Fimela.com, Jakarta Pemerkosaan merupakan sebuah kejahatan. Di mana para korbannya tersebar di seluruh lapisan masyarakat. Tak mengenal usia. Tak juga mengenal status. Dan yang paling penting, korban pemerkosaan bisa terjadi pada semua gender.
Dilansir dari Kids Health, pemerkosaan merupakan sebuah tindak hubungan seksual yang dipaksakan, atau disertai dengan kekerasan baik verbal maupun non-verbal, dan menggunakan pengendalian atas seseorang.
Pemerkosaan merupakan sebuah tindak kriminal. Tak peduli siapa pun pelakunya. Bisa jadi orang tak dikenal, tetangga, rekan, teman, sahabat, bahkan anggota keluarga dan pasangan.
Pertumbuhan angka kasus pemerkosaan di Indonesia sebenarnya belum bisa dibaca. Dari data yang ada, mungkin kamu cuma bisa menerawang dan mengira-kira. Pasalnya, nggak semua kasus dilaporkan. Nggak semua korban melaporkan apa yang sudah terjadi terhadap dirinya kepada sebuah lembaga atau aparat keamanan.
Menyedihkan ketika kamu mendengar apa alasan sebagian korban pemerkosaan yang ogah angkat bicara untuk melapor dan mendapatkan perlindungan. Sebagian, dilansir dari Psychlogy Today, malu untuk mengatakan apa yang sudah pelaku lakukan terhadap dirinya kepada orang lain.
Not even a single person. Karena, sekali mereka bicara, kemungkinan berita tersebut akan menyebar. Jangan dulu berbicara soal media massa dan juga sosial yang begitu cepat menyebarkan berita, terlepas dari itu benar atau berbumbu tambahan untuk menarik banyak perhatian.
Seperti yang juga terjadi di Indonesia, membiarkan orang lain tahu diri mereka adalah korban pemerkosaan adalah seburuk-buruknya mimpi. Bahkan mungkin, efeknya akan lebih menyakitkan dari pemerkosaan itu sendiri.
Mengaku sebagai korban, menurut sebagian orang, berarti membiarkan orang lain tahu betapa 'murah', 'mudah,' lalai menjaga tubuh sendiri, dan kotoronya diri mereka. Tentu saja nggak ada orang lain yang mau hal ini terkuak di depan keluarga besar, lalu melebar jadi satu RT, satu RW, kelurahan, kecamatan, kota, provinsi, negara, dan bahkan tersiar sebagai berita internasional.
Efek dari pemerkosaan itu sendiri sudah menoreh luka yang sangat dalam pada diri seorang korban. Belum lagi efek dari proses penyelesaian, mediasi, visum, menerima pandangan masyarakat yang lebih menghakimi ketimbang sekadar berkomentar. Trauma mendalam yang disebut dengan Rape Trauma Symptomps (RTS).
Rape Trauma Symptomps
Secara fisik dan psikis, korban pemerkosaan akan menunjukkan gejala RTS. Dilansir dari Rapecrisi.org.za, RTS secara fisik antara lain:
1. Sering merasa terkejut, shock, terguncang, merasa kedinginan, pingsan, mengalami kebingungan, dan juga gemetar. Mereka juga kadang menunjukkan adanya rasa mual dan muntah-muntah.
2. Meski nggak semua, sebagian korban pemerkosaan diketahui hamil tak lama setelah kejadian.
3. Mengalami masalah pada siklus menstruasi, seperti haid tak lancar, lebih banyak darah yang keluar, sakit saat menstruasi. Atau juga muncul keputihan, infeksi kantung kemih, dan juga STDs.
4. Infeksi dari luka pada vagina atau rektum.
5. Iritasi dan pegal pada otot leher dan tenggorokan karena dipaksa melakukan seks oral.
6. Sakit kepala
7. Tidak bisa tidur
8. Tidak nafsu makan.
Sementara, gejala yang timbul pada kesehatan mentalnya antara lain:
1. Menangis terus-menerus dan lebih sering dibandingkan biasanya.
2. Tidak bisa konsentrasi
3. Tidak bisa tenang.
4. Menghindari apa pun yang bisa mengingatkan mereka pada si pelaku.
5. Malasah pada hubungan antara teman, saudara, dan juga keluarga.
6. Rasa ingin mandi terus-menerus, atau mencuci.
Apa yang Bisa Kamu Lakukan untuk Membantu Mereka?
Ketika muncul korban pemerkosaan, banyak orang yang berbondong-bondong 'berjuang' membela si korban dengan mengadakan aksi dan juga gerakan solidaritas. Demo dan semua aksi mungkin memang diperlukan, untuk membenahi peraturan dan Undang-Undang agar bisa lebih baik melindungi saksi dan juga korban.
Tapi, apa yang sebenarnya bisa kamu lakukan untuk si korban? Meski kejadiannya hanya semalam, atau bahkan cuma beberapa menit, luka yang menganga pada jiwa korban akan terus basah bertahun-tahun, bahkan seumur hidup, meninggalkan trauma.
Dilansir dari Psychology Today, orang terdekat yang peduli dengan korban sebaiknya membawa korban untuk mencari lembaga demi dilakukan sebuah treatment secepatnya. Semakin cepat penanganan dan pemulihan dilakukan, akan semakin cepat korban recover dari traumanya.
Sementara, Help Guide menulis, healing pada diri korban pemerkosaan memiliki 4 tahap; pertama, reframe apa yang sudah terjadi. Ini nggak mudah bagi mereka yang mengalami pemerkosaan dan kekerasan seksual. Kemudian, melakukan flashback runutan kejadian, dan membangun kembali rasa kepercayaanmu terhadap diri sendiri. Membangun kembali self-awareness nggak mudah, tapi ini harus dilakukan. Juga jangan berdiam diri. Bergabung dan bangun kembali koneksi dan komunikasi yang sehat dengan keluarga dan sahabat.