Editor Says: Kasus Pria Tampar Pengemudi Perempuan, Salah Siapa?

Karla Farhana diperbarui 13 Sep 2017, 14:46 WIB

Fimela.com, Jakarta Kekerasan nampaknya sudah mengakar di setiap diri manusia. Isu ini pun telah lama diungkit dan menjadi bahan diskusi di seluruh dunia. Belakangan ini, isu kekerasan di Indonesia yang terjadi antara seorang pengemudi pria dan perempuan di jalan tol. Video mereka sedang beradu mulut itu tersebar lewat berbagai media sosial dan menarik banyak perhatian netizen. 

Bukan cum adu mulut yang jadi 'tontonan.' Tapi juga sebuah tamparan yang dilakukan pria tersebut kepada perempuan tersebut. Keduanya berada pada fase amarah yang menggebu-gebu. Netizen yang 'terpancing' pun mulai menyalahi pria tersebut karena menampar orang lain. Masalah menjadi lebih besar karena, 'korban' ini merupakan perempuan. 

Sayangnya, yang namanya kekerasan nggak kenal denga usia dan jenis kelamin. Di luar sana, banyak juga perempuan-perempuan yang berlaku kasar dan menyakiti sesama perempuan. Ada juga yang melakukannya terhadap laki-laki, anak-anak, bayi, orangtua, dan bahkan kepada makhluk hidup lainnya. 

Initnya, kekerasan adalah ketika manusia menyakiti makhluk hidup lain secara fisik. Dan ini, seperti yang tadi saya bilang, sudah mengakar, mendarah daging di dalam hidup setiap manusia, sejak masa kerajaan dahulu. Bahkan mungkin jauh lebih lama lagi. Tapi mungkin masalah ini nggak terlalu menarik buat netizen untuk dibahas. 

Karena yang penting adalah ketika seorang pria menampar seorang perempuan, diiringi dengan makian dan teriakan. Sebagian besar orang menyalahkan pria tersebut. Sebagian lagi netral dan hanya mengingatkan untuk berkendara mengikuti aturan. Ada juga yang menyalahkan si perempuannya karena, menurut asumsi mereka, menyetir mobil tanpa mengikuti aturan. 

Tapi kalau berdebat soal itu kayaknya sampai kapan pun juga nggak selesai. Justru, yang lebih menarik buat saya adalah kenapa si pria di video viral itu bisa sampai memukul perempuan yang masih berada di dalam mobil. Ya, dia pastinya sedang dilanda emosi yang tak bisa lagi dia bendung. Tapi apa yang bikin dia melayangkan sebuah tamparan? 

Dilansir dari Scientific American, setiap orang, tanpa terkecuali, memiliki emosi dan perasaan yang berbeda-beda ketika mereka berinteraksi dengan orang lain. Emosi dan perasaan yang biasanya bikin nggak bisa menahan kekerasan fisik adalah amarah, frustrasi, dan kekecewaan. 

Terus, apa yang bikin orang mewujudkan emosi tersebut dengan aksi? Biasanya, hal ini ditentukan oleh cognitive control. Kontrol inilah yang menentukan, apakah kamu akan menonjok, memukul, menampar, melempar, menendang, dan lain sebagainya. Istilah cognitive control, biasanya lebih dikenal dengan istilah self-control, terkenal dengan sebuah sistem yang sangat menentukan.

Seorang ahli psikologi sosial di Univeristy of Michigan, Profesor Richard Nisbett mengatakan, dia lebih baik memiliki seorang putra yang memiliki self-control yang tinggi ketimbang intelegensi. Dia mengatakan kepada Sciencetific American, self-control merupakan kunci untuk kehidupan yang berfungsi dengan baik.

Soalnya, otak membuat semua manusia dengan mudahnya terpengaruh terhadap apa pun. Ini juga yang menstimulasi anak-anak kecil bermain fisik terhadap teman sebayanya, usai menonton film kriminal dan action.  

Pemikiran Negatif

Lebih jauh lagi, Dr. Robert Firestone, mengatakan ada penyebab lain yang membuat orang melakukan sebuah kekerasan. Kepada Psychology Today, Robert mengatakan ada suatu hal yang terjadi dalam benak orang yang akan melakukan kekerasan. Usai melakukan penelitian bertahun-tahun, dia menemukan ada 'suara-suara' yang terdengar sebelum seseorang melakukan sebuah kekerasan.

Tenang, suara-suara ini bukan hal gaib, kok. Maksud Robert, orang yang akan melakuakan kekerasan, mengalami sesuatu pada orang mereka. Dalam benak, terjadi proses pemikiran negatif yang membanjiri benak mereka, hingga akhirnya, mereka melakukan sebuah kekerasan, baik itu kekerasan yang tak menimbulkan luka fisik, atau bahkan yang bisa menghilangkan nyawa. 

Uniknya, 'suara-suara' itu nggak seperti halusinasi. Tapi, menurut Lisa Firestone, seorang psikolog klinik, 'suara' itu berupa sebuah pola yang sistematis dari pemikiran-pemikiran negatif terhadap diri mereka sendiri. Namun, pemikiran negatif ini biasanya berupa pemikiran yang memusuhi dan menucurigai orang lain yang sedang berinteraksi dengan mereka. 

Lisa serta timnya menyebut hal ini sebagai 'voices' atau suara-suara, karena seperti itulah mereka (yang telah melakukan tindak kekerasan dan atau memiliki perilaku kekerasan) menggambarkannya, dalam sebuah wawancara bersana tim Lisa saat melakukan penelitian. 

Tapi ternyata, nggak semua voices mendorong orang lain untuk melakukan aksi kekerasan. Cuma voices tertentu yang bisa membuat seseorang terdorong untuk melakukan tindakan ini. Lisa dan timnya mengembangkan sebuah sistem untuk mengukur voices disebut dengan The Firestone Assessment of Violent Thoughts (FAVT). Which is super cool! 

Jadi, menurut FAVT, voices yang bisa mendorong orang lain untuk melakukan tindak kekerasan, adalah voices yang berkontribusi pada kekerasan, termasuk pemikiran-pemikiran yang mendukung rasa ketidakpercayaan sosial. Misalnya, paranoid, pemikiran yang bersifat mencurigai orang lain. 

Melihat hal ini, kasus penamparan yang dilakukan seorang bapak terhadap seorang perempuan di jalan tol yang hanya karena masalah sepele, sebenarnya bukan salah siapa-siapa. Salahkan kenapa otak manusia bisa begitu hebatnya membuat sebuah konstruksi pemikiran yang begitu kompleks. Hingga bisa mendorong sebuah aksi dan perilaku, baik itu negatif atau pun postif. (Mic drop). 

 

 

 

Editor Lifestyle, 

 

 

Karla Farha.