Fimela.com, Jakarta Pernikahan merupakan satu tahapan hidup yang pasti dialami hampir semua manusia. Terkhusus dalam hal percintaan, pernikahan itu merupakan satu tahap sakral di mana kedua belah pihak yang terlibat dalam hubungan, secara sadar memilih satu sama lain sebagai pendamping hidupnya, selamanya. Pernikahan itu mengikat, dan kata orang pernikahan itu berat. You just have to found the right one, agar semua hal berat tersebut dapat dilalui dengan tetap menyenangkan dan penuh rasa syukur.
Saya sebagai seseorang yang menurut opini masyarakat sudah memasuki umur cukup untuk sebuah pernikahan, berusaha memahami apa yang ada di depan sana. Saya berusaha untuk melangkah dengan hati-hati, dan sadar—tak peduli seberapa banyak cinta-cintaan yang saya konsumsi setiap harinya itu membuat mabuk.
Berbagai contoh tentang kehidupan pernikahan bisa saya dapat dengan mudah dari sekitar saya. Tak semuanya baik, tapi semuanya memudahkan saya untuk belajar. Ada yang memberi saya pelajaran lewat kesuksesan membina hubungan nan harmonis selama berpuluh-puluh tahun, ada yang terlihat dingin tapi ternyata ‘ikatan’ di antara keduanya begitu erat dan hangat, ada juga yang memberi pelajaran dari kegagalan; untuk kemudian membuat saya berpikir dan menganalisa, apa yang salah serta bagaimana untuk menghindari kesalahan tersebut dalam hubungan saya.
Satu hal lagi yang membuat pernikahan tampak ‘istimewa’, terutama bagi saya, adalah fakta bahwa saya akan menikah tanpa kehadiran ayah sebagai wali. Istimewa sedihnya.
Kebanyakan orang mungkin memandang pernikahan sebagai sebuah momen yang membahagiakan, penuh suka cita dan air mata bahagia. Namun bagi saya, setidaknya saat ini, pandangan tentang pernikahan itu tak terlepas dari kesedihan saat membayangkan di hari besar itu, bukan tangan ayah saya yang akan dijabat oleh lelaki pilihan saya untuk mengucap sumpah pernikahan atas nama Tuhan. Bukan tangan ayah saya yang akan saya cium untuk meminta restu, mengalihkan bakti dari dirinya ke suami yang saya pilih.
Tidak semua orang merasakan kesedihan ini, tapi ini adalah kesedihan yang lazim dialami seorang anak perempuan yang tidak lagi memiliki sosok ayah di sisinya, saat memandang tentang pernikahan.
Bagaimana pandangan tentang pernikahan dari mata anak perempuan yang telah ditinggal ayahnya?
Di antara serentetan kesedihan sepeninggal ayah saya, ada satu yang paling menyakitkan. Yakni ketika beliau ‘datang’ ke mimpi dan membicarakan sesuatu, tentang pernikahan. Masih jelas betul di ingatan, bagaimana alur di mimpi itu membawa saya dan ayah pada sebuah percakapan empat mata. Tak banyak yang ia bicarakan, hanya memberitahu bahwa dia takkan ada untuk menemani saya di hari pernikahan saya nanti.
Mimpi itu tak berlangsung lama, tapi patah hatinya masih saya rasakan, bahkan tak pernah berkurang sejak hari pertama saya merasakannya.
Selanjutnya, tugas mendiskusikan rencana pernikahan itu diambil alih oleh ibu. Saya juga masih ingat bagaimana ibu membicarakan itu sambil bercucuran air mata di hadapan dia, lelaki yang saya percayai dan dianggap ibu layak untuk menjadi pasangan hidup saya. Sayangnya, kami tidak bisa meminta pendapat ayah mengenai hal ini, karena ia telah lebih dulu pergi.
Saya seringkali berpikir apa yang akan dikatakan ayah saya jika ia masih ada. Apakah ia akan meminta saya lekas menikah saja? Apakah ia juga akan ‘menodong’ lelaki itu agar segera menikahi tuan putrinya ini? Atau hanya akan bersikap dingin dan berbicara sebutuhnya, sambil setengah menahan cemburu karena tahu cinta sang putri terhadapnya telah terbagi ke lelaki lain?
Tak ada yang bisa saya lakukan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu secara langsung. Namun di hadapan nisannya, saya sering berbicara tentang lelaki itu. Menceritakan apa yang telah dilakukannya untuk saya—yang pasti akan membuat ayah sedikit lega di surga, meski tetap dengan cemburu karena bukan dia yang melakukannya sendiri, juga membicarakan rencana-rencana kami.
Hanya di hadapan batu nisan itu juga saya memohon restu. Entah dengan cara apa saya bisa menerima jawabannya, tapi saya tak bosan-bosan meminta, “Ayah, aku mau menikah dengannya. Tolong berikan restumu, tolong berikan jawabanmu melalui pertanda, apapun bentuknya..”
***
Teruntuk semua anak perempuan yang sedang merencanakan pernikahan tanpa sosok ayah di sisi, berjuang lah untuk tetap bahagia, karena yang ayah kita inginkan adalah bahagia kita, dengan atau tanpanya di sisi. It may not be easy but, hey, we'll get through this anyway. :)