Fimela.com, Jakarta Film Indonesia pernah mengalami mati suri pada era 90-an. Produksi film horor seksi pada tahun 80-an membuat penonton enggan datang ke bioskop. Secara masive bioskop-bioskop pun bertumbangan. Ditambah era televisi swasta mulai berdiri dan menayangkan sinetron.
Awal tahun 2000-an, Mira Lesmana menjadi pemecah kebuntuan. Menghadirkan Petualangan Sherina saat film Indonesia mati suri, tiba-tiba penonton sadar film Indonesia berkualitas masih ada. Meskipun belum mampu meraih banyak penonton tapi orang kembali percaya ada film Indonesia berkat Petualang Sherina.
Film pertama yang disutradarainya adalah Kuldesak di tahun 1996 bersama dengan tiga sutradara lainnya yaitu Nan T, Achnas, Riri Riza dan Mira Lesmana. Sayangnya film itu dibuat dan dirilis saat perfilman Indonesia sedang ‘mati suri’.
Namun dari situ Rizal merasa banyak mendapat pelajaran berharga. Bersama dengan Jose Poernomo, Rizal menyutradarai film horor Jelangkung (2001) bersama dengan Jose Poernomo. Jelangkung menjadi box office di tengah kepungan film-film Hollywood yang merajai seluruh bioskop di Indonesia.
Jelangkung jadi salah satu pelopor bangkitnya industri perfilman nasional sampai dengan saat ini. Setelah itu, produksi film Indonesia naik signifikan. Penontonnya juga menembus jutaan.
Pertanyaannya, apakah kepercayaan penonton pada film Indonesia bisa dipertahankan? Sejak kembali hidup setelah mati suri pada era 90-an, film Indonesia sempat sempat menemui titik positif dengan penonton yang cukup banyak seperti pada film Petualangan Sherina dan Laskar Pelangi.
What's On Fimela
powered by
Mati suri karena horor seksi
Namun, kecerobohan produser yang menyajikan film-film horor kurang bermutu merusak kembali kepercayaan penonton. Pada akhirnya film Indonesia kembali mencapai titik nadir pada era 2010. Semua film sulit menembus angka satu juta penonton.
Segala usaha dilakukan untuk mencapai titik positif kembali di atas, salah satunya dengan promosi melibatkan pejabat. Pejabat diharapkan bisa menjadi role model yang aktif. Karena masyarakat Indonesia masih menempatkan pejabat sebagai 'kalangan kelas atas' yang harus dipercaya.
Apa yang salah? Tidak mungkin film Indonesia tidak ada yang berkualitas yang bisa memuaskan selera penonton. Mengapa mereka tidak tergerak untuk ke bioskop kala itu?
Jika jumlah penonton yang dihasilkan sedikit, maka produser akan kehilangan modal untuk kembali memproduksi film baru. Jumlah pendapatan yang mereka keluarkan ketika memproduksi film tak tertutup oleh pendapatan dari jumlah penonton. Otomatis mereka butuh modal tambahan atau memangkas biaya produksi untuk membuat film baru.
Mari berpikir rasional sebagai pengusaha. Modal tambahan berarti utang tambahan. Jika memangkas biaya produksi, film Indonesia akan turun kualitasnya. Yang sudah tayang dan berkualitas saja tidak menarik penonton, apa kabar jika penonton disuguhi film berbiaya rendah? Tentu semakin malas nonton film Indonesia. Era mati suri perfilman Indonesia sempat kembali terbayang di depan mata.
Namun, optimisme kembali bangkit pada tahun 2016. Film Warkop DKI Reborn, Ada Apa dengan Cinta 2, dan My Stupid Boss berhasil mendulang jutaan penonton.
Kebangkitan film horor
Tahun 2016, film Indonesia juga belum bisa menguasai market share di bioskop. Layar-layar bioskop film 50% lebih masih menjadi milik film Hollywood. Tahun 2017, film Horor memberikan udara segar. Dengan kualitas mereka mampu menyusul perolehan penonton film drama dan komedi yang sukses lebih dulu.
Sebutlah tiga judul film horor yang paling fenomenal: Jailangkung, Danur, dan Pengabdi Setan. Pengabdi Setan sudah membukukan 3.468.792 penonton hingga hari ini. Danur: I Can See Ghosts mendapat 2.736.157 penonton dan Jailangkung mendapat 2.550.271 penonton. Ketiganya masuk dalam daftar 10 film terlaris 2017.
Keberhasilan Pengabdi Setan seperti melanjutkan tren film horor berkualitas di tahun ini. Apa yang dicapai oleh Danur dan Jailangkung yang banyak disukai penonton karena kualitas dan penggarapannya yang keren juga mampu diikuti oleh Pengabdi Setan.
Sudah dua kali film Indonesia ditinggalkan penonton karena film horor seksi yang kurang kualitasnya. Pencapaian film horor tahun ini tentu menjadi pembelajaran bagi sineas. Penonton menanti kualitas dan tak mau dibohongi karena uang yang digunakan untuk membeli tiket bioskop bukanlah uang bohongan. Bravo film horor Indonesia!