Pertunjukan “Matah Ati” Akhirnya Berjaya di Negeri Sendiri

Fimela Editor diperbarui 18 Mei 2011, 08:29 WIB
Situasi pedesaan yang riang dan selalu ramai, digambarkan dengan suasana bermain (dolanan). Para pemuda dan pemudi berkumpul di sebuah lapangan luas dan menyanyikan tembang ceria dolanan Jawa, seperti “Cublak-Cublak Suweng”.
Di tengah keramaian suasana bermain, tiba-tiba datang arak-arakan dari kerajaan yang terdiri dari para panglima Punggawa Baku, Raden Mas Said, dan Eyang Koesumonarso. Di situlah pertama kalinya Raden Mas Said dan Rubiyah bertemu langsung dan menimbulkan perasaan lain di hati masing-masing.
Rubiyah yang seorang gadis desa dan berkasta rakyat biasa, mampu memikat hati Raden Mas Said, kala melintasi Desa Matah. Di saat itu pulalah, terbersit keinginan Rubiyah untuk menjadi pendamping hidup Sang Pangeran, namun ia disadarkan oleh ayahnya bahwa status rakyatnya membuat impian itu nggak mungkin.
Kecantikan Rubiyah juga memikat Bagus, seorang pemuda desa, namun hati dan pikiran Rubiyah hanya untuk Mas Raden Said seorang.
Raden Mas Said melakukan tapa brata untuk memohon kekuatan dan petunjuk kepada Tuhan, namun ia digoda oleh perempuan yang menggairahkan, dan ia bergeming tak tergoda sedikit pun.
Di tengah pertapaannya, ruh Raden Mas Said keluar dari tubuhnya dan bertemu dengan titisan seorang gadis yang menggetarkan hatinya. Namun, pangeran kerajaan ini belum bisa menangkap maksud dari pesan tersebut.
Masa Penjajahan Belanda yang mencerai-beraikan persatuan rakyat, membuat Raden Mas Said mengajak para prajuritnya mengucapkan sumpah pamoring kawula yang berbunyi “Tiji tibeh, mati siji, mati kabeh, mukti siji, mukti kabeh” (mati satu, mati semua, mulia satu, mulia semua). Walaupun di masa ini Indonesia masih jauh dari kemerdekaan, namun rasa nasionalisme itu sudah terbentuk.
Pasukan Belanda menyerang pasukan Raden Mas Said, namun karena jumlah pasukan Raden Mas Said lebih sedikit, maka mereka memilih mundur dulu untuk menyusun strategi.
Menonton wayang adalah salah bentuk hiburan yang selalu dinantikan oleh para warga Desa Matah. Antusiasme warga terlihat dari berbondong-bondongnya mereka untuk menonton pertunjukan tersebut. Layar panggung wayang sangat unik, karena di bagian atasnya dihiasi oleh beberapa pasang telapak kaki yang bergerak seirama sesuai musik.
Pertunjukan wayang pun dimulai. Rubiyah adalah salah satu yang menonton acara tersebut hingga ia jatuh tertidur.
Kemudian, Raden Mas yang kebetulan melintas di sekitar acara pagelaran wayang itu, menghampiri Rubiyah dan meninggalkan ikat kepalanya sebagai sebuah tanda bahwa ia menginginkan Rubiyah sebagai belahan jiwanya. Rubiyah yang terbangun setelahnya, dilanda rasa kasmaran yang hebat karena impiannya benar-benar menjadi kenyataan.
Inilah adegan paling kocak dari pertunjukan “Matah Ati”, yaitu di saat empat orang ibu saling mengobrol dan melontarkan banyolan khas pedesaan Jawa yang akrab. Suasana teater makin segar saat ibu-ibu ini bergantian melucu sambil menyisipkan isu-isu sosial dan politik terkini, seperti semrawut di organisasi PSSI dan aksi koruptor di lembaga perwakilan rakyat. Inilah buktinya “Matah Ati” bukan hanya bercerita tentang sejarah Mangkunegaran, tapi bercerita tentang Indonesia secara keseluruhan.
Rubiyah terpilih menjadi salah satu laskar prajurit wanita pilihan Raden Mas Said, dan ia melakukan pesanggrahan atau gladi resik untuk menguji ketangkasannya.
Setelah berhasil melewati fase gladi resik, Rubiyah dihadapkan kepada Raden Mas Said. Sembari berlatih perang bersama, kedua insan yang sedang jatuh cinta ini sekaligus memuaskan dahaga kerinduan yang terbendung sejak lama. Nah, siapa yang bilang cerita klasik nggak bisa menjadi tontonan romantis?
Setelah lulus uji, Rubiyah akhirnya resmi diangkat menjadi panglima perang. Dengan ini, Rubiyah menyakan siap memimpin perang dan diberi nama “Matah Ati” yang berarti melayani hati Sang Pangeran.
Perang besar pun akhirnya terjadi. Politik licik Belanda yang bernama devide et impera, memecah belah kerukunan dan persatuan rakyat. Di sinilah Rubiyah mendampingi Raden Mas Said saat berperang dan jelaslah bahwa kesetaraan gender sudah ada di zaman itu. Rubiyah yang awalnya adalah seorang gadis desa biasa, akhirnya bisa juga menjadi panglima perang yang tegar dan tangguh.
Kemenangan akhirnya bisa diraih oleh pihak Raden Mas Said berkat peran Laskar Putri yang dikomandani oleh Rubiyah. Namun, kemenangan itu nggak bisa menyembunyikan kesedihan Raden Mas Said akan banyaknya korban yang berjatuhan. Kerajaan Mangkunegaran yang erat dengan agama Islam, ditunjukkan dengan berkumandangnya seruan tahlilan saat  para prajurit meninggal.
Kemenangan lalu dirayakan dengan Pesta Agung untuk memaknai kejayaan di bawah pimpinan Raden Mas Said. Bersamaan dengan ini, diselenggarakan pula pesta pernikahan meriah antara Raden Mas Said dan Rubiyah.
Kisah cinta antara kedua insan ini akhirnya menemui ujung cerita yang bahagia. Raden Mas Said akhirnya menemukan belahan jiwa yang pas untuknya, yaitu seorang perempuan setia dan tangguh sepeti Rubiyah.
Tiba saatnya Raden Mas Said dan Rubiyah memadu cinta. Malam pertama pasangan yang jatuh cinta ini dimaksudkan untuk mensyukuri rahmat Sang Pencipta dan membuat keturunan yang akan menjadi Ksatria Utama yang berbakti membela keadilan rakyat dan bangsanya. Seiring dengan berakhirnya pertunjukan, “Matah Ati” mendapat tepuk tangan berdiri dari penonton teater. Inilah buktinya sejarah budaya asli Indonesia, belum tergeser di hati warganya sendiri. Bravo!