Fimela.com, Jakarta Ada sejumlah kalangan yang mengatakan kalau perfilman Indonesia perlu waktu 50 tahun untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain, terutama Hollywood. Namun hal itu dibantah oleh aktor, sineas sekaligus tokoh perfilman Indonesia, Tino Saroengallo.
Pendapat itu dikemukakan oleh Tino sebagai salah seorang pembicara di acara Dialog Perfilman dengan tema ‘Kearifan Lokal Sebagai Kekuatan Film Indonesia di Tengah Penetrasi Budaya Asing’. Diskusi tersebut merupakan kerjasama Pusat Pengembangan Perfilman dengan Forum Wartawan Hiburan Indonesia (FORWAN) dan digelar di Hotel Santika Premiere, Slipi, Jakarta Barat, pada 24 Mei 2017.
“Saya berani mengatakan itu pendapat yang tidak tepat. Perfilman kita sekarang sudah maju. Ada banyak film yang bisa sampai ke festival internasional dan laris di luar negeri,” tutur Tino. “Kita tak kalah kreatif dari Hollywood atau negara lain, begitu juga dalam hal SDM. Sayangnya kita masih kalah jumlah SDM dan juga soal dana, beda jauh sama Hollywood yang memang film sudah jadi industri besar bagi mereka. Dua hal itu harus terus kita tingkatkan,” lanjut Tino Saroengallo.
Sedangkan soal kearifan lokal, menurut Tino, juga sudah banyak dimuat dalam film-film Indonesia produksi dulu maupun sekarang ini. Bahkan film nasional sekarang sudah banyak yang memakai bahasa daerah dalam produksi sebuah film, bukan sekedar selipan atau petikan saja. Menurut Tino, contohnya adalah film Turah yang seluruh dialognya mempergunakan bahasa Jawa Ngapak atau Tegal.
Film lainnya adalah Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak karya Mouly Surya yang baru saja diputar di Cannes Film Festival 2017. Film yang dibintangi Marsha Timothy ini mengangkat budaya kekerasan di Sumba Barat yang patut diacungi jempol dan mendapat banyal pujian.
“Jangankan masyarakat di luar negeri, masyarakat kita saja mungkin belum banyak yang tahu kalau budaya kekerasan ala parang sebagai senjata yang dibawa sehari-hari masih berlaku di Sumba Barat,” tutur Tino. Hal senada juga dikatakan oleh Maman Wijaya selaku Kepala Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Menurut Maman, nilai kearifan lokal di film Indonesia banyak yang memenangkan penghargaan di ajang internasional.
Termasuk film Ziarah yang mendapat penghargaan Best Screenplay & Special Jury Award - ASEAN International Film Festival & Awards (AIFFA). Dalam kesempatan yang sama, anggota Forum Wartawan Hiburan Indonesia (FORWAN) Ahmad Syekhu menyampaikan kalau kearifan lokal lainnya yang bisa dimasukkan dalam film Indonesia adalah dengan mengeksplorasi kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Ada banyak tempat indah di Indonesia yang dapat digunakan sebagai lokasi syuting. Untuk hal ini peran pemerintah sangat diperlukan terutama dalam memfasilitasi berbagai perijinan sehingga produksi film bisa berjalan dengan lancar. Sedangkan produser film dokumenter Cerita Dari Tapal Batas, Ichwan Persada memaparkan bahwa dengan keragaman dan kekayaan budaya yang kita miliki tak harus (merasa) menjadi bangsa yang kalah.
Kepala Bidang Perizinan dan Pengendalian Perfilman Pusat Pengembangan Perfilman Kemendikbud, Kholid Fathoni sebagai panitia penyelenggara berharap agar pelaku perfilman terus memasukkan nilai-nilai kearifan lokal di dalam film-film nasional. Dengan begitu film Indonesia selalu punya karakter kuat dan bisa jadi pembeda sekaligus keunggulan dari film produksi negara lain.