Editor Says: Keresahan Menjadi Istri dan Berhentinya Hobi

Febriyani Frisca diperbarui 11 Jul 2017, 12:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Panggung kecil sedikit lebih tinggi dari penonton, lampu warna-warni menyorot tak tentu arah, hentakan musik penuh distorsi, suara lantang mengalun berjamaah bak paduan suara tanpa latihan, dan saya berada di antara mereka. Ya, saya berada di sebuah pertunjukan musik.

***

Setiap orang punya cara untuk membahagiakan dirinya sendiri. Ada yang bahagia dengan travelling, wisata kuliner, hobi otomotif, atau merusak kebahagiaan orang lain. Eh. Kalau saya sendiri, membahagiakan diri sendiri dengan cara yang cukup universal dan sederhana, yakni musik. Baik dengan mengunjungi acara musik band favorit dan berada di barisan penonton, membeli merchandise official, atau sekadar mendengarkan lagu dari musisi favorit di perjalanan, bagi saya sudah cukup.

Omong-omong soal berbahagia dengan musik, al-kisah berawal ketika saya duduk di kelas 3 SMP yang jatuh cinta dengan band lokal bernama Clubeighties. Di Editor Says perdana saya, saya telah menjelaskan. Bisa dibaca bila berkenan hehe. Mulai dari suka, hingga jadi groupies, rupanya saya telah benar-benar tenggelam di dunia gigs dan menjadikannya salah satu hobi dan sumber kebahagiaan.

Bahkan, ketika nama Clubeighties meredup dan termakan zaman, saya seperti kehilangan arah. Tak ingin terombang-ambing, mencoba untuk mencari kebahagiaan lain dengan mendatangi panggung musik selain Clubeighties. Dan benar saja, saya semakin merasa bahwa mendatangi panggung musik adalah kebahagiaan saya.

Dan berkenaan dengan kebahagiaan saya ini, rupanya ada kekhawatiran dan pertanyaan yang mengganjal di hati saya. Belum lama ini, tepatnya Sabtu lalu (8/7), saya mengunjungi gigs yang merupakan rangkaian tour acara musik besar di Indonesia di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Usai acara, saya meraih ponsel saya. Di sana, saya menemukan bejibun pesan digital. Salah satunya dari seorang teman kecil yang juga teman gigs saya di grup WhatsApp teman-teman lingkungan rumah.

Dalam pesannya, ia mengirimkan sebuah foto di mana ia lagi DVD marathon ditemani sang suami. Merespon kiriman pesannya, saya pun mengirimkan foto panggung yang tadi saya potret. “Sudah nggak zaman lagi. Udah mau jadi calon ibu. Dasteran deh.” Begitu sahutnya. Lalu seketika ingatan saya terlempar ke sebuah keresahan, “apakah saya akan terus bisa seperti ini (nge-gigs) saat sudah menikah nanti?”.

2 dari 2 halaman

Apakah jika sudah menjadi istri nggak boleh nge-gigs?

Hmmm… Membaca balasannya, saya hanya bisa terdiam dan sedikit tersenyum kecut, lalu berpikir, apakah sebuah pernikahan dapat membuat seseorang kehilangan hobinya? Apakah menjadi istri akan membuat saya kehilangan waktu untuk bersenang-senang di luar? Apakah saya akan mengalami hal itu? Hahaha. Suck banget sih, kalau benar terjadi. Eh.

Orangtua saya pun juga kerap bertanya, apa yang telah saya dapat dari seringnya mendatangi panggung musik. Uang?Nggak. Pacar? Apalagi. Ya rasa bahagia saja, sih. Saya sendiri sulit untuk mengungkapkannya dengan kata. Kalau kamu seseorang yang memiliki kegemaran seperti saya, pasti kamu paham apa yang saya rasakan. Hehehehe.

Meski itu baru sebatas keresahan, namun, saya lumayan kepikiran. Sempat terlintas, jika pasangan saya mengizinkan, saya berencana untuk memboyong anak dan pasangan saya nantinya untuk menonton acara musik favorit hahaha. Rencana itu semakin ingin saya wujudkan ketika pada sebuah acara musik, saya melihat mamah-mamah muda indie berbakat yang memboyong serta balita juga bapaknya. Hmm…

Tentunya nggak di setiap acara saya jumpai, sih. Hanya pada event-event bebas rokok atau outdoor saja yang biasanya saya bisa temui sepasang pasutri muda nge-gigs bareng anak mereka. Sebagai seseorang yang berencana untuk memboyong serta keluarga, saya berharap jika ke depannya akan banyak gigs musik ramah anak, sehingga para pecinta gigs yang sudah berkeluarga dan ingin melepas rindu pun bisa memboyong serta keluarganya.

Bukan begitar?

Salam,

Febriyani Frisca

 

 

Editor Kanal Zodiac