Fimela.com, Jakarta Tiba-tiba saja banyak orang yang datang ke rumahku, rumah yang baru kutempati, rumah yang telah lama ditinggali oleh suamiku dan keempat orang anaknya. Ya, belum lama ini aku menikah dengan pria yang menurut orang-orang katanya lebih pantas menjadi kakekku daripada menjadi suamiku.
Awalnya pernikahan kami baik-baik saja, hingga pada akhirnya banyak orang yang membicarakan soal ketidakwajaran pernikahanku. Katanya aku hanya ingin harta suamiku saja. “Kalau suaminya meninggal kan hartanya bisa langsung buat dia,” begitulah kalimat yang selalu diucapkan oleh orang-orang itu, orang-orang yang bahkan mungkin tak tahu namaku.
Namaku, Rani, 17 tahun, suamiku, Selamet, berusia 62 tahun. Apakah kini kamu juga menganggap pernikahanku dengan Selamet salah? Apakah menurutmu aku hanya menginginkan harta Selamet? Sebelum menghakimiku cobalah untuk mengenaliku dulu. Dan inilah kisah pernikahanku dengan pria yang umurnya 45 tahun lebih tua dariku.
Sama seperti anak-anak lainnya, sejak kecil aku memiliki cita-cita, cita-cita yang kalau buatku rasanya seperti mimpi memegang bintang dan bulan di langit. Mustahil! Tidak mungkin kesampaian! Aku ingin jadi dokter hewan, aku ingin menyembuhkan kambing atau pun sapi milik tetanggaku yang sakit. Ya, namanya juga orang kampung, kambing dan sapi rasanya lebih berharga daripada emas.
Tapi sudahlah, aku tahu diri. Bahkan dulu, ketika masih duduk dibangku sekolah dasar, aku tak pernah mengganti-ganti tas. Setiap kali tas itu rusak, ibu selalu berusaha untuk memperbaikinya. Kalau tasnya robek, maka ibu akan menjahitnya, kalau resletingnya rusak, maka aku hanya perlu mencari peniti dan mengakali supaya tasku tidak kelihatan “mangap”.
Hidup kami memang susah, ibu tak bekerja, sedangkan bapak cuma pegawai biasa. Lulus SD aku harus bekerja mencari uang tambahan supaya tetap bisa sekolah. Untung saat itu dua adikku masih kecil, jadi ibu dan bapak tak perlu memikirkan soal biaya sekolah mereka. Namun beban itu rasanya seperti semakin berat, bapak sakit, ia sudah tak bisa bekerja lagi. Uang yang ia tabung habis untuk biaya berobat. Kehidupan kami semakin sulit dan kami terus berusaha untuk bertahan.
Di Saat Susah Dia Datang Menghampiri
“Maafin bapak ya Ran, karena bapak kamu jadi harus capek-capek kerja, kamu jadi nggak bisa main sama teman-teman kamu.” Jujur, kalimat yang diucapkan oleh bapak itu sempat membawaku melayang entah ke mana. Aku lupa kapan terakhir kali main dengan teman-teman seumuranku. Aku lupa kapan terakhir kalinya aku tidak memikirkan apakah keluargaku di rumah baik-baik saja? Apakah mereka sudah makan atau belum?
“Ran, ada yang datang mencari.” Inilah pertama kalinya aku bertemu dengan pria itu, pria yang sekarang jadi suamiku. Ya, aku tahu kalau keputusan untuk menikah dengan pria yang usianya 45 tahun lebih tua dariku adalah gila. Iya, iya, aku memang sudah gila, aku gila sampai-sampai aku pernah berpikir untuk lari dari rumah, tapi semakin jauh aku berlari, wajah-wajah mereka yang kusayangi semakin jelas terlihat, ibu, bapak, dan adik-adikku, mereka membutuhkanku, sangat membutuhkanku.
Hingga kini tak pernah sekalipun aku berpikir bahwa menikahi pria yang lebih tua dariku akan sangat menguntungkan buatku. "Dia pasti akan cepat mati, dan harta-hartanya akan bisa aku kuasai." Tidak, aku bersumpah, tidak pernah terpikirkan olehku semua itu. Yang aku tahu saat itu adalah aku harus bertahan demi bapak yang kini sudah sangat kesulitan untuk melangkahkan kakinya, ibu yang tentu saja semakin tua, dan dua adik laki-lakiku yang tetap harus aku urus.
“Kamu kan masih muda, kamu masih bisa bekerja,” itulah kalimat yang kudengar ketika orang-orang tiba-tiba datang ke rumah kami. Kenapa kalian baru datang sekarang? Ke mana kalian ketika ibuku bilang kalau beras di rumah sudah habis, kami sudah tidak punya tabungan lagi, bapak butuh uang untuk beli obat?
Demi apapun juga, aku sudah berusaha, aku sudah mencoba untuk bekerja siang dan malam supaya uang yang aku dapatkan lebih banyak. Tak hanya aku, bahkan ibu juga bekerja tak mengenal lelah untuk mendapatkan uang tambahan. Ibu yang tak pernah kubelikan baju baru karena uangku selalu habis digunakan untuk membeli makanan kami sehari-hari. Sudah bertahun-tahun kami bertahan dengan masa-masa itu, masa di mana orang-orang tak pernah tahu dan tak pernah mau tahu apa yang ada di balik tembok rumah kami yang sudah rapuh.
Kini, giliran aku mendapatkan secercah harapan kalian anggap aku salah. Kalian anggap aku ini cuma anak-anak yang maunya enak doank. “Jangan karena bapak kamu jadi begini. Bapak nggak apa-apa nak. Bapak juga pengin melihat kamu bahagia.” Kata-kata itulah yang selalu menguatkanku. Aku melakukan ini demi bapak, demi ibu, dan demi adik-adikku.
Apakah ini sebuah pengorbanan? Bukan, ini bukan pengorbanan. Ini adalah sebuah usahaku supaya ibu, bapak, dan adik-adikku bahagia.
- Cerpen -