Fimela.com, Jakarta Ibu selalu bilang kalau adikku, Rahmat, 18 tahun, adalah anak yang istimewa. Ya, Rahmat adalah satu dari jutaan anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di negeri ini, dan Rahmat juga mungkin menjadi satu dari sekian banyak anak berkebutuhan khusus yang mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari lingkungannya.
Ibu tak berhenti menangis saat tahu Rahmat menjadi korban bully atau perundungan. Ya, kasus bullying menimpa keluarga kami, lebih tepatnya menimpa adikku yang spesial, adikku yang selalu menjadi orang paling pendiam, adikku yang bahkan menghancurkan rumah semut pun ia tak tega. Aku sepakat dengan ibu, Rahmat adalah anak yang berhati lembut.
“Rahmat mungkin terlihat tidak seperti kita, tapi jangan memperlakukan dia dengan cara yang berbeda karena dia bagian dari kita. Dia bagian dari lingkungannya. Ibu atau pun kamu tak selamanya bisa bersama Rahmat, jadi biarkan dia belajar menjalani kehidupan ini seperti orang yang lainnya.”
Itulah yang selalu dikatakan oleh ibu, karena itu pulalah ibu membiarkan Rahmat kuliah di kampus yang biasa-biasa saja, bukan kampus spesial yang dikhususkan untuk anak-anak istimewa seperti dirinya. Ibu tak salah—pada awalnya ibu merasa tak bersalah, Rahmat, adikku memang pintar, hanya saja dia terlihat lebih pendiam dari mahasiswa yang lain, buktinya nilai-nila mata kuliahnya tak pernah D.
Tapi, kini ibu tak seperti dulu, ibu mengaku dirinya telah salah. Katanya ia telah salah “mendorong” Rahmat untuk kuliah di kampus anak-anak kebanyakan karena ternyata tempat yang diharapkannya dapat menjadikan anaknya orang yang sukses itu adalah sebuah neraka. Dan inilah kisah kami, keluarga si korban bully. Aku kakak Rahmat, Ani.
Dia Tetap Tersenyum
“Ka cepat pulang! Tolong adek ka,” ibu menelpon saat aku tengah bekerja, suaranya gemetar seperti orang ketakutan. Pikiranku langsung melayang entah ke mana. “Ibu sabar, tenang bu, istigfar,” pintaku. Ibu terdiam dan setelah itu aku hanya mendengar suara tangisannya, ibu, ibuku memang bukan orang yang bebas dari masalah, tapi puluhan tahun bersamanya, inilah kali pertama aku mendengar ibu menangis.
Aku tahu ada yang tak beres di rumah. Meskipun masih jam makan siang, aku langsung pamit pulang dengan atasanku. Sesampainya di rumah, ibu menceritakan semuanya. Ibu mengatakan kalau Rahmat dipukul oleh teman-temannya. “Kok bisa? Sekarang Rahmat di mana bu?” tanyaku. Masih dalam keadaan menangis, ibu menunjuk ke arah kamar Rahmat yang letaknya persis di samping kamarku di depan ruang makan keluarga kami.
“Tok, tok, tok.” Aku mencoba mengetuk pintuk kamar Rahmat yang tertutup rapat. Tak ada suara, tanpa pikir panjang aku langsung membuka pintunya, aku melihat Rahmat tengah duduk di meja belajarnya. Meja yang dipenuhi dengan lego kesukaannya. Ia mengetahui keberadaanku, ia menoleh ke arahku dan tersenyum. Itulah adikku, Rahmat, tak berubah meskipun hari ini mungkin adalah hari yang terburuk dalam hidupnya.
Kami Akan Tetap Melanjutkan Hidup Kami
Kami sadar bahwa Rahmat memang berbeda, tapi Rahmat juga sama seperti aku, ibu, bapak, atau pun kalian yang tengah membaca cerita ini. Rahmat juga berhak bahagia, Rahmat berhak mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya, Rahmat juga berhak untuk berusaha mengejar cita-citanya.
Malam itu ibu masih saja menangis. Aku biarkan ibu menangis, karena sepertinya hanya itu yang membuat perasaannya lega. “Apa salah Rahmat, ka?” dalam tangisnya ibu selalu mengulang kata-kata itu, kata-kata yang membuat seluruh tubuhku terasa terbakar. Perlu kalian tahu selama hidupnya, selama ibu membesarkan aku dan Rahmat, ia tak pernah sekali pun memukul, menempeleng atau mencaci kami, anak-anaknya ia besarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Orangtua kami memang tidak mendidik anak-anaknya dengan cara yang seperti itu—menghukum anak dengan pukulan atau apapun bentuknya. Ketika kami salah maka kami akan mengakui kesalahan kami dan berusaha untuk mencoba memperbaikinya. Kalau soal marah, ya, namanya seorang ibu, sama seperti ibu yang lainnya, ibu juga terkadang mendapatkan julukan “bawel” dari anak-anaknya.
Tapi, hati orangtua mana yang tak sakit melihat anak yang sudah dibesarkannya mati-matian dipukul oleh orang lain yang belum tentu juga mengenalnya dengan baik, apalagi jika ia tahu bahwa anaknya tak salah, bahkan tak memberikan perlawanan saat dipukul. Ibu merasa sangat sakit meskipun tak ada luka berdarah di tubuhnya, badannya lemas seperti tak punya tulang ketika ia mendengar kabar bahwa adikku jadi korban bullying. Adikku ditertawakan, diolok-olok oleh teman-temannya, ditempeleng, diperlakukan layaknya sebuah mainan yang tengah diperebutkan.
“Rahmat nggak apa-apa ya ka, ini proses kehidupannya. Dia anak yang kuat, dia anak yang hebat.” Ibu berusaha untuk bangkit, meskipun suaranya masih terdengar bergetar. Aku mengerti apa yang kini tengah dirasakan oleh ibu, meskipun aku juga tidak dapat membayangkan apa yang akan aku lakukan jika yang jadi korban bullying itu adalah anakku. Apa kamu bisa membayangkannya? Bagaimana jika Rahmat atau orang seperti dirinya itu adalah adikmu atau bahkan anakmu? Maaf, tapi kejadian ini tidak akan membuat Rahmat terpuruk, adikku lebih kuat dan lebih hebat dari yang kamu bayangkan.
- Cerpen -