Eksklusif Michelle Widjaja, Suksesnya Shirokuma yang Doyan Matcha

Febriyani Frisca diperbarui 14 Jul 2017, 09:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Bisnis kuliner di Indonesia memang nggak pernah ada matinya. Hal tersebut terbukti dari menjamurnya outlet-outlet makanan dengan berbagai konsep di setiap waktu. Mulai dari makanan berat hingga ringan, dari yang manis hingga yang pedas. Semua punya trennya sendiri yang bikin mereka hits di dunia kuliner Indonesia.

***

Bisnis dessert di Indonesia kini mungkin belum banyak yang melirik dan menjamur seperti bisnis kuliner pedas. Hanya segelintir orang yang berani membuka resto atau cafe dessert dan memiliki customer loyal. Mengingat nggak semua orang peduli dengan menu dessert setelah makan. Namun, berbekal percaya diri, Michelle Widjaja berhasil mendirikan dan membesarkan Shirokuma hingga seperti sekarang ini.

Bagi warga ibukota dan sekitarnya, nama Shirokuma pasti sudah nggak asing lagi di mata dan telinga. Terlebih jika kamu sering hang out ke mall. Memiliki delapan outlet di Jabodetabek, Michelle membangunnya secara bertahap sejak Juni 2014. Pantai Indah Kapuk (PIK) menjadi lokasi pilihan pertama Michelle mendirikan Shirokuma. "Outlet pertama kami itu di PIK," kata Michelle ditemui di outlet Shirokuma Grand Indonesia pada Selasa (4/7) lalu.

Perlahan tapi pasti, berkat keuletan Michelle dan timnya, Shirokuma kini telah memiliki tujuh cabang lainnya, yakni di Gandaria City, Grand Indonesia, Kota Kasablanka, AEON Mall, Margo City, PIM 1, dan Sumarecon Mall Bekasi. Bukan sekadar ikut-ikutan, Michelle Widjaja sendiri memilih bisnis cafe dessert karena ia memang memiliki ketertarikan di dunia matcha dan ditambah memiliki latar belakang pendidikan diploma jurusan Pastry.

Kepada Bintang.com, Michelle menuturkan bahwa kisah berdirinya Shirokuma berawal ketika Michelle berlibur ke Jepang. Di sana, ia menemukan matcha dengan rasa yang berbeda seperti yang pernah ia jumpai di Indonesia. "Awalnya saya memang lagi liburan ke Jepang. Saat di sana, gampang banget ditemuin tempat es krim ala Jepang yang soft cream gitu. Di sana bisa makan setiap hari. Tapi pas balik ke sini saya nggak ada yang jual yang sama. Adanya frozen yogurt, nggak ada yang soft cream," ujar Michelle.

Lalu, setelah melakukan coba-coba selama beberapa bulan, Michelle pun percaya diri untuk mendirikan resto cafe dessert. "Yaudah karena saya punya basic pendidikan Pastry, saya coba R and D (Research and Development) beberapa bulan, saya merasa bisa untuk bikin serupa. Dan berdirilah Shirokuma di akhir Juni 2014," imbuh perempuan lulusan Le Cordon Bleu Australia ini.

Dengan awal karyawan sebanyak 12 orang, Michelle kini telah memiliki total sekitar 100 orang karyawan di seluruh outlet-nya. "Pertama buka, karyawan ada 12 orang termasuk back office. Nggak nyangka sih kalau rame banget dan waiting list berjam-jam. Waktu itu saya juga masih bantu di belakang. Sekarang, total karyawan ada sekitar 100 orang termasuk untuk bagian pengiriman, gudang, dan office," kenang Michelle. 

Lantas, bagaimana perjuangan Michelle dalam membesarkan nama Shirokuma hingga punya delapan outlet dalam tiga tahun? Bagaimana pula cara Michelle dalam mempertahankan bisnisnya kulinernya di tengah persaingan yang semakin ketat? Dan apa yang membuat Michelle memilih nama Shirokuma sebagai nama cafe dessert-nya? Ditemui di outlet Shirokuma Grand Indonesia oleh reporter Febriyani Frisca dan fotogrefer Daniel Kampua, berikut petikan wawancaranya.

2 dari 3 halaman

Kisah Unik di Balik Nama Shirokuma

Doyan matcha dan punya bekal pendidikan Pastry, membuat Michelle Widjaja berani buka bisnis dessert Shirokuma. (Fotografer: Daniel Kampua/DI: M. Iqbal Nurfajri)

Shirokuma menurut kamu sebagai founder itu apa sih?

Nggak cuma café dessert aja, tapi juga tempat hangout yang happy, yang juga ada makanan enak. Jadi lebih ke place of happiness, sih.

Apa yang melatarbelakangi pemilihan nama Shirokuma?

Kalau soal pemilihan nama, Shirokuma itu kan dalam Bahasa Jepang artinya beruang putih. Itu dulu julukan saya waktu masih kecil, karena saat saya masih kecil, saya putih dan bulat gitu jadinya dipanggil Polar Bear.

Apa yang membuat kamu tertarik dengan bisnis dessert matcha ini?

Awalnya karena saya memang suka banget matcha, tapi yang ada di Indonesia ini tuh paling baru sebatas minuman kayak di salah satu kedai kopi. Rasanya terlalu manis untuk saya dan terlalu terasa vanilanya. Kalau di Jepang, matcha itu rasanya pahit tapi enak. Jadi, emang suka, sih, dari dulu juga minumnya teh matcha. Pas mulai di Indonesia, mungkin belum banyak yang tahu, ya.

Sejauh apa sih melihat peluang bisnis dessert matcha ini di Indonesia?

Well, banyak yang bilang, kalau bisnis dessert emang lagi nge-tren. Tapi bisnis es krim tuh udah lama banget di Indonesia. Mungkin penampilannya aja yang berbeda. Jadi, kalau sesuatu bisnis dessert ini ada sesuatu kreasi yang lain dan customer masih tertarik sih sebenarnya bisa forever sih trennya.

Untuk peluang sendiri, sekarang kami kan baru ada di Jabodetabek, dan yang mau franchise di luar Jabodetabek banyak banget. Dan itu step kita selajutnya, sih.

Di kota mana aja yang sudah mengajukan franchise?

Yang udah minta sih ada di Surabaya, Medan, Bali. Tapi kami juga mau pilih partner yang bener. Karena kalau franchise, ada satu outlet jelek, bakal berpengaruh ke semuanya.

Nggak ingin mengelola sendiri?

Bisa, tapi harus lebih complete, sih. Sementara belum ada GM, saya nge-running sendiri.

Bagaimana kamu melihat respon masyarakat terhadap Shirokuma?

Awalnya, masyarakat nggak ada yang tahu. Sampe seminggu pertama itu kami kasih free untuk customer. Mereka bisa pesan menu apa saja semaunya. Tiba-tiba ada blogger yang datang sendiri. Dan di minggu ke-dua udah penuh banget. Saya juga nggak menyangka.

Apa yang membedakan Shirokuma dengan café dessert matcha lain?

Mungkin perbedaannya dari matcha-nya masih diambil dari Kyoto, Jepang. Kemudian 90% topping di Shirokuma dibuat sendiri, dan kami nggak pakai pengawet, jadi topping di sini nggak bisa tahan lama. Dan karena saya memang ada latar belakang Pastry, soal inovasi menu lumayan cepat. Setiap sebulan-dua bulan ada menu baru, rasa baru, yang R and D juga saya.

Target market Shirokuma itu siapa saja, sih?

Kami punya target market itu anak muda, mulai dari 15-25 tahun. Tapi, yang datang itu banyak keluarga, seperti anak dan mama papanya. Bahkan, ada yang datang ke sini untuk meeting. Kami juga menyediakan private event dan ada paketnya juga.

Kendala dalam tiga tahun ini apa saja?

Banyak, sih. Namanya bisnis food and beverage pasti ada human error. Kadang mungkin karyawan lagi bad mood dan menghadapi customer kurang baik. Jadi, yang saya tanamkan adalah walaupun lagi bad mood atau melakukan kesalahan, yang penting minta maaf dan jangan mengulangi kesalahan lagi. Karena customer kan raja, ya, jadi harus begitu.

Lalu, tantangannya sendiri apa?

Tantangan sebagai entrepreneur yaitu harus disiplin dan harus self motivated. Kadang ada aja masalah atau ada isu apa bikin down, dan saya harus mengingatkan diri sendiri kalau saya entrepreneur-nya, tapi yang care sama bisnis ini banyak. Sekarang karyawan sudah ada 100, jadi saya juga harus memotivasi diri sendiri, karena kalau down bakal pengaruh ke semuanya.

Kalau boleh tahu, berapa sih modal untuk membangun dessert matcha sekelas Shirokuma ini?

Aduh, saya sudah kurang ingat. Tapi sekitar Rp1 Miliar-an lah untuk yang di PIK aja.

Nah, untuk omzet, kalau boleh sebut angka, berapa, sih, kira-kira?

Hmm kalau itu tergantung momen, ya. Kayak misalnya Lebaran, Natal, atau Holiday, bisa sampai 1,5-2 kali lebih dari bulan-bulan biasa. Begitulah kira-kira.

Selain karena latar belakang pendidikan dan hobi, keluarga apa peran serta nggak?

Ada. Jadi ayah saya orang di balik Poshboy. Papa mulai dari sebelum saya lahir di tahun yang sama. Jadi tuh saya dari kecil sudah diajarin cara bisnis sama papa. Kayak misalnya deal sama orang nggak boleh menang satu pihak, harus win-win solution. Kebanyakan sih saya belajar dari papa.

Apakah Shirokuma ini bisnis pertama kamu?

Iya, Shirokuma bisnis pertama saya yang official. Sebelumnya paling saya suka jualan di sekolah seperti jualan cookies, pin. Bahkan sampai pernah diomelin guru. Tapi ya gimana, emang udah hobi. Dari saya kecil saya suka main game tentang bisnis kayak Monopoli, simulasi bisnis untuk anak-anak.

3 dari 3 halaman

Michelle Widjaja Perhatikan Kesehatan Customer Lewat Komposisi

Doyan matcha dan punya bekal pendidikan Pastry, membuat Michelle Widjaja berani buka bisnis dessert Shirokuma. (Fotografer: Daniel Kampua/DI: M. Iqbal Nurfajri)

Matcha terenak yang pernah kamu coba di mana?

Di Kyoto, Jepang. Di sana tuh emang home-nya matcha. Jadi mereka tuh produsennya matcha gitu, lho.

Oiya, matcha dan green tea itu kan beda, ya? Di mana letak perbedaannya?

Iya, beda antara matcha dan green tea. Jadi, matcha itu green tea, tapi green tea belum tentu matcha. Bedanya itu di proses, seperti cara menanam dan grinding. Green tea ada di Korea, China, Jepang, tapi yang terbaik di Jepang. Dan itu yang bikin Shirokuma import bahan baku dari Jepang. Kami memilih yang terbaik.

Lalu, proses balik modal, di tahun ke-berapakah Shirokuma mendapatkan kembali modal awal?

Lumayan cepat, sih. Nggak sampai setengah tahun.

Bagaimana cara Shirokuma mempertahankan eksistensi di tengah persaingan bisnis serupa?

Kayak yang saya tadi bilang, kami ada inovasi menu, rencana marketing, apa yang bakal kita lakukan. Seperti saat kami ulang tahun, kami bikin promo es krim serba Rp5000. Dan ada kompetisi makan kari 3 kg.

Menu andalan di Shirokuma ini sendiri apa?

Kalau menu andalan sih di Shirokuma sudah pasti soft cream sama waffle, dan untuk snack-nya popcorn chicken.

Sebagai bisnis kuliner, apakah Shirokuma memperhatikan komposisi untuk kesehatan customer?

Iya, pasti, sih. Karena saya sendiri nggak suka makanan yang terlalu manis atau berlemak gitu. Jadi, kamu di resep itu low fat dan nggak pakai gula terlalu banyak. Karena kalau customer malah mual, nanti mereka malah nggak datang lagi. Mungkin itu juga salah satu sebab kenapa Shirokuma banyak didatangi keluarga, karena orangtua biasanya nggak mau makan yang terlalu manis. Minyak goreng kami juga diganti secara regurally, karena kalau nggak diganti kan nanti jadi trans-fat. Hal-hal yang seperti itu kami pasti perhatikan, sih.

Dari kompetitor yang ada, hal apa yang kamu pelajari?

Kami biasanya melihat hal benar dan salah apa yang mereka lakukan. Kami juga biasanya observe, tapi, kami sendiri juga masih fokus bagaimana caranya kami improve. Karena momennya pas banget, saat Shirokuma berdiri, trennya lagi Taiwanese style dan yang Japanese belum ada. Pas kami masuk, tiba-tiba banyak yang café serupa yang bermunculan. Which is good, berarti customer sudah lebih aware. Dan kami nggak masalah kalau ada banyak, jadi customer juga banyak pilihan. Shirokuma sendiri masih fokus pada improve dan selalu memberi yang terbaik.

Kalau nggak jadi perbisnis kuliner, kamu mau jadi apa?

Saya sih sudah dari dulu otaknya di bisnis, hehe. Jadi, kalau nggak kuliner paling di bisnis fashion atau design.

Di fashion atau design sendiri sudah atau pernah ada pergerakan, belum?

Saya dulu sebelum ambil Diploma di Pastry, saya pernah Master di Fashion Business. Tadinya mau bantu papa, ternyata saya punya passion sendiri di kuliner.

Apa yang sudah didapat dari menjadi pebisnis kuliner ini?

Saya belajar kalau jadi orang itu nggak boleh cepat menyerah. Emang, sih, pasti banyak halangannya, tapi jangan panik dulu, nanti juga ada solusinya. Selain itu, saya juga belajar disiplin dan pengorbanan. Kadang, teman-teman sudah pada liburan ke luar negeri, saya masih di sini untuk mengurusi bisnis karena lagi ramai.

Nilai-nilai apa yang diberikan pada karyawan untuk membangun mereka juga?

Di setiap outlet ada monthly gathering, biasanya inisiatif manager. Saya sih approve aja. Lalu mereka invite makan malam di outlet setelah closing untuk sharing. Apa yang telah dipelajari, apa kendalanya, ada saran apa. Business owner harus mendengarkan juga, karena mereka yang di lapangan yang menjalani dan tahu kendalanya di mana saja. Mungkin ide mereka lebih bagus dari saya.

Harapan ke depannya untuk bisnis Shirokuma ini?

Saya berharap kalau brand ini nggak cuma jadi brand nasional, tapi juga internasional. Ke luar negeri gitu. Mungkin Malaysia yang pasarnya mirip-mirip sama Indonesia bisa atau Singapura.

Tips buat anak muda yang mau berbisnis?

If you never try, you never know. Kalau kamu masih muda dan belum ada beban keluarga atau anak, itu momennya untuk mencoba. Kebanyakan anak muda takut untuk mencoba. Seperti takut gagal. Justru keslahan ada ketika kamu nggak mencoba. Mau coba sekecil apapun, yang penting udah coba.

Sebagai pebisnis wanita, pernah diremahkan nggak?

Secara eksplisit sih enggak, ya. Mungkin secara feeling iya. Mungkin ada orang yang berpikir saya anak kemarin sore. Namun, beruntungnya, saya melihat di Indonesia banyak pebisnis cewek yang nggak memikirkan stereotip gender lagi. Jadi cuek aja.