Fimela.com, Jakarta Travelling sekarang bukan lagi hobi segelintir orang. Tapi sudah menjadi gaya hidup milik semua orang. Apa lagi, ketika sudah banyak promosi dan segudang kemudahan buat mereka yang ingin ikut-ikutan jalan-jalan seperti para travel influencers di Instagram.
Ada yang memang sangat mencintai alam dan doyan jalan-jalan. Meski nggak punya duit banyak, yang penting eksplor tempat-tempat baru yang belum pernah mereka lihat. Dengan budget pas-pasan, cuma bawa ransel, mereka bertandang ke berbagai daerah dan negara.
Sebagian treveller lainnya merogoh kocek yang agak dalam dan memilih tempat lebih nyantai ketimbang harus tidur di hostel dan naik angkutan umum di berbagai daerah pelosok dan negara asing. Mereka pilih hotel yang lebih nyaman. Sewa mobil biar gampang.
Ada juga yang jalan-jalan demi mejeng di Instagram. Nggak ada salahnya, sih. Toh mereka bagus. Jago foto dan videografi. Juga marketing di bidang media sosial dan digital. Selain terkenal dan banyak followersnya, mereka kadang mendapatkan pendapatan yang cukup lumayan dari berbagai cerita.
Di antara mereka ini, ada saya dan teman-teman saya. Kami nggak satu geng dan nggak pernah juga ngebolang bareng. Saya nggak mau nge-judge. Tapi gaya liburan mereka agak berbeda dengan saya yang maunya jalan-jalan hemat.
Nggak masalah, sih. Tapi yang jadi masalah adalah 'teman-teman' saya yang kurang ajar dan sama sekali nggak menghargai orang-orang lokal dan budayanya. Padahal mengaku traveller, padahal cuma orang asing yang bertandang sebentar tanpa belajar apa-apa dari pengalaman yang langka.
Ibarat Bertamu ke Rumah Orang
Berkunjung ke tempat asing artinya kita menjadi tamu. Tentu saja, kamu nggak bisa melakukan semua hal yang dianggap wajar di daerah asal. Karena siapa tahu, hal tersebut justru menista budaya dan adat-istiadat daerah setempat.
Sebenarnya, sudah menjadi keawajiban segala jenis pelancong untuk mempelajari etika dan mengetahui budaya orang-orang di tempat yang kamu tuju. Mungkin sudah mereka lakukan jauh-jauh hari sebelum membeli tiket pesawat.
Tapi sayangnya, nggak semua orang ingat dan peduli dengan etika tersebut. Dulu, waktu saya masih SMP, sekolah mengadakan sebuah study tour ke Baduy Luar dan Dalam. Karena saya masuk rumah sakit waktu itu, saya nggak ikut dan cuma mendengar cerita teman dan guru usai mereka kembali ke Jakarta.
Kata mereka, Baduy Dalam nggak menggunakan listrik dan masih mempertahankan budaya mereka sedari dulu. Tapi meski jauh dari kehidupan modernitas, teman-teman saya cukup menikmati perjalanan dan waktu pembelajaran selama di sana.
Meski harus trekking jarak jauh dengan kondisi tanah licin dan di sebelah kiri jurang, mereka nggak mengeluh dan justru amazed dengan seorang nenek tua yang mampu menyalip barisan mereka meski membawa tumpukan kayu bakar di punggungnya.
Mereka belajar banyak tentang menghargai budaya orang lain. Menikmati hidangan sederhana yang segar karena langsung di ambil dari kebun dan ditangkap dari sungai. Memang sih, culture shock pasti ada. Apa lagi, penduduk di sana saat itu jarang ada yang bisa bahasa Indonesia.
Belum lagi salah satu teman saya yang nggak bisa BAB selama 5 hari. Soalnya, toilet orang-orang suku Baduy berada di luar yang dibuat dari bilik sederhana. Cuma ada satu lobang untuk buang air, yang kata mereka, langsung menuju sungai deras.
Mereka semua anak-anak SMP, anak-anak muda yang lahir dari keluarga menengah ke atas. Wajar kalau kaget dengan keadaan di dalam polosok. Tapi mereka sama sekali nggak ada yang mengeluh. Atau melanggar peraturan serta etika yang berlaku. Mereka paham, bagaimana pun nggak betahnya mereka di sana, mereka tetap tamu yang harus menghormati tuan rumah.
Etika-etika yang Terlupakan
Tapi sayangnya, nggak semua pelancong bertanggung jawab dengan penuh. Nggak perlu ngomong soal buang tempat sampah sembarangan hingga merusak taman, hutan, dan pantai. Mereka ternyata juga lupa sama etika.
Mulai dari etika mengambil foto, berbicara, bersikap, dan berbusana. Tahun 2017 sempat heboh dengan foto-foto para turis di Jerman yang berpose di Memorial to the Murdered Jews of Europe di Berlin, Jerman.
Pose dan sikap mereka dianggap nggak sopan dan malah menghina korban-korban kaum Yahudi yang tewas di camp pengungsian atau pembunuhan massal saat masa kejayaan Nazi serta Perang Dunia Kedua.
Kamu yang doyan baca-baca artikel dan lihat-lihat foto orang travelling di seluruh dunia pasti juga tahu tren 2017 yang nggak akan pernah bisa dilupakan banyak traveller 'waras.'
Tahun 2017 nggak lengkap dengan memadu-padankan satu tren dengan tren yang lain. Termasuk tren orang-orang Eropa dan Amerika (juga mungkin Australia) backpacking ke negara-negara eksotis di Asia Tenggara. Seperti Kamboja, Thailand yang terkenal dengan pesta sejuta umat Full Moon-nya, juga Laos.
Ketiga negara tersebut kaya akan candi, kuil, klenteng, dan tempat pemujaan keagamaan lainnya. Nggak ketinggalan dengan benteng setengah hancur akibat perang di Myanmar.
Bersamaan dengan tren itu, juga ada tren 'cintai dirimu apa adanya dengan foto telanjang pamer pantat di alam bebas,' yang biasa disebut dengan belfie. Saya sih berusaha open minded dengan bilang, oh ya udah terserah mereka. Meskipun, semua orang bisa mencintai diri mereka dengan sangat, tanpa harus pamer pantat blass ke mana-mana.
Nah, dua tren ini ternyata digabung sama orang-orang (yang nggak paham lagi otaknya di mana) alias para 'traveller.' Berposelah mereka (ya kan?) di antara dua arca di Siem Riem, di depan gerbang sebuah candi di Thailand, di bekas reruntuhan benteng akibat perang perenggut jutaan nyawa di Laos.
Siapa yang nggak sakit hati, kalau cagar budaya milik negaranya di 'perkosa' dengan pantat-pantat bulat telanjang? Siapa yang nggak murka ketika tempat beribah mereka setiap hari jadi tempat ajang pamer tubuh dengan dalih menyebar cinta (pada tubuh diri sendiri)?
Nggak perlu saya embed foto-foto bokong tak senonoh itu di sini. Karena selain embed bisa jadi ajang promosi, saya juga malas sensor pantat mereka. Tren ini menjadi puncak mirisnya ketololan turis yang nggak peduli dengan budaya orang lain dan cuma mementingkan eksistensi mereka saja.
Belum lagi para turis yang lama stay di Bali dan Lombok pada akhirnya ke Jakarta buat party. Dan ngoceh terus karena susah tidur gara-gara azan subuh.
Ada lagi cerita lucu soal masalah cara berpakaian para turis yang dianggap terlalu terbuka pada saat berkunjung ke negara-negara Asia dan Timur Tengah. Kamu mungkin biasa pakai celana pendek keliling Jakarta dan negara-negara di Eropa. Tapi pakaian kurang bahan belum tentu dianggap sopan di berbagai negara seperti India, Thailand, dan lainnya serta Timur Tengah.
Saya nggak mengaku sebagai traveller (ya emang bukan, soalnya editor di Bintang.com), tapi ternyata saya jadi tahu, nggak semua traveller benar-benar traveller sejati. Mereka ogah dipanggil turis dan melebelkan diri mereka sebagai pelancong. Tapi sebagian dari mereka sebenarnya nggak jauh, bahkan lebih buruk dari turis asing yang berani bayar mahal buat menonton kemiskinan dan sirkus binatang di negara orang.