Fimela.com, Jakarta Sejak beberapa tahun terakhir, naik gunung seakan menjadi fenomena tersendiri. Dimulai dari rilisnya film yang menceritakan perjalanan sekelompok sahabat dalam mendaki gunung, kegiatan tersebut seakan menjadi bagian dari gaya hidup. Sayangnya, banyak di antara mereka yang mendaki gunung tanpa 'bekal' yang cukup, sehingga menjadi bahaya bagi diri mereka sendiri maupun alam yang mereka kunjungi. Di tengah-tengah fenomena itu, seorang wanita muda bernama Dian Indah Carolina juga merasa tertantang untuk 'mencicipi' kegiatan mendaki gunung.
Berawal dari ajakan teman, Caro, begitu ia biasa dipanggil, menjajaki kakinya ke Gunung Papandayan. Pengalaman pertamanya mendaki itu diakui tidak terlalu berkesan karena medannya standar, namun perjalanan itulah yang membuatnya memiliki ketertarikan lebih dengan kegiatan outdoor, khususnya mendaki gunung.
Tak ingin sembarang mendaki, Caro sempat mempertanyakan soal keamanan sebelum berangkat ke gunung yang terletak di wilayah kabupaten Garut tersebut. Beruntungnya ketika itu, ada yang ahli dalam bidang pendakian di rombongan yang akan berangkat bersamanya.
Meski harus bertarung dengan mood jelek yang datang ketika badan mulai lelah, Caro merasa perjalanan mendaki gunung itu menyenangkan. Bersama kelima orang lainnya Caro merasakan susah dan senangnya bersama-sama. "Ramenya ya karena sama-sama capek, terus ngeluhnya bareng, tapi habis itu rame-rame lagi. Untungnya juga itu ceweknya cuma berdua, yang lainnya cowok, jadi nggak bisa rewel. Habis itu jadi ngerasa seru aja kegiatan camping kayak gitu,' kenang Caro soal pendakian gunung pertamanya di kantor Bintang.com.
Dian Indah Carolina merupakan anggota organisasi mahasiswa pecinta alam di Universitas Parahyangan, kampus tempatnya melanjutkan pendidikan selepas SMA. Pada 2014 lalu, organisasi tersebut mengadakan rekrutmen terbuka untuk program Seven Summits khusus wanita, bernama Women of Indonesia's Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (WISSEMU). Dari 10 orang yang mendaftar, terpilih 4 orang untuk maju dan Caro adalah salah satunya.
Tak pernah ada rencana dalam kepala Caro untuk menjadi seorang pendaki tujuh gunung tertinggi di dunia, bahkan menjadi anggota mahasiswa pecinta alam pun tidak. Bahkan jika diingat bagaimana proses ia mendaftar dulu, semua terjadi karena seorang teman yang mengajaknya 'piknik' ke Papandayan itu.
"Aku ditanyain sama yang ngajak ke Papandayan itu, mau masuk mana? Pas aku jawab Unpar, langsung dibilang sama dia 'oh yaudah cobain aja masuk Mahitala', posisinya waktu itu aku nggak tahu apa-apa, nggak tahu Mahitala." Caro bercerita dengan nada riangnya.
Jalan Menuju Puncak yang Terbuka dengan Sendirinya
Caro merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Ia terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Parahyangan angkatan 2013, di jurusan Hubungan Internasional. Meski tak pernah berencana untuk jadi 'anak gunung', Caro mengaku sangat menikmati aktivitasnya sejak pertama mendaftar.
Waktu berkunjung ke kantor Bintang.com, Caro banyak bercerita tentang kecintaannya pada kegiatan outdoor. Diakuinya kegiatan outdoor tersebut tak terbatas di gunung, di laut atau pun di hutan. Ia akan senang berada di alam terbuka mana pun, selama ia tidak harus berlama-lama di dalam ruangan.
"Aku masih punya satu keinginan berkaitan dengan kegiatan outdoor itu yang belum kesampaian, aku pengin sky dive atau bungee jumping. Bungee jumping aja aku belum pernah, karena ya biasa lah orang tua, khawatir," ungkap Caro, sesaat sebelum memulai sesi interview.
Kenapa waktu itu daftar ke organisasi pecinta alam?
"Waktu dijelasin soal Mahitala itu apa, kan sempat dibilang kalau mereka waktu itu ngadain program Seven Summits, lalu pas dijelasin tentang Seven Summits itu apa, aku ngerasa pas banget! Aku tuh suka banget, aku punya mimpi bisa jalan-jalan keliling dunia. Jadi aku pikir Mahitala ini menarik."
Waktu awal-awal jadi anggota mapala itu apakah ada perasaan kaget atau kesusahan saat mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat)-nya?
"Iya, sih, soalnya beda banget dari pengalaman pertama aku naik Papandayan. Di mapala ini detail banget. Kalau kesusahan, ya biasalah diklat pasti dibuat berat kan."
Ada pengalaman tidak menyenangkan saat diklat?
"Nggak ada, senior-senior aku menekankan soal mental itu lewat omongan. Aku juga lebih banyak belajar soal mental itu karena ngeliat teman-teman yang lain. Waktu diklat itu kelihatan yang cepat ngeluh, sementara aku sendiri berjanji dalam hati nggak mau ngeluh dan nyusahin orang lain."
Lalu gimana awal mulanya ikut program WISSEMU itu?
"Sebenarnya nggak sengaja. Aku kan daftar 2013, aku juga nggak tahu mereka punya program Seven Summits khusus buat cewek-cewek, open recruitment sendiri baru di 2014. Beres diklat, aku daftar bareng 10 orang lainnya, eh lolos terus, akhirnya yang berangkat berempat."
Caro dan ketiga orang lainnya memulai perjalanan mereka mendaki tujuh gunung itu pada 2016 lalu. Hingga artikel ini ditayangkan, tim WISSEMU sendiri sudah mencapai puncak keenam yakni Denali, Alaska. Sayangnya, Caro tidak lagi ikut bersama timnya tersebut.
Tim WISSEMU mencapai puncak lengkap berempat hanya di Jayawijaya, Papua. Selanjutnya, salah satu rekan mereka mengundurkan diri. Gunung kedua, ketiga, dan keempat mereka dari bertiga. Namun di gunung keempat, yakni di gunung Aconcagua, Argentina, Caro sendiri tidak berhasil mencapai puncak karena suatu kondisi medis mengganggu tubuhnya.
Pendakian Bertaruh Nyawa Dihadapi dengan Sikap dan Pikiran Positif
Tubuh manusia harus selalu bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Bagi para pendaki seperti Caro dan teman-temannya, disertai dengan latihan khusus dan perlengkapan teknis yang matang, mereka dipersiapkan untuk cepat beradaptasi dengan medan yang berat, terutama karena gunung yang mereka daki merupakan gunung es. Selain dengan ketinggian, mereka harus menyesuaikan diri dengan cuaca dan suhu dingin yang ekstrem.
Tentu saja, Caro dan ketiga temannya sudah siap untuk itu semua. Namun rupanya Aconcagua ini berbeda bagi Caro. Tubuhnya gagal beradaptasi hingga ia terpaksa menghentikan pendakian dan kembali ke basecamp.
Apa yang terjadi sebelum kamu sakit? Apa penyebabnya?
"Sebenarnya kalau teknis, kami sudah jalanin sesuai prosedur. Kami bertiga ini sama, kok. Makannya sama, minumnya sama, istirahatnya sama. Aconcagua ini memang medan yang cukup berbahaya, di sana sepanjang perjalanan itu kita ketemu dokter dua kali untuk cek fisik, dan keduanya bilang OK. Ya sudah kita pede, dong. Lalu aku mulai ngerasa pusing, tapi yang lain juga pusing makanya aku pikir biasa aja. Di hari pendakian itu, kita berangkat subuh, nah ternyata di situ aku mulai melambat, lebih lambat dari yang lain. Aku nggak tahu apa yang terjadi, pokoknya aku nggak bisa lanjut karena aku akan ganggu mereka. Akhirnya aku berhenti di ketinggian 6200 atau 6300 mdpl. Dibawa ke camp 3, istirahat di sana, nginep sehari, tapi besoknya malah makin nge-drop, padahal seharusnya tuh membaik. Sempat bingung dan kesal badannya nggak bisa digerakin. Jalannya susah, jatuh-jatuh. Udah makin capek, akhirnya ada heli terus aku dibawa turun."
Apa yang kamu rasakan ketika terpaksa menghentikan pendakian itu?
"Waktu baru-baru mau dibawa turun itu aku nangis, sih, puncak sedihnya itu di situ. Karena udah tahu nggak bakal bisa lanjut lagi ke gunung lainnya. Kecewa pasti ada, banyak banget yang nanya kayak gitu. Tapi gimana ya, ini mungkin memang mimpi besar pada awalnya, tapi ngapain disesalin terus? Mungkin memang bukan jalannnya, positive thinking aja."
Masih dengan nada riangnya, Caro bercerita tentang banyaknya teman-teman yang turut menyesali kegagalannya tersebut, namun ia sendiri mengaku tak ambil pusing. Mojang asli Bandung kelahiran Juni 1995 ini tetap bersemangat dan mendukung kedua temannya melanjutkan perjalanan mereka. Padahal penyakit yang menyerangnya dan membuat perjalanannya terhenti di Argentina itu merupakan kondisi yang sangat serius. Ia bahkan sempat menjalani operasi besar di kepala dan butuh proses pemulihan yang cukup lama sebelum kembali ke Indonesia.
Bukan rahasia lagi, bahwa kegiatan mendaki gunung itu mampu membentuk mental dan fisik seseorang menjadi kuat. Caro mendapatkan itu selama beberapa tahun fokus di organisasi mapala kampusnya. Kuat fisik, sudah pasti. Selain itu, ia juga menjadi pribadi yang lebih penyabar dan lebih banyak bersyukur.
Kini, ia memilih untuk konsentrasi menyelesaikan kuliahnya dan vakum sementara dari kegiatan di mapala. Namun doa dan dukungan untuk kedua temannya yang masih berjuang melanjutkan pendakian, Mathilda Dwi dan Fransiska Dimitri terus diberikan. "Semoga mereka bisa menyelesaikan rangkaian seven summits ini dengan aman dan selamat," katanya.
Rasa cinta Caro terhadap alam bebas tetap tak teredam meski ia belum lagi menjajaki kakinya di ketinggian. Puncak gunung tak bisa didaki, masih ada laut yang bisa diselami! Ya, Caro mengekspresikan kecintaannya pada alam bebas dengan belajar diving.
Dian Indah Carolina masih punya segudang cita-cita. Di antaranya, tentu berkeliling dunia. Di samping itu, ia juga menyimpan sedikit asa untuk Indonesia, "Saya harap ke depannya warga Indonesia lebih mencintai lingkungannya sendiri, karena perjalanan saya ke gunung luar nggak pernah seseru pendakian di gunung hutan tropis Indonesia," ujarnya. "Mulailah dari diri sendiri, beretika baiklah dalam melakukan perjalanan alam. Peace and love," tutup Caro mengakhiri sesi wawancara dengan Bintang.com. Semoga kisah sukses perjalanan Caro menginspirasi.