Fimela.com, Jakarta Penampilan Joshua Suherman saat masih anak-anak amat menggemaskan. Tingkah dan gayanya lucu. Cara bicaranya khas dengan logat Jawa Timurnya yang kental. Namanya melambung di belantika musik tanah air setelah tembang berjudul Air menjadi hits. Aksi Joshua yang polos bersama bintang video klipnya lagu Air kala itu (Tukul Arwana) sempat membuat orang terpikat.
Lagu Air atau publik lebih mengenalnya dengan lagu Diobok-obok (dari kata pertama tembang itu) yang dibawakan Joshuo laris-manis. Seantero negeri mendendangkan tembang tersebut. Dalam waktu relatif singkat Joshua menjelma menjadi bintang cilik kaya-raya. Ia laris manis sebagai penyanyi, bintang iklan dan juga merambah dunia akting dengan menjadi pemain sinetron dan selanjutnya juga main film.
What's On Fimela
powered by
Saat beranjak remaja, kelucuan Jojo --begitu dia biasa disapa-- sudah tak terlihat. Namun ia tetap bertahan di dunia entertainmen yang melambungkan namanya. Entah mengapa dunia menyanyi yang sudah membuatnya kondang seantero negeri malah tak begitu diseriusi. Kalau tembang menjadi indikator keseriusan seseorang dalam menekuni dunia tarik suara, Jojo tak lagi seproduktif saat masih kanak-kanak.
Jojo, merambah menjadi presenter, pemain film dan juga dunia lawak. Ia terus mencari jati diri di dunia entertainmen. Namun apa yang dilakukan Jojo tak secemerlang ketika dia terkenal sebagai penyanyi cilik. Mungkin dunianya sudah berbeda. Kata orang setiap orang ada masanya dan dan setiap masa ada orangnya.
Belakangan Jojo terpikat degan dunia komedi. Ia terlibat dalam program Comic Story (Kompas TV) sebagai pemeran di Geng Ganteng bersama Ge Pamungkas dan Alphi Sugoi. Pelan-pelan Joshua mencoba untuk menjadi seorang komika. Dalam beberapa kesempatan ia memberanikan diri untuk tampil. Namun penampilan Jojo masih biasa.
Penampilannya Joshua melawak tunggal di sebuah acara off air mendapat reaksi dari Forum Umat Islam Bersatu (FUIB). Beberapa alasan kenapa pihaknya melaporkan Joshua salah satunya adalah kalimat yang membandingkan kesuksesan Annisa Rahma yang beragama Islam dengan Cherly yang beragama non Islam. "Kalimat terakhir yang membandingkan Annisa dengan Cherly. Dia katakan Annisa unggul karena muslim, dan dia bilang di negara ini yang tidak bisa dikalahkan ya yang mayoritas," ujar Rahmat Himran dari FUIB. Menurut Rahmat Himran, pembandingan tersebut membuat umat Islam tersinggung. "Ini yang membuat umat Muslim geram. Dia kan membandingkan Islam sebagai mayoritas, jadi termasuk isu SARA," tegas Rahmat Himran.
Menyentuh Ranah Sensitif
Menjadi seorang komedian itu memang tidak mudah. Ini pengakuan seorang komedian senior yang membuka rahasia tentang dunia yang ia tekuni. Menurutnya seorang komedian itu harus cerdas dan berwawasan. Kalau dipikir-pikir benar juga. Soalnya jika lawakan yang biasa-biasa saja akan terdengar garing alias tidak lucu.
Seorang sahabat yang juga praktisi pertelevisian tanah air dalam sebuah statusnya di media sosial facebook menyindir apa yang dilakukan oleh komika. "Tehnik Roasting itu dilakukan kepada penonton, kawan atau orang yang sudah ditentukan, Agama kok di Roasting? #GernyaBrantakan," status ini memang tidak spesifik untuk Joshua Suherman, namun konteksnya penulisan status ini pas setelah mencuatnya persoalan Jojo dan juga Ge Pamungkas.
Persoalan SARA memang sensitif, apalagi untuk bahan lelucon. Sebenarnya di sinilah tantangan seorang komika. Bagaimana membuat sesuatu yang lucu tanpa harus mendiskreditkan atau menyinggung pihak lain.
Pertanyaannya bisakan membuat lucu tanpa harus membuat pihak lain tersinggung? Tentu bisa buktinya banyak pelawak yang eksis meski tidak mengeskploitasi materi SARA. Inilah tugas seorang komedian untuk jeli memilih tema yang akan diangkat menjadi bahan lawakan. Kalau meleset bukan lucu yang ada, namun kerepotan yang akan diraih. Seperti yang terjadi pada Joshua dan Ge Pamungkas. Mereka dilaporkan ke polisi oleh FUIB dengan dugaan penghinaan pada agama.
Para komika harus jeli, inilah yang dikatakan seorang komedian senior tadi kalau pelawak itu harus pintar dan berwawas. Saat dirinya salah memilih tema yang terjadi adalah ketidaklucuan.
Apalagi jaman now yang nyaris tak ada sekat-sekat lagi, segala sesatu bisa sampai ke mana-mana. Apa yang terjadi dalam komunitas terbatas bisa menjadi viral ketika diunggah ke laman media sosial. Hal-hal seperti ini harus menjadi perhatian serius. Pola pikir dan pola laku harus seiring sejalan. Jangan hanya targetnya membuat orang atau penoton tertawa, pikirkan juga dampak lanjutannya. Apakah materi lawakan yang disampaikan bisa membuat orang lain tersinggung atau tersakiti.
Sebenarnya persoalan ini bukan hanya khusus untuk para komedian. Semua profesi harus berhati-hati kalau tak ingin berhadapan dengan persoalan.
Kita tunggu perkembangan selanjutnya dalam kasus dugaan pelecehan agama yang diduga dilakukan oleh Joshua Suherman dan Ge Pamungkas. Yang jelas kreativitas tak boleh terpasung hanya karena banyaknya rambu-rambu. Justru sebaliknya kreativitas itu bisa muncul saat rintangan semakin banyak.