Fimela.com, Jakarta Film Posesif baru naik ke layar bioskop sejak 27 Oktober 2017 kemarin. Namun film ini sudah jadi buah bibir sejak diputar di bioskop indie pada beberapa waktu sebelumnya dan tentu saja sejak gala premiere. Banyak yang bilang film ini bagus dan layak (bahkan harus) ditonton. Pikir saya, ah, kenapa harus? Sekilas saya lihat, Posesif ini film cinta-cintaan anak SMA. Saya nggak begitu tertarik. Tapi begitu kata “toxic relationship” kesebut dalam review orang-orang di linimasa, saya jadi kepengin nonton. Banget.
Well, “bungkus” film Posesif memang tentang cinta-cintaan anak SMA. Tapi alih-alih membahas soal cinta segitiga, cinta nggak terbalas atau yang cheesy-cheesy lainnya, film posesif malah membahas sisi kelam dari sebuah hubungan, yang mungkin banyak banget dari kita sebenarnya ngalamin, entah sadar atau enggak.
Dua tokoh utama dalam cerita; Yudhis dan Lala adalah siswa kelas 3 SMA yang saling jatuh cinta. Dengan latar belakang keluarga dan konfliknya masing-masing, keduanya merasa bisa menaklukan dunia ketika mereka bersama. Ya, mereka merasa sekuat itu, dan menurut saya mereka nggak salah. Namanya juga cinta.
Permasalahan dimulai ketika Yudhis mulai menunjukkan keposesifannya. Mulai dari melarang Lala main sama sahabatnya yang cowok, memanfaatkan tekanan yang Lala rasakan dari profesinya sebagai atlet untuk membuatnya “nurut” sama Yudhis, sampai “meracuni” Lala untuk mengubur keinginannya berkuliah di kampus yang ia pilih cuma demi menjaganya tetap dekat. Omongan kasar, jangan ditanya. Parahnya lagi, Yudhis bahkan nggak segan pakai kekerasan fisik.
***
Kisah Yudhis dan Lala di film Posesif adalah pelajaran bagus untuk kita semua, tentang memaknai sebuah hubungan dan konsep kepemilikan yang usang.
Memutuskan menjalin sebuah hubungan bukan berarti kita menyerahkan seluruh hidup kita untuk berada dalam kendali mereka. Kita tetap berkuasa atas diri dan hidup kita sendiri. Kita bebas menentukan ke mana kaki kita akan melangkah. Kita yang tahu kapasitas diri kita, kita pula yang bisa mengukurnya. Pasangan kita mungkin bisa mengukur kualitas kita dengan indikator yang dia buat sendiri, tapi kita nggak punya kewajiban untuk memenuhi indikatornya apabila itu memang bersebrangan dengan hati nurani kita.
Dalam film ini, sikap Posesif Yudhis nggak ujug-ujug ada. Di rumah, Yudhis mendapat kekerasan serupa dari sang Ibu. Ibu yang selalu merasa dia adalah satu-satunya orang yang mencintai Yudhis sehingga Yudhis nggak berhak memilih cinta yang lain, Ibu yang nggak segan menyakiti jika Yudhis menunjukkan keinginan yang berbeda.
Tapi, hey.. punya latar belakang kekerasan seperti itu tetap nggak menjadikan siapapun berhak menyakiti orang lain seperti bagaimana ia tersakiti.
Lala sendiri juga menyadari ada yang nggak beres sama Yudhis dan hubungan mereka. Tapi begitu mengetahui Yudhis jadi seperti itu karena “bentukan” ibunya di rumah, Lala yang semula sudah sempat tampak bersusah payah membulatkan tekad menjauhi Yudhis, jadi punya excuse untuk bertahan. Alasan Lala sederhana, tapi naif; cuma dia yang bisa mengubah Yudhis jadi orang yang lebih baik.
Padahal Yudhis sendiri belum tentu bisa berubah demi Lala.
Siapa yang Bisa Menyelamatkan Kita dari Toxic Relationship?
Nggak ada yang bisa mengubah siapapun kecuali orang itu sendiri punya keinginan dalam hatinya untuk berubah. Menjadi motivasi, mungkin iya. Tapi ingin mengubah pacar yang posesif jadi nggak posesif itu sama b******t-nya dengan meminta pacar meninggalkan kehidupannya yang lain demi bersama kita.
Hubungan seperti Yudhis dan Lala itu hubungan beracun. Toxic relationship.
Saya pernah terlibat dalam toxic relationship. Saya pernah permisif terhadap perlakuan pasangan saya ketika itu, menganggap bahwa dilarang-larang main sama teman, dimaki ketika dia marah meski saya nggak melakukan kesalahan, atau ketika apapun nggak terjadi sesuai maunya, itu adalah hal yang wajar ketika dua orang menjalin sebuah hubungan dan saling mencintai. Padahal sikap permisif itulah yang membuat hubungan saya bukannya makin baik tapi malah makin teracuni oleh konsep kepemilikan yang nggak bisa dicerna akal sehat. Hubungan tersebut bukan cuma menyakiti saya secara psikis, tapi juga, seperti namanya, hubungan itu meracuni saya untuk jadi bersikap dan berpikir seperti cara dia.
Menerima diperlakukan seperti itu artinya saya membiarkan orang lain menilai diri saya serendah itu. Saya berusaha susah payah untuk keluar ketika saya menyadari kekacauan yang terjadi. Saya berhasil menyelamatkan diri.
Kamu juga mungkin pernah, atau sedang, terlibat dalam toxic relationship. Sayangnya, nggak ada yang bisa menyelamatkan kamu dari hubungan tersebut kalau bukan kamu sendiri yang bertindak. Jadi, tolong, hargai dirimu sendiri. Cintai dirimu agar kamu bisa belajar mencintai orang lain serta memaknai cinta, hubungan dan komitmen dengan cara yang tepat.
Jangan biarkan pasanganmu mendikte apa yang harus kamu lakukan dan apa yang nggak boleh kamu lakukan. Jangan biarkan dia mengurungmu dari apa-apa yang ingin kamu capai. Jangan biarkan dia menahanmu saat kamu ingin berlari mengejar impianmu, sekecil apapun itu menurutnya. Jangan permisif terhadap sedikit saja tanda keposesifan. Jangan biarkan rasa saling percaya yang seharusnya ada tergantikan oleh konsep kepemilikan yang dia bentuk dari keegoisannya sendiri.
Kamu berkuasa atas dirimu sendiri. Lakukanlah apa yang menurutmu baik. Lakukan meski itu nggak sesuai dengan keinginannya. Kalau dia cinta kamu, dia akan mendukung, he will always have your back. Kalau dia cinta kamu, dia akan membiarkan kamu terbang tinggi-tinggi jika dengan begitu kamu bisa mencapai cita-citamu, dan dia akan setia menunggumu di bawah, atau bahkan ikut terbang.
Don’t let your boyfriend define your own happiness. Pasangan yang baik akan jadi partner-mu dalam menghadapi apapun yang disediakan semesta di jalan kalian berdua. Bersama orang yang tepat, kamu bisa jadi apapun yang kamu ingin dan dia akan tetap memandangmu seolah-olah kamu adalah hal terbaik yang pernah ditemuinya.
Kalau setelah baca ini kamu jadi sadar bahwa kamu ada dalam toxic relationship, go away, seek for help if it's needed. Go. Away. And never turn back.
Cheers,
Fitri Andiani, editor Bintang.com