Fimela.com, Jakarta Tumbuh besar di Jakarta, meskipun tinggal di Jawa Barat, mengajarkan saya berbagai hal soal keberagaman. Mulai dari keberagaman suku, budaya, warna kulit, termasuk soal status sosial.
Sejak duduk di Sekolah Dasar (SD), saya mulai bertemu banyak anak-anak yang ke sekolah diantar pakai kendaraan mewah, mulai dari Porsche sampai Jaguar. Tapi bukan berarti saya satu-satunya murid yang diantar pakai jemputan sekolah. Karena ada beberapa teman dekat saya yang pulang-pergi naik angkot dan ojek konvensional.
Menuntut ilmu di sebuah sekolah semi internasional pada awalnya membuat saya pusing. Soalnya, saya datang dari 'kampung,' sebuah kota kecil di Jawa Barat, yang pada saat itu belum banyak mal dan tempat hiburan. Ketika teman-teman saya dulu membicarakan mal besar di kawasan Grogol, saya malah cuma tahu hutan pohon karet, tempat bermain petak umpet.
Meskipun banyak orang kaya, saya nggak pernah iri hati karena untungnya, semua teman saya yang orangtuanya tajir melintir nggak pernah sombong dan pamer harta. Sampai akhirnya masuk siswa baru, yang ternyata seorang anak menteri.
Sejak itu saya baru paham, kalau ada juga orang-orang yang tajir, dan mengeluarkan cukup banyak uang untuk apa pun. Mulai dari keperluan sekolah anaknya, hiburan, dan bahkan mereka kerap memfasilitasi teman-teman anaknya saat bermain bersama.
Kenal dengan beberapa orang di kalangan atas nggak bikin saya kecipratan juga. Hingga akhirnya, saya yang terus keep in touch dengan teman-teman semasa SD sampai sekarang, juga ikut kenal dengan anak-anak orang kaya lainnya, di luar sekolah, bahkan beberapa di antara mereka ada yang berasal dari Negeri Jiran.
Mereka kaya. Melebihi teman-teman saya semasa sekolah dulu. Tapi saya melihat ada beberapa perbedaan kecil yang cukup menarik. Sebagian dari teman 'baru' ini sangat kaya, tapi nggak pernah berpenampilan mentereng.
Saya jadi bertanya-tanya dalam hati, kenapa mereka bisa kaya, selain orangtua mereka yang menjadi donatur tetap sejak mereka lahir. Oke, mereka punya bisnis atau usaha yang rata-rata mereka rintis sejak kuliah, atau bahkan sejak SMP.
Tapi, kenapa uang mereka nggak pernah habis, meskipun punya banyak barang bermerk, fancy, yang harganya belum tentu orang kaya lainnya sanggup beli. Atau, padahal mereka sering banget jalan-jalan, dan jarang pulang ke kota kelahiran. Bahkan sebagian dari mereka nggak terlihat kerja, tapi setiap hari makan-makan di restoran mahal dan juga nongkrong bar-bar kelas atas.
Rahasia Orang Kaya
Penasaran tapi nggak mau tanya langsung ke mereka, saya akhirnya mulai mengikuti sedikit-sedikit aktivitas dan gaya hidup mereka, walaupun nggak bisa semuanya. Sebagian dari teman saya yang kaya banget ini punya usaha. Usahanya macam-macam, mulai dari pemilik toko, deretan ruko, condominium, real estate, sampai kos-kosan elit.
Apa pun usahanya, mereka punya penghasilan tetap yang nilainya nggak akan pernah jatuh seberapa besar pun inflasi naik suatu saat nanti.
Ada juga yang main di dunia investasi, seperti saham, atau uang virtual. Saya jadi nggak heran, kenapa mereka bisa nggak kelihatan apa pekerjaannya, tapi punya banyak uang. Selain pekerjaan mereka, ternyata sikap dan pendidikan juga berpengaruh.
Dilansir dari Inc, ada beberapa sikap umum yang mereka miliki. Pertama, mereka sudah dididik untuk berbisnis sejak kecil. Belajar juga penting, dan mendapatkan nilai baik adalah keharusan. Tapi, belajar untuk menghasilkan uang dengan tenaga sendiri jauh lebih penting.
"Lu pengen kaya, nih. Lu tahu harus menabung dan banyak-banyak kerja. Tapi lu nggak bakal bisa kaya kalo lu cuma kerja. Lu harus menciptakan. Lu jual karya lu. Nah, lu punya otak juga harus dipakai. Jualan gorengan di pinggir jalan juga ada ilmunya biar laku. Apa lagi jualan rumah kayak begini. Si Ed itu biar pun jualan Tanah Abang, tapi dia sekolah sampai ke Aussie," kata salah satu teman saya.
Kedua, mereka ternyata nggak pernah menghabiskan uang untuk hura-hura semata. Banyak teman-teman saya yang tajir melintir justru ponselnya merk China yang kalah fancy dengan yang anak-anak lainnya pakai. Baju dan sepatu juga nggak pernah seharga mobil seperti artis-artis.
Mereka punya banyak uang, tapi nggak menghabiskannya untuk hal-hal yang nggak mereka butuhkan. Kadang memang mereka harus beli barang super mahal, tapi itu semata-mata karena mereka butuh untuk bekerja dan berbisnis. Bahkan, mereka membeli barang-barang yang bisa mereka uangkan lagi. Misalnya, nggak masalah kalau membeli laptop gaming super canggih, tapi dengan laptop itu, mereka harus menghasilkan uang.
Ketiga, mereka tatap menggunakan prinsip pengeluaran nggak boleh sama besar, apa lagi lebih banyak dari penghasilan. Kalau mereka memang butuh mengeluarkan uang lebih banyak, mereka cenderung akan mencari pekerjaan, atau penghasilan lebih, sebelum mengeluarkan uang lebih banyak dari biasanya.
Meskipun mereka kaya, tapi nggak pernah lupa dengan orang-orang yang telah membantunya dulu. I'm not bragging, tapi dulu saya pernah menolong salah satu teman saya yang kaya. Cuma hal kecil, tapi sejak itu, dia nggak pernah lupa bilang thanks dengan berbagai cara.
Dia terus keep in touch, karena dia tahu, link dan hubungan baik lebih penting dari pada kehilangan uang. Poin terakhir, koneksi yang kuat ini membuat mereka semakin kuat dalam membangun bisnis dan usaha. Mereka bahkan kerap menganggap orang-orang dekatnya adalah keluarga walaupun nggak sedarah.
Mungkin, keempat hal ini yang bikin mereka sukses terus. Kalau kata orang, pilar-pilar ini yang menjadikan uang mereka terus mengalir seakan nggak bisa berhenti.
Karla Farhana
Editor Feed Bintang.com