Fimela.com, Jakarta Terbawa lagi langkahku ke sana. Mantra apa entah yang istimewa. Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja. Siapa berani mengingkari lirik salah satu lagu Adhitia Sofyan ini? Kalau Josephine Baker pernah ke Yogyakarta, mungkin saja kekasih keduanya itu adalah sang Kota Berhati Nyaman, bukan Paris.
Indonesia memang punya banyak wilayah, tapi hantaran tenteramnya tak ada yang menyamai Yogyakarta, mendekati pun tidak. Jalan-jalan tak sedemikian simetris, aksen lembut khas penduduk lokal, bentukan suasana yang membuat siapapun terpaksa bersantai, serta limpahan kuliner menggoda, semua mengemas pesona Kota Budaya dengan sedemikian epic.
Saya tiadalah beda dari kebanyakan orang. Jatuh hati pada Yogyakarta sedari lama, begitu lama. Saya terbiasa menjelajah jalan-jalannya, berbincang dengan orang-orangnya, juga makan makanannya (walau terkadang terlalu manis di lidah saya). Singkatnya, saya cukup mengenal kota yang letak beberapa lampu lalu lintasnya ajaib ini untuk tahu bila ia berubah. Ya, dinamika ternyata enggan meninggalkan Yogyakarta sendiri. Ia tetap mencari celah untuk membuat konstan tak selamanya memeluk erat Kota Pelajar.
Sedikit demi sedikit pariwisata menyulap paras Yogyakarta. Padat deretan hotel untuk memenuhi permintaan turis yang kian meningkat, perlahan tapi pasti, mengubah wajah kawasan tetangga Magelang tersebut. Protes sempat dilayangkan dalam lisan maupun karya. Tapi, siapalah bisa membendung ingin 'Maha Benar Turis'?
Sudah pincang, Yogyakarta kembali 'dilempar batu'. Bruk, tayangnya film Ada Apa dengan Cinta 2 membuat pariwisata Kota Budaya kian melejit. Ramai pelancong mendulang pundi-pundi uang bagi para pelaku bisnis hotel, transportasi, dan pariwisata. Semua terkesan senang, atau hampir semua terkesan senang.
What's On Fimela
powered by
Riuh-rendah Yogyakarta, Musibah atau Anugerah?
Semasih sebelum Mei tahun lalu (re: AADC2 tayang), saya sempat secara kilat merencanakan kunjungan ke Yogyakarta. Tiket kereta api untuk berangkat dan pesawat terbang untuk pulang dengan mulus didapatkan. Padahal, waktu keberangkatan saya kurang dari 24 jam. Tapi setelah Mei, mana bisa?
Nah, sudah menangkap kan apa yang hendak saya bicarakan? Ya, AADC2 membuat Yogyakarta populer, sangat teramat banget populer. Setelah film yang dibintangi Dian Sastrowardoyo tersebut tayang, hampir tiap minggu (ya, kamu tak salah baca) ada saja teman yang mengunggah foto di sana, terutama di tempat-tempat di mana adegan film tersebut berlatar.
Okay, saya mesti mengalah. Rela cuti (ini bukan satu hal yang biasa saya lakukan untuk hanya ke Yogyakarta) dan beli tiket kereta api jauh-jauh hari supaya tak kehabisan plus mendapat harga normal dalam standar saya. Lupakan untuk melakoni perjalanan dengan pola lama, yakni berangkat dengan kereta pada Jumat malam, dan pulang Senin pagi dengan perjalanan udara. Pasal, tiket pesawat di Senin pagi naik hampir 100 persen dan kereta api (hampir) selalu ludes.
Singkat kisah, saya baru bisa kembali ke Kota Budaya pada November di tahun yang sama dan kaget. Padat banget! Riuh! Saya sempat berpikir, "benarkah ini Yogyakarta yang tengah saya kunjungi?". Saya pernah di sini saat peak maupun low season, tapi tak pernah merasa seramai ini.
Setelah berbincang dengan beberapa teman yang menetap di sana untuk sekolah, mereka pun mengakui kalau Yogyakarta ramai setelah AADC2 tayang. "Susah dapat tiket pulang-pergi," keluh mereka kebanyakan. Lagi-lagi, apa yang bisa diperbuat bila komersial sudah menelesak ke sendi-sendiri wilayah tetangga Klaten ini?
Di sini, saya tentu tak ingin mempersalahkan tim produksi AADC2 yang memilih Kota Budaya sebagai lokasi syuting. Tempat mana di Indonesia yang cocok mewakilkan rumit kisah asmara Cinta-Rangga sebaik Yogyakarta? Karena putusan itu, mungkin jadi lebih banyak orang yang menemukan romantisme dan intimasi Yogyakarta.
Ekonomi lokal pun makin tergerak, terbukti dengan bermunculannya destinasi-destinasi baru di hampir seantero kota, juga pedestrian Malioboro membaik dengan begitu cepat. Saya, kamu, dan mungkin banyak orang di luar sanalah yang harus membiasakan diri dengan paras baru Yogyakarta. Kita pendatang, hanya tamu di sana. Beradaptasi sambil menjaga elemen-elemennya agar tiada berasimilasi. Membuat Yogyakarta tetap berbudaya dan tak ingkar pada slogan Berhati Nyaman.
Asnida Riani,
Editor Food & Travel Bintang.com