Fimela.com, Jakarta Traveling yang kian populer berdampak pada tak sedikit aspek kehidupan. Setuju? Efek dari perjalanan yang familiar ini bahkan memengaruhi beberapa hal yang saya, kamu, dan mungkin jutaan orang lain tak terpikir, yakni sesederhana dan serumit, panggilan bagi para pelakonnya.
Terdapat sejumlah sematan istilah memang, tapi yang paling sering muncul dan diantonimkan adalah turis dengan traveler, di mana, seperti yang mungkin kamu tahu, turis punya konotasi yang sedikit negatif, atau stratanya berada satu tingkat di bawah traveler.
'Jangan pergi ke tempat touristy!', 'Hindari sudut-sudut padat turis!', dan ragam kata-kata serupa adalah peringatan yang tak hanya terucap di antara pengelana, tapi juga termuat di banyak buku panduan, bahkan sekelas lonely planet sekalipun. Doktrin ini kemudian, entah bagaimana dan dalam jangka waktu berapa lama, menumbuhkan persepsi baru. Membuat jarak yang demikian jauh, sebegitu lapang, mengerikan, mungkin bisa disamakan dengan amuk aliran Amu Darya di perbatasan Afghanistan dan Tajikistan nun jauh di Asia Tengah sana.
Tapi di sisi lain, apakah label traveler membuat seseorang jadi 'borjuis'? Jadi sebab ia bisa menjelajah satu tempat dengan lebih baik ketimbang orang lain? Benarkah ada tingkatan dalam penjelajahan? Adilkah bila melabeli seru di satu perjalanan dan meremehkan yang lain?
Sekarang, mari kita bedah istilah ini dengan pikiran-pikiran logis, juga melihat hakikat perjalanan di awal. Kembali lagi mempertanyakan untuk apa sebenarnya melakoni traveling, bahkan sampai ke tempat-tempat jauh, serta apakah saya, kamu, kita adalah turis atau traveler?
What's On Fimela
powered by
Turis atau Traveler?
"It's all in the mind,” George Harrison pernah berkata. Begitulah kira-kira ungkapan yang bisa dikaitkan dengan pembedaan istilah turis dengan traveler. Tak benar adanya bila traveler adalah mereka yang menjelajah dengan lebih baik. Saya bahkan tak bisa mengerti apa itu menjelajah dengan lebih baik.
Begini, traveling adalah sama seperti selera musik, pemilihan jenisnya bersifat sangat pribadi. Tak boleh ada judgement di sana. Tak bisa berlabel lebih baik di atas satu sama lain. Dengan kata lain, perjalanan adalah pilihan paling pribadi.
Seru atau tidaknya, indikator itu ada pada diri orang tersebut. Apalagi mengingat tujuan perjalanan tiap pelancong sangat mungkin berbeda. Beberapa ada yang ingin melarikan diri dari rutinitas, sembuh dari sakit tak tampak, sementara sisanya mungkin ingin menemukan cara berpikir baru.
Lagipula, kamu masuk dengan visa turis, kan? Bukan traveler. Label tempat touristy itu tak membuat turis jadi kurang baik. Namun, semua ulasan yang disajikan adalah opsi. Pada akhirnya, kitalah yang menentukan tujuan perjalanan, dengan siapa pergi, juga kapan.
Orang lain tak akan memahami pemenuhan makna yang ingin saya atau kamu cari. Bukan sebutan pelakon, menurut saya, yang membedakan perjalanan adalah soal penghargaan. Ya, bagaimana menghormati budaya setempat, tak mengganggu masyarakat lokal, juga sadar diri kalau di sana kamu hanya tamu di tanah orang.
Bukan pelabelan istilah yang membedakan, tapi tingkat penghargaan. Traveling hanya bertamu, bukan ingin mencap satu tempat sebagai tanah milik sendiri. Saya pribadi tak keberatan disebut turis, karena toh bagi warga lokal saya hanya orang asing. Bagaimana denganmu?
Asnida Riani,
Editor Food & Travel Bintang.com