Fimela.com, Jakarta Di bulan Ramadan ini, biasanya layar kaca banyak dipenuhi progam bernuansa religi, termasuk sinetron religi. Selain di layar kaca, di layar, film layar lebar juga cukup banyak yang bertema religi. Bahkan untuk film bukan hanya di bulan puasa saja. Film bertema religi mulai booming sejak kesuksesan Ayat-Ayat Cinta di tahun 2008.
Film produksi MD Pictures itu seperti menjadi pemicu dibuatnya sejumlah film dengan tema serupa. Film drama atau kisah percintaan yang dibalut dengan nuansa religi. Sebagai negara dengan mayoritas muslim, wajar saja kalau film dengan genre atau formula tersebut banyak dibuat dan bisa laris di pasaran. Tapi tema religi di perfilman Indonesia sudah dibuat sejak lama.
Saya kurang tahu pasti film Indonesia pertama yang bertemakan religi atau tepatnya bernuansa agama Islam. Mungkin salah satunya adalah Al Kautsar di tahun 1977. Film yang dibintangi WS Rendra itu disutradarai oleh Chaerul Umam. Setelah Al Kautsar, mendiang Chaerul Umam masih menelurkan sejumlah film bernuansa religi.
Bukan hanya film religi, sineas kelahiran Tegal ini juga handal membuat film komedi seperti Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Bintang Kejora, Keluarga Markum dan Joe Turun ke Desa. Sedangkan film bernuansa religi yang pernah digarapnya antara lain, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Nada dan Dakwah, Fatahillah, Ketika Cinta Bertasbih dan Cinta Suci Zahrana.
Saya sendiri paling tertarik dengan film Titian Serambut Dibelah Tujuh yang dirilis pada 1982. Saya pertama kali menyaksikan film ini saat ditayangkan di salah satu televisi swasta di era 90-an. Yang paling menarik perhatian dari film adalah gambarnya yang bernuansa muram, gloomy dan selalu ada nuansa kabut di tiap adegan. Tapi yang lebih utama, ceritanya menarik, penuh makna dan inspiratif.
Tak usah heran karena skenarionya ditulis oleh mendiang Asrul Sani, salah satu penulis skenario terbaik yang pernah dimiliki negeri ini. Kebetulan, film ini meraih satu Piala Citra di ajang FFI 1983 yang tentunya diraih oleh Asrul Sani di kategori Skenario Asli Terbaik. Saya sendiri pernah menuliskan kalau El Manik yang menjadi pemeran utamanya, tertarik mempelajari dan kemudian memeluk agama Islam setelah bermain di film ini.
Seperti dilansir dari blog KH Mustofa Bisri alias Gus Mus, El Manik dalam salah satu adegan harus membaca ayat Kursi. El Manik yang waktu itu masih non-muslim butuh waktu sekitar dua minggu untuk bisa membaca dan menghafal ayat Kursi tersebut. Ia pun harus take selama 12 kali untuk adegan membaca ayat Kursi.
Film ini sendiri menceritkan tentang seorang guru agama bernama Ibrahim yang datang dan berusaha membawa perubahan di sebuah kampung, namun tidak disukai oleh penduduk. Mereka kemudian berusaha menyingkirkannya dengan tuduhan usaha pemerkosaan terhadap seorang gadis.
Sementara itu, seorang warga yang dianggap alim menuduh seorang gadis muda sebagai tidak bermoral setelah gadis itu menolak rayuannya. Seorang ustadz pengembara yang sedang mengunjungi desa itu kemudian berusaha mengungkap kemunafikan masyarakat kampung tersebut.
Setting ceritanya memang di sebuah desa terpencil, tapi esensi kejadian di desa tersebut bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Bahkan kalau menurut saya, meski termasuk film klasik tapi cerita dari film ini seperti sedikit menggambarkan situasi Indonesia saat ini. Masih dilansir dari blog Gus Mus, Inti cerita dalam film tersebut masih sangat relevan dengan situasi saat ini, dimana para ulama banyak yang dekat dengan pejabat (umaro) sehingga rentan menjadi ulama hipokrit atau munafik.
Bagai Layang-layang Putus
Yang menarik lagi, tokoh ulama terkemuka di film tersebut, Ustadz Sulaiman (diperankan Rachmat Hidayat), juga sudah dianggap sebagai pemimpin. Apa yang dikatakan oleh sang ustadz pasti diikuti dan diiyakan oleh masyarakat, tak ada yang berani membantahnya. Sikapnya keras dan bahkan agak kasar. Itu terlihat saat dia mengajar anak-anak mengaji. Kalau ada dianggap salah, dia tak segan-segan memberi hukuman fisik, termasuk memukul tangan anak asuhannya sampai kesakitan.
Nada suaranya juga selalu keras pada anak didiknya. Tapi di sisi lain, Sulaiman seperti tak berdaya menghadapi orang terkaya di kampungnya yang suka berjudi. Ia bahkan diam saja melihat perbuatan orang kaya itu yang suka bertindak semena-mena. Sulaiman juga diam saja melihat seorang gadis keterbelakangan mental ramai-ramai dibawa penduduk desa untuk dipasung karena dianggap gila, dirasuki setan dan bisa membahayakan orang lain.
Padahal di gadis jadi korban fitnah Arsad, seorang pria yang dianggap alim tapi sebenarnya bermoral bejat. Menurut Sulaiman, ia bukan urusannya karena tugasnya hanya mengajarka agama pada penduduk desa. Sulaiman juga meminta Ibrahim (El Manik) agar tak mengurusi urusan para penduduk. Ibrahim sendiri punya gaya mengajar yang berbeda dari Sulaiman.
Ibrahim lebih mengutamakan empati dan kasih sayang dalam mengajar. Para penduduk desa itu sendiri, seperti dikatakan sebelumnya, bagaikan layang-layang lepas. Mereka gampang terpengaruh oleh hasutan orang lain terutama orang terpandang di kampung tersebut. Apapun yang dikatakan orang terpandang di kampung tersebut, pasti mereka ikuti tanpa banyak tanya tanpa berusaha memastikan apakah tindakan itu salah atau tidak.
Setuju atau tidak, kalau menurut saya cerita di film cukup relevan dengan situasi Indonesia saat ini. Banyak yang mudah terpengaruh dengan berbagai isu yang masih diragukan kebenarannya, banyak orang difitnah seperti dialami Halimah gadis keterbelakangan mental yang dituduh berzina padahal ia tidak melakukannya.
Lalu tokoh ulama seperti ustadz Sulaiman justru menjelek-jelekkan Halimah tanpa pernah bertanya padanya apakah dia benar-benar melakukan zina. Bahkan Ibrahim juga sempat terkena fitnah yang membuatnya nyaris kehilangan nyawanya. Yang dialami Ibrahim mirip dengan kisah nabi Yusuf.
Untungnya, semua kekeliruan yang terjadi di kampung tersebut bisa terselesaikan. Mana yang benar dan mana yang salah akhirnya terungkap dan para penduduk kampung termasuk ustadz Sulaiman menyadari kekeliruan mereka selama ini. Saya juga berharap hal seperti itu terjadi di negeri kita tercinta.
Mudah-mudahan kita tak seperti layang-layang putus yang gampang terombang-ambing dan dipengaruhi orang lain. Sebagai penggemar film, saya juga berharap akan ada lagi film religi berkualitas dan tak lekang oleh waktu seperti Titian Serambut Dibelah Tujuh. Bukan hanya film religi yang dibungkus kisah percintaan, poligami dan melodrama lainnya. Hidup film Indonesia!