka sudah melakukan promosi via Twitter dan Facebook, serta mengadakan workshop ke berbagai universitas dan tempat sejak lama, tanpa membocorkan sedikit pun ceritanya. Berperan sebagai siapa Rio Dewanto, siapa yang jahat, atau kenapa dia harus berlari-lari di dalam hutan, sebaiknya disimpan sendiri saja kalau kamu sudah menonton dan biarkan teman-teman yang lain mengetahui jalan ceritanya sendiri.
Try be more attentivePertanyaan seperti kenapa harus ada sosok dokter bedah atau kenapa John Evans (Rio Dewanto) berlaku seperti itu, sebenarnya sudah dijelaskan semua dalam film ini. Hanya saja, Joko sebagai penggemar hal-hal detail, menyelipkannya secara teliti sehingga menuntut kita sebagai penonton untuk lebih memperhatikan setiap hal. “Ini tipe film yang harus sadar banget saat nonton, karena kalau biasa nonton film Bang Joko, pasti tahu bagaimana pola filmnya. Akan sangat membingungkan, harus berpikir, dan ada banyak clue-clue di sepanjang film,” ujar Hannah Al Rashid, salah satu pemerannya.
Nonton lebih dari sekaliLala mengkategorikan “Modus Anomali” sebagai film berbujet medium karena hanya membutuhkan 4 milyar untuk biaya produksi di luar promosi dan distribusi. Keberhasilannya untuk bisa tetap pada bujet awal karena mereka sudah mempersiapkan segala sesuatunya di Jakarta, seperti berlatih koreografi untuk Rio, penentuan titik pengambilan gambar, bahkan pemilihan lokasi untuk mendirikan tenda makanan dengan pertimbangan jarak yang nggak terlalu jauh agar kru nggak kelelahan saat ingin mengambil konsumsi dan kembali ke set pengambilan gambar. Alhasil, waktu syuting on time hanya membutuhkan 10 hari tanpa molor sedikit pun. Dengan persiapan sematang ini, Hannah dan Rio mengakui sendiri bahwa ini adalah film yang patut ditonton lebih dari sekali karena memuat detail yang cerdas dan butuh mata awas. Hannah yang mengaku “baru” menontonnya 2 kali, mengakui bahwa untuk kali kedua ia menjadi lebih appreciate dengan filmnya karena menemukan hal yang baru dilihat atau dimengerti yang nggak didapatkan ketika pertama kali nonton.
Just enjoy the show!Menonton film thriller semacam “Modus Anomali”, bisa dibilang nggak rugi untuk “ditakut-takuti”. Karena, pengalaman menonton dengan kualitas sinematografi dan suara yang disiapkan dengan baik, adalah nilai plus yang perlu diperlukan. Perlu diketahui, Aghi Narottama, Bemby Gusti, Ramondo Gascaro yang berperan sebagai penata musik, merekam langsung suara coffee machine, suara AC, jendela, bahkan bunyi flush kloset, untuk memberikan efek suara yang make believe, nyata, dan mendukung penuh suasana tegang selama film. Oh dan satu lagi, Joko Anwar juga turut menyumbangkan suaranya dalam salah satu soundtrack yang mengiringi credit title. Kalau ingin menilai apakah Joko pantas menjadi penyanyi juga, jangan terburu-buru beranjak dari kursi bioskop. Overall, film tetaplah sebuah media hiburan. Terlepas dari genre filmnya, bersenang-senanglah dengan tontonan ini!