Fimela.com, Jakarta Tanpa fans seorang musisi atau pemain film bukan siapa-siapa. Ungkapan ini mungkin sudah teramat sering kita dengar di berbagai acara televisi maupun di kutipan wawancara.
Seperti halnya bisnis dalam ekonomi, sebuah produk bisa berjalan ketika ada produsen dan konsumen. Begitu pun karya seni tentunya bisa terus terjaga selama ada mereka yang menikmatinya.
Sebagai manusia biasa, sangat wajar memiliki sosok yang kita idolakan. Kita tentunya punya parameter tersendiri untuk menentukan apakah sosok tersebut memang layak didukung karya-karyanya.
Berawal dari kekaguman, biasanya akan muncul rasa terikat bahkan posesif. 'Fungsi' fans yang harusnya bersifat supportif dan apresiatif akan beralih jika sudah memasuki fase fanatisme yang berlebihan. Fase ini yang seringkali berujung bahaya.
Di level parah fanatisme bisa menjadi motif pembunuhan. Seperti kasus penembakan John Lennon oleh David Chapman, yang mengaku seorang pengagum. Menurut beberapa teori, ia sengaja membunuh Lennon untuk menjadikannya legenda. Karena saat itu pentolan The Beatles tersebut meraih kejayaan dan punya influence kuat.
Fanatisme bisa menjadi pedang bermata dua, atau koin dengan dua sisi berbeda. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Fanatisme Masa Kini
Mungkin sudah sering kita dengar berbagai hal fatal yang timbul akibat fanatisme berlebih. Di luar dunia entertainment, hal ini juga bisa terjadi. Sebut saja supporter bola atau fans golongan tertentu yang bertindak anarkis.
Sebagai fans sepertinya mereka lupa jika mereka tak boleh merampas hak sang idola atau masyarakat umum. Apalagi dengan maraknya social media, menyulut perang antar fans jadi hal yang sangat mudah. Modal jempol doang.
Jujur saja saya sering pusing saat mengeksplor social media. Ketika ada rivalitas antara dua kubu fans, saling olok sering tak bisa terhindarkan. Fanwar menjadi semakin liar dan menggunakan bahasa-bahasa tak pantas.
Di era millennials fanatisme kini menjamur di kalangan fans K-Pop. Bukannya saya antipati terhadap para remaja atau dewasa yang menggemari artis Korea, tapi ini memang contoh nyata yang gampang ditemui di kalangan muda saat ini.
Tingkah laku fans bisa jadi boomerang bagi seorang artis. Mereka yang hardcore tak segan untuk menguntit sang idola kemanapun ia pergi. Pelanggaran privasi sudah bukan lagi cerita baru di lingkup penggemar. Sejumlah artis Korea bahkan sampai bunuh diri karena bully-an pedas setelah ia melakukan kesalahan.
Ngefans boleh, tapi sewajarnya saja. Toh kembali lagi, fans adalah sumber kekuatan seorang artis. Tetaplah menjaga kondisi simbiosis mutualisme, dengan memilih idola yang tepat dan memberi manfaat. Ingat ya, mengagumi tak harus memiliki.
Nizar Zulmi,
Redaktur Musik Bintang.com.