Padahal, untuk buruh laki-laki ada perbedaan gaji antara buruh lajang dan yang sudah berkeluarga, dengan logika mereka yang sudah menjadi kepala keluarga akan membutuhkan gaji yang lebih besar untuk menghidupi keluarganya. Kenyataan itu dipaparkan oleh Rahmat Sodikin dari Divisi Kampanye Paguyuban Pekerja Muda Peduli (PPMP) di tahun 2009 lalu. Pernyataan yang keluar dari 3 tahun lalu tersebut masih berlangsung hingga sekarang, berkaca dari peristiwa penutupan akses jalan tol Cikampek-Jakarta sebagai bagian dari aksi mogok kerja ribuan buruh di Cikarang, Bekasi, yang meminta kenaikan gaji dari kesepakatan Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang ditetapkan oleh pemerintahan Jawa Barat.
Nggak hanya di Indonesia, isu perbedaan upah atau gaji antara perempuan dan laki-laki juga berlaku di Eropa. Di Prancis, Spanyol, hingga Belgia, para karyawan perempuan yang bekerja di konveksi atau supermarket, harus menerima kenyataan bahwa mereka dibedakan dari laki-laki dalam soal gaji. Memang keadaan sekarang jauh lebih baik dibanding 35 tahun yang lalu, dimana diskriminasi gender sangat kentara terlihat. Tapi tetap saja, isu ini masih diusahakan terus oleh European Commission sebagai bagian eksekutif dari Uni Eropa, agar benar-benar hilang dan dihapuskan. Sebagai upaya mereka yang tanpa lelah dijalankan, mereka rutin setiap tahun membuat video non komersil yang menyuarakan tentang perbedaan gaji yang masih dirasakan oleh pekerja perempuan.
What do you think, Ladies? Apa sebaiknya kita juga harus mulai mencari cara kreatif untuk menyamaratakan hak perempuan di lingkungan pekerja, bukan sekadar hanya mogok kerja atau demonstrasi? Share your comments!