Fimela.com, Jakarta Putus cinta selalu menyisakan luka. Walaupun sedikit, tapi luka itu akan tetap ada. Karenanya, kebenaran istilah 'putus baik-baik' seringkali dipertanyakan. Kalau masih baik-baik, kenapa putus? Sama halnya dengan 'mantan terindah', kalau indah kenapa jadi mantan?
Jadi sebenarnya, putus baik-baik itu ada nggak, sih?
Menjaga hubungan agar tetap baik-baik saja itu butuh usaha yang tak mudah. Bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali, setiap hari. Kalau sampai hubungan itu berakhir, berarti ada yang nggak baik tentang hubungan itu.
Ya, sedikit penjelasan di atas tentang kontradiksi dari istilah 'putus baik-baik' memang benar. Tapi, jangan buru-buru mengambil kesimpulan, 'putus baik-baik' itu juga bisa terjadi, lho!
Tentu kamu pernah tahu, kan, putus cinta yang seringkali diakhiri dengan drama berlarut-larut? Atau putus yang dilakukan sepihak dan tanpa adanya komunikasi yang berlangsung dua arah, saat membahas hal tersebut. Perilaku semacam itu membuatmu seolah meniadakan peran dan hak pasanganmu dalam hubungan yang kamu jalani, dan itu bukan lah hal yang baik bagi hubungan.
Lalu seperti apa putus yang baik-baik? Berikut penjelasannya:
1. Putus yang memiliki alasan jelas dan telah dipertimbangkan baik-baik, bukan karena emosi atau ego sejenak. Maksudnya ketika kamu memilih putus, maka itu sudah melalui pertimbangan panjang. Kamu telah memikirkan dengan matang kenapa kamu ingin putus, juga mempertimbangkan bagaimana kamu harus mengatakannya. Kamu pun memilih waktu yang tepat untuk mengungkapkan keinginanmu. Semuanya serba berhati-hati, karena pilihanmu untuk putus diambil bukan karena sekadar emosi atau ego sejenak.
2. Putus yang tanpa drama. Putus dengan baik-baik atau nggak-nya mantan pasangan, semestinya dapat dengan mudah terlihat dari ada atau nggak drama setelah hubungan itu berakhir. Kalau mereka adem ayem saja seperti nggak ada apa-apa, hanya memang nggak pernah lagi terlihat bersama, kemungkinan mereka putus secara baik-baik. Sebaliknya kalau banyak drama, sepertinya masih ada yang mengganjal di antara mereka dan membuat putusnya terasa nggak nyaman.
3. Putus yang diungkapkan dengan dasar kejujuran. Putus baik-baik bukan berarti berpura-pura baik untuk menutupi kebobrokan dalam hubungan. Putus baik-baik itu, mengatakannya dengan alasan yang jujur, sejujur-jujurnya. 'Baik-baik' di sini lebih ke cara penyampaian, bukan alasan yang disampaikan. Sebab kalau alasan putus, sebaik apapun itu akan tetap menyakitkan.
4. Putus yang realistis terhadap keadaan. Putus ya putus saja, bukan putus yang bertele-tele, berharap masih bisa berteman, masih mencoba beri perhatian, mengatur-atur kehidupan si dia, dan lain sebagainya. No, itu nggak realistis. Walaupun kamu berhasil putus baik-baik, putus tetap saja putus. Bukan berarti kamu masih bisa saling memberi perhatian seperti saat masih jadi pacar.
Nah, sekarang, sudah terbayang bagaimana putus baik-baik itu terjadi dalam kehidupan nyata?