FASHION INSIDER: Susan Budihardjo, Tiga Dasawarsa Mendidik Fashion Indonesia

Fimela diperbarui 28 Mar 2012, 11:55 WIB

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

What's On Fimela
“Dulu cita-cita saya selalu berubah. Mulai dari penari balet, pianis, hingga ingin menjadi atlet renang atau basket. Namun akhirnya yang bisa membuat saya serius adalah fashion.”Susan tergolong murid yang cerdas. Dia berhasil masuk ke universitas ketika berusia 16 tahun. Kenapa akhirnya Susan yang tomboy bisa terjun ke dunia ini? Memiliki ibu yang fashionable dan gemar menjahit otomatis membuat Susan memiliki koleksi baju paling banyak diantara temannya. Tubuhnya yang atletis membuat dia tepat menjadi “mannequin” berjalan. Dari situ banyak temannya yang meminta dibuatkan baju, dan mulailah ia terpanggil untuk terjun ke dunia fashion.
“Tidak ada satupun sekolah fashion di Jakarta, sampai akhirnya saya harus ke Jerman.”Setelah 5 tahun menuntut ilmu di Jerman akhirnya Susan kembali ke tanah air untuk membuka sekolah fashion bukan menjadi desainer seperti teman seangkatannya yang lain. “Biar saja saya dibilang bodoh, pokoknya saya mau buka sekolah fashion jadi orang tidak perlu lagi pergi ke luar negeri untuk belajar.” Dan sekolah LPTB (Lembaga Pengajaran Tata Busana) Susan Budihardjo kemudian berdiri pada tahun 1980 dan menjadi sekolah fashion pertama di Indonesia. Kini sekolahnya sudah memiliki cabang di Semarang, Surabaya dan Bali.
“Saya lebih bangga disebut sebagai pendidik dibanding sebagai desainer.”Saat ini Susan Budihardjo sudah tidak lagi mengajar atau menggelar show tunggal kecuali diminta oleh pihak-pihak tertentu. Rasa kangen dalam urusan mendesain dituangkan lewat order busana yang ia terima dari beberapa teman dekat, atau untuk dirinya sendiri pada saat menghadiri acara penting. Sedangkan garis desain Susan sendiri lebih mengacu pada gaya minimalis, sedikit edgy tanpa meninggalkan garis feminin.
“Wajar kalau kalau orang menilai saya judes atau sombong. Bekerja non-stop membuat saya tegang dan kelelahan.”Awalnya Susan mendedikasikan waktunya dari pagi hingga malam hari mulai dari hari Senin hingga Sabtu untuk memajukan sekolah busananya. Tidak heran jika ia selalu tegang, dan biasanya pada saat liburan dia lebih suka di rumah dan nonton televisi bisa sampai 18 jam non-stop. Selain itu dia juga jago masak western food, apalagi yang menggunakan teknik panggang, “Kapan-kapan coba deh masakan saya, semua yang sudah mencoba bilang masakan saya enak.”
“Mau go international? Jangan bikin kebaya terus dong!”Yang ia maksud di sini adalah untuk memotivasi desainer kita untuk berkembang maju ke pasar ready to wear. Sudah saatnya kita membuat koleksi yang mau dipakai semua orang tanpa memerlukan kesempatan atau acara khusus yang berbau kultur. Manfaatkan teknologi, dan mulai hindari pengerjaan tangan yang banyak makan waktu. “Jangan bangga dulu jika baru mendapat order satu atau dua lusin dari buyer asing, hanya bikin capek saja kan?”
“Dari yang basic saja seperti tidak adanya kain yang berkualitas, sudah membuat desainer kita ketinggalan dengan yang lain.”Sebagai desainer sekaligus pendidik Susan mengerti betul betapa susahnya mencari bahan dengan kualitas bertaraf internasional di sini. Dia kemudian menambahkan bahwa industri tekstil di sini sebenarnya bisa membuat kain dengan kualitas prima, namun itu semua adalah orderan dari pihak luar negeri. Oleh karena itu Susan mulai mengajarkan anak-anaknya untuk melirik ke industri ready to wear dengan pasar yang lebih besar dan secara perlahan mengubah stigma ini.
“Saya bangga dengan semua anak murid lulusan sekolah ini.”Sudah banyak jebolan sekolahnya yang sukses di industri fashion tanah air. Sebut saja desainer seperti Sebastian Gunawan, Eddy Betty, Didi Budiardjo, Adrian Gan, Irsan, Soffie dan masih banyak lain. Namun yang terpenting baginya semua berhasil masuk ke industri ini dan sukses pada bidangnya masing-masing.“Rasa bangganya sama kok antara Adrian Gan yang mempunyai lini haute couture dengan murid saya yang sukses di Ujung Pandang. Yang terpenting mereka berhasil di bidang yang mereka geluti.”
“Anak murid saya ada yang ditolak ikut ujian pemerintah karena dia pakai celana jeans!”Banyaknya sekolah mode asing yang masuk ke Indonesia dianggap sebagai indikasi pasar lokal yang semakin menanjak. Namun untuk sekolah lokal bersaing dengan sekolah franchised yang sudah berumur ratusan tahun memang sangat sulit. Apalagi ditambah dengan kurangnya dukungan pemerintah, “Setiap tahun mereka dengan seenaknya mengubah peraturan. Kita hanya minta diberi tahu in advanced tentang perubahan yang ada. Kalaupun sudah dituruti semuanya mereka masih mencari kesalahan seperti murid saya yang ditolak ujian gara-gara pakai celana jeans.”
Tentang Idealisme, Karakter Dan Kunci Sukses Menjadi Desainer IndonesiaUntuk kamu yang berencana menjadi desainer yang terpenting adalah memiliki garis desain dan karakter yang berbeda dengan tetangga. Lalu harus bisa menyesuaikan permintaan pasar dan juga tren yang ada dengan versi karakternya diri sendiri. Bisa bersaing dalam segi kualitas, harga dan jangan lagi berpikir desainer itu sekedar tukang jahit. Sebuah tim yang solid sudah mutlak harus dibangun jika ingin label yang kamu miliki terus berkembang.
”Tidak perlu buat show tunggal kalau koleksinya tidak berbeda dari 5 tahun yang lalu.”Selalu berfikir satu langkah di muka, dan pastikan selalu memiliki statement baru dalam segi desain dari sebuah koleksi yang ditawarkan setiap musim tanpa meninggalkan identitas diri. “Jangan merasa bangga bisa buat show tunggal dan masuk media sana sini kalau ternyata baju kamu tidak laku di pasaran.”