Fimela.com, Jakarta Tenun tradisional tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Tenun tradisional dapat ditemui di hampir semua daerah di Indonesia dan diproduksi dengan berbagai teknik, seperti songket, ikat, lurik dan lain-lain.
Para penenun kebanyakan adalah wanita kurang mampu yang merupakan anggota kelompok etnik di daerah, yang melestarikan pengetahuan tradisionalnya. Untuk lebih mengembangkan sektor ini dan mendukung pelaksanaan tujuan pembangunan berkelanjutan 12 (SDG 12) mengenai Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan program SWITCH Asia Konsumsi dan Produski Berkelanjutan Tenun Tradisional.
Yang bekerja sama dengan Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan, Kementrian Lingkungan dan Kehutanan (Pusanlinghut KLHK) menyusun dokumen strategi konsumsi dan produksi berkelanjutan untuk sektor tenun tradisional Indonesia. Dari release yang diterima dalam proses penyusunannya dokumen strategi ini telah dikonsultasikan dan mendapat masukan dari para pemangku kepentingan yang terdiri dari institusi pemerintah, sektor swasta, akademisi, asosiasi, organisasi masyarakat dan perwakilan perajin tenun.
Penyusunan dokumentasi strategi ini merupakan bagian dari pelaksanaan program SWITCH Asia Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan Tenun Tradisional yang didanai Uni Eropa dan dilaksanakan oleh HIVOS, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Cita Tenun Indonesia (CTI dan Non Timber Forest Product Exchange (NTFP EP).
Program ini bermitra dengan 4.332 perajin tenun tradisional Indonesia di 27 kabupaten dan 12 provinsi di Indonesia. Hasil produk tenun ramah lingkungan tidak hanya menghasilkan produk fashion yang dikembangkan oleh para desainer, namun juga disulap menjadi produk furniture seperti bangku, meja, hingga aksesoris furniture lainnya. Jadi, selain melestarikan tenun, produk ini juga bisa membantu perekonomian masyarakat.