Operasi Kelamin Kerap Gagal, Ini Bahaya yang Bakal Mengintai

Karla Farhana diperbarui 28 Mar 2018, 19:32 WIB

Fimela.com, Jakarta Heboh seorang pria mengunggah sebuah video di rumah sakit usai menjalani operasi kelamin membuat banyak orang bertanya-tanya seputar dunia para transgender. Terlepas dari pro-kontra yang kini sedang marak, ada hal yang lebih penting untuk dibahas. 

Operasi kelamin, atau juga disebut dengan SRS, GRS, GCS-Sex Reassignment Surgery, merupakan operasi penggantian alat vital. Alat vital pria diubah menjadi milik wanita, dan sebaliknya. Dilansir dari the Public Discourse, 98 persen operasi dinyatakan berhasil. Namun, sisanya gagal dan menimbulkan banyak perubahaan dan dampak pada pasien usai operasi dilakukan. 

The Guardian melaporkan, sebuah review lebih dari 100 penelitian kedokteran internasional mengenai keadaan pasien paca operasi yang dilakukan the University of Birmingham Aggressive Research Intelligence Facility menunjukkan, tidak ada bukti ilmiah yang kuat kalau operasi kelamin efektif secara klnis. 

Jangan dulu bicarakan soal ketidakefektifan operasi ini. Karena faktanya, 2 persen operasi yang dilakukan benar-benar gagal. Seperti Amy Hunter yang mengalami banyak hal menyakitkan usai menjalani operasi kelaminnya. Kepada Bilerico LGBTQ Nation, dia bercerita kalau ada banyak hal yang terjadi usai operasi dilakukan. 

 Mulai dari sakit kronis, kecanduan narkoba, dan depresi merupakan sebagian 'side effects' dari operasi tersebut. Belum lagi dia mengalami kolostomi permanen, juga timbul benjolan berserat di antara kedua kakinya. 

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Banyak yang Bunuh Diri Usai Operasi

Mungkin banyak yang bertanya-tanya bagaimana operasi kelamin dari laki-laki menjadi perempuan. Begini jawabannya!

Bahaya operasi kelamin bukan cuma berdampak pada kegagalan fisik. Tapi juga ada efek negatif yang dialami banyak pasien usai menjalani operasi ini.

News Week melaporkan, angka pasien yang menjalani operasi kelamin di Amerika Serikat meningatkan 20 persen sepanjang tahun 2015-2016. Dilansir dari the Guardian, para peneliti dari Amerika Serikat dan Belanda menemukan seperlima dari pasien menyesal telah memutuskan untuk menjalani operasi kelamin. 

Penyesalan ini kemudian mendorong mereka ke dunia obat-obatan terlarang dan juga bunuh diri. Parahnya, pada tahun 2011, sebuah penelitian menunjukkan lebih dari 300 transgender di Swedia menghadapi risiko yang lebih tinggi terhadap kematian, ide untuk bunuh diri, dan masalah kejiwaan. 

Karena angka yang tinggi ini, lebih dari 100 penelitian medis yang dilakukan University of Birmingham's aggressive research intelligence facility (Arif) menyatakan operasi kelamin sama sekali tidak efektif secara kilinis dalam memberikan solusi bagi masalah yang dimiliki pasien transgender.