Fimela.com, Jakarta Generasi 90-an yang memasuki usia 20 lebih sekian tentu menjadi generasi paling terpojokkan beberapa tahun belakangan ini. Terpojokkan oleh banyak pertanyaan "kapan?" tentunya. Seakan-akan, tugas hidup dari setiap orang adalah memenuhi ego orang lain agar pertanyaannya selalu terjawab dengan aksi.
Wtf.
Saya, sebagai generasi yang lahir di era 90-an, paham betul dengan konsekuensi tersebut. Di mana pertanyaan "kapan?" satu persatu mampir ke hidup saya. Entah dari orang-orang dekat maupun orang yang keeksisannya cuma sekelebat.
Satu pertanyaan yang sudah berhasil saya check list adalah "kapan lulus kuliah?". Yak, alhamdulillah saya lulus tepat waktu seperti apa yang saya dan orangtua sebagai pendana harapkan. Pertanyaan tersebut bukan hanya saya dapat di akhir-akhir semester, namun pernah saya dapatkan di awal kuliah hahaha.
Biasanya ditanyakan oleh para saudara sepuh. Maklum, mereka nggak begitu paham dengan dunia perkuliahan di mana harus ditempuh dalam waktu bertahun-tahun juta cahaya Illahi. Allahuakbar!
Kelar pertanyaan itu saya libas dengan kelulusan, ada satu pertanyaan baru yang muncul ke permukaan, dan entah mengapa semakin lama, pertanyaan ini semakin deras dan memuakkan. Apalagi jika bukan pertanyaan "kapan nikah?". Hahahahaha!
Saya yakin, kalau bukan saya saja as Generasi 90-an yang muak dengan pertanyaan itu. Terlebih saat momen kumpul keluarga. Isu "kapan nikah?" bakal jadi isu paling gurih untuk ditaburkan ke anggota keluarga yang--let's say sudah lulus kuliah dan sudah bekerja tapi masih belum menikah juga.
Bicara tentang pernikahan, saya pribadi bukan orang banyak keinginan. Jika hanya bisa dilakukan di Kantor Urusan Agama alias KUA saja, saya ingin sekali melakukannya. Namun, tentu terasa egois jika demikian. Di mana ada pihak keluarga besar dari dua belah pihak yang ingin ada keramaian.
Masalahnya, mereka yang paling keras menyebar pertanyaan, adalah mereka yang paling sunyi soal kontribusi keuangan. Dijamin. Apalagi yang cuma basa-basi doang. Yaelah... Jejelin Setyo Novanto juga, nih.
What's On Fimela
powered by
Solusi Menghadapi Vendor Pernikahan yang Semakin Mahal
Mereka nggak tahu, ya, kalau untuk mengadakan pernikahan yang menyebar undangan itu butuh biaya yang nggak cukup sebulan gaji anak Millenial? Mereka nggak tahu, ya, kalau vendor pernikahan itu nggak bisa dibayar pakai ucapan terima kasih dan senyuman? *eyakali*
Bicara soal vendor pernikahan, beberapa kali kemarin saya pernah melakukan survey harga secara online. Bukan, bukan karena saya ingin menikah dalam waktu dekat, tapiii ya iseng aja hehe.
Saat itu saya mencari tahu pricelist vendor dekorasi, catering, foto, video, gedung, baju pernikahan, dan segala macam tetek bengeknya di Jakarta. Dan hasilnya? Amazing just the way you are. #kemudiannyanyi.
Buat Millenial kelas menengah ng*he kayak saya begini, melihat harga-harga vendor pernikahan, sih, lumayan bikin ingin jual ginjal hahaha. Nggak deng. Dengan uang segitu, kayaknya saya bakal lebih pilih naik haji atau travelling keliling Indonesia daripada menggelar pesta yang bakal kelar dalam waktu hitungan jam saja. Teteup.
Tanpa pesta, saya rasa pernikahan akan tetap ada dan bisa berjalan sebagai mana sakralnya. Tanpa pesta pula, saya rasa pasangan saya rasa korupsi akan terus meraja lela di negeri ini. Nggak ada hubungannya, sih, tapi ya gitu deh.
So, dari kemahalan-kemalahan itu, lantas saja sedikit berpikir. Iya, sedikit saja. Jika suatu saay nanti saya memang harus mengadakan pesta dengan menyewa vendor-vendor-yang-lumayan-menguras-kantong-itu untuk memenuhi gengsi keluarga, ya ada baiknya saya harus usaha untuk mewujudkannya. Terlebih, melihat tren pernikahan masa kini yang standarnya semakin tinggi. Setiap tahunnya vendor pasti akan terus menaikkan pricelist. Lantas, bagaimana caranya? Setidaknya ada dua cara yang mungkin bakal saya lakukan.
Menabung
Menabung mungkin bukan urusan yang sulit, toh setiap bulan saya juga menyisihkan uang saya untuk menabung. Tapi ini terasa sedikit harus lebih mengencangkan ikat pinggang kali, yaaaaaaaa... Gapapa, demi gengsi namanya juga. Pffft!
DIY!
Jika dirasa menabung belum juga cukup untuk membuat pesta pernikahan yang memenuhi gengsi, kayaknya saya bakal memilih untuk DIY kayak konsep hidup anak punk. Duile... Dengan mengerjakan semuanya sendiri pasti bisa menekan budget dan mengatur pengeluaran jadi lebih hemat. Soal kekreativitasan itu gampang. Di internet juga pasti bakal banyak banget inspirasi yang saya dapat. Optimis aja dulu. Tercapai atau nggak, urusan belakangan. Yak sip.