Fimela.com, Jakarta Mimpi dan harapan saya semakin dekat usai menonton cuplikan Buffalo Boys yang berdurasi 40 detik. Saat itu, ketika cuma iseng melihat cuplikan-cuplikan film yang akan tayang tahun ini, Buffalo Boys nggak sengaja pop up dan langsung ngeplay.
Mata yang tadinya setengah tertutup karena waktu menunjukkan jam 2 pagi, tiba-tiba langsung melek dengan musik yang dihadirkan dalam cuplikan tersebut. Wait, is Tarantino making an Indonesian movie, now?
Ternyata saya salah. Minke dalam Bumi Manusianya Pram memang benar. Saya harusnya adil sejak dalam pikiran. Ngejudge cuplikan film karya Anak Bangsa sebagai garapan Quentin Tarantino sangat nggak bijaksana dan adil buat Mike Wiluan.
Habis, mau bagaimana lagi? Buffalo Boys menyajikan cita rasa yang jauh berbeda dengan film-film bertema nasionalisme dan kolonialisme lainnya. Jauh berbeda. Bayangkan, film yang menggambarkan Indonesia di era kolonial ini dibungkus dengan gaya koboi.
Mulai dari musik latar, pakaian para penjajah, cara mereka berantem dengan saling berhadapan serta permainan senjata api. Semuanya seperti bukan film perjuangan biasa.
Saya sudah lama bermimpi ingin melihat film berlatar sejarah Indonesia, tapi digarap seperti film-film luar negeri. Seperti Mangir karya Pram yang selalu saya imajinasikan sebagai sebuah film perang ala kerajaan-kerajaan kuno di Cina. Atau sebuah film kolonialisme yang digarap seperti Django Unchained. Walaupun mungkin agak sedikit 'unik.'
Film garapan Mike yang berlatar masa penjajahan Belanda di Jawa ini mengisahkan dua saudara yang ingin membalas dendam ayah mereka setelah bertahun-tahun diasingkan di Amerika. Kata Mike seperti dilansir dari CNN Indonesia, film ini memang sengaja dibuat ala Barat.
Katanya biar bisa bersaing di pasar global. Biar unik, dan penonton yang bukan dari Indonesia juga bisa paham dengan pesan dan penggambaran dalam film ini.
"Tujuan kami membuat film lokal yang dapat bersaing di pasar global. Dan menurut saya cerita yang kami tunjukkan unik bagi penonton global yang ingin memahami tentang sejarah Indonesia," katanya kepada CNN.
Tapi sayangnya, saya melihat banyak komentar di bawah cuplikan tersebut, dan juga di berbagai media sosial, yang kontra dengan film ini. Meski belum melihat film secara utuh, mereka sudah pesimis.
Pertama, karena film era kolonial ini disajikan dengan gaya koboi. Menurut mereka, ini agak aneh. Merusak 'esensi' katanya. Dengan kata lain, Buffalo Boys seakan memperkosa nilai kepahlawanan dan kolonialisme serta nasionalisme.
Kedua, Mike memang orang Indonesia. Tapi dianggap gayanya terlalu kebarat-baratan. Lagi pula, film ini digarap nggak sendirian. Mike dibantu banyak tim yang jago banget dalam film action. Mike juga menulis skenario bersama Rayya Makarim. Tapi, penggarapannya dibantu tim produksi dan kreatif dari Singapura, Thailand bahkan Australia. Bukan. Menurut mereka, ini bukannya keren. Tapi justru 'kecacatan' dari sebuah film film sejarah Indonesia dengan sentuhan genre klasik Western ini.
Westernisasi yang Meyeramkan
Mabuk westernisasi. Kenapa semua orang takut untuk dikatai 'kebarat-baratan?' Menghindar setiap kali dicap bule-sentris. Menepis setiap kali dihakimi sebagai orang yang hanya melihat kebudayaan Barat. Terlahir di Tanah Air dan selama 26 tahun tidak pernah merasakan tinggal di negeri orang membuat saya seakan dituntut untuk menjadi lebih 'Indonesia.'
Jangan tanya seperti apa menjadi orang Indonesia dalam definisi mereka. Standar. Ngomong pakai bahasa Indonesia. Kirim pesan singkat dan obrolan pakai bahasa ibu. Buku-buku karya 'pribumi' harus lebih dihargai, nggak peduli isinya bobrok di sana-sini. Termasuk nonton film-film karya Anak Bangsa.
"Nggak papa nonton film luar pakai DVD bajakan dan streaming online gratis. Asal jangan film Indonesia."
Tunggu! Duduk yang anteng, saudara-saudariku yang cinta karya Anak Bangsa. Tiga paragraf di atas sama sekali tidak bermaksud untuk mencibir kamu semua yang mati-matian mengimbau agar orang Indonesia lebih mementingkan film karya Anak Bangsa.
Ini bagus. Saya nggak pernah bilang itu buruk. Tentu, karya anak bangsa harus diapresiasi, didorong agar bisa bersaing dengan karya-karya anak bangsa lain. Tapi sayang, saya nggak termasuk dalam kelompok orang-orang dengan mindset 'yang penting karya anak bangsa, bodo amat bagus atau perlu banyak kritikan.'
Buffalo Boys mungkin akan diagung-agungkan lebih banyak orang, kalau nggak mirip film koboi. Kalau juga nggak mengingatkan banyak orang dengan film-film yang dilahirkan Quentin Tarantino. Dan, nggak dicap sebagai 'satu lagi film Indonesia yang mau ngikutin Tarantino.'
Tapi apa memang sebegitu berdosa menyontek karya orang lain dan diaplikasikan pada karya sendiri? Selama karya itu masih original dan bukan plagiat, belajar menciptakan sebuah karya dengan 'mencuri' sebagian ide orang lain sebenarnya sah-sah saja. Film Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak, misalnya. Apa nggak kurang Tarantino?
Meskipun nggak ada koboi-koboian di film Marlina, tapi napasnya terasa banget. Ini, orang dibalik film yang diapresiasi banyak orang dan negara lain, pasti belajar dari Tarantino. 'Mencuri' sedikit gayanya pada sebuah karya Anak Bangsa yang menceritakan sebuah masalah di daerah terlupakan.
Lagian, apa sih, yang salah dari 'mencuri' sebagian ide? Mencuri, lho, bukan ngejiplak atau plagiat. Ini dua hal yang beda. Kalau nggak tahu bedanya di mana, stop baca Editor Says saya. Baca yang lain saja seperti gosip Lucinta Luna, misalnya.
Karena Tarantino sendiri juga nyontek. Dalam sebuah wawancara di mana sutradara kawakan yang menggarap Pulp Fiction dan Kill Bill 1&2, Tarantino mengaku, salah satu alasan kenapa dia bisa melahirkan karya yang unik adalah dengan 'mencuri.'
"Saya mencuri dari setiap film yang dibuat, sequence menari dalam film Pulp Fiction diambil dari film Bande à Part karya Jean-Luc Godard. Tapi justru, orang yang cerdas adalah mereka yang bisa menyobek sedikit ide dari sebuah karya milik orang lain, dan membuatnya menjadi sebuah karya utuh miliknya sendiri. Seperi Tarantino. Juga Mike Wiluan. Dan nggak ada yang salah dengan membuat mozaik dari ide-ide milik orang lain dan dirangkai menjadi sebuah karya utuh yang berbeda.
Karla Farhana
Editor Sex and Health, Bintang.com