Editor Says: Tidak Semua Ibu Dapat Hak Asuh Anak Usai Bercerai

Dadan Eka Permana diperbarui 16 Agu 2017, 13:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Tsania Marwa harus berlapang dada. Upayanya untuk mendapat hak asuh atas kedua anaknya, yakni Syarif Muhanmad Fajri dan Aisyah Shabira, terbentur putusan Pengadilan.

Majelis Hakim Pengadilan Agama Cibinong, Bogor, Jawa Barat, hanya mengabulkan permohonan cerainya, tidak beserta hak asuh terhadap kedua anaknya.

Pertimbangan Hakim menolak hak asuh anak diberikan kepada Tsania Marwa, karena berkas-berkas gugatan dalam surat kuasa Marwa, dinilai majelis hakim tidak cukup lengkap dan rapi untuk mengajukan hak asuh anak.

Memang Hak asuh seringkali menjadi permasalahan pasca perceraian. Mengenai hak asuh anak, pengadilan biasanya memberikan hak perwalian dan pemeliharaan anak di bawah umur kepada ibu. Hal ini mengacu pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang mengatakan anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Setelah anak tersebut berusia 12 tahun maka dia diberikan kebebasan memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya.

Dengan dasar hukum tersebut, banyak wanita yang menikah secara Islam, percaya diri, gugatan atas hak asuh anak akan dikabulkan ketika perceraian tak terelakan. Namun pada kenyataannya tidak semua demikian.

Tsania Marwa, Marshanda, Tamara Blezynsky, dan Femmy Permatasari yang berasal dari kalangan artis, contohnya. Lantas kenapa hal itu bisa terjadi?

 

 

 

 

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Pertimbangan Hakim dalam Memutus Sengketa Hak Asuh Anak

Terkait gugatan hak asuh yang ditolak oleh hakim, Marwa menolak memberikan komentar. Ibu dua anak itu menyarankan untuk menanyakan langsung pada kuasa hukumnya, Hakim juga masih memberikan waktu 14 hari untuk melakukan banding. (Nurwahyunan/Bintang.com)

Pada dasarnya, dikabulkan atau tidaknya suatu gugatan hak asuh anak dikembalikan pada putusan hakim. Tentunya, pertimbangan hakim dalam memutus sengketa hak asuh anak setelah mendengar keterangan saksi dan bukti-bukti, serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

Banyak sekali pendekatan disiplin ilmu yang menjadi dasar petimbangan hakim dalam memutus sebuah sengketa hak asuh anak, bukan saja bersandar pada parameter umur.

Salah satunya adalah pertimbangan psikologis dengan mempertimbangkan sejauh mana kemampuan orangtua dalam memberikan keteladanan bagi perkembangan karakter anak.  

Ibu yang memiliki kelakuan tidak baik, ibu yang dianggap tidak cakap untuk menjadi seorang ibu, terutama dalam mendidik anaknya, bisa dipastikan bisa menghilangkan hak asuh atas anaknya. Hal itu dijelaskan pengajar hukum Islam di Universitas Indonesia, Farida Prihatini dalam artikel "Hak Asuh Harus Menjamin Kepentingan Terbaik Anak". 

Perceraian yang disebabkan istri berselingkuh, juga bisa menghilangkan ibu kehilangan hak asuh anak. Akan tetapi, pengadilan perlu membuktikan kebenaran perselingkuhan tersebut. Jika dalam persidangan terbukti sang istri melakukan perselingkuhan maka dirinya telah gagal menjadi seorang ibu / istri sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 34 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yg berbunyi, istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.