Fimela.com, Jakarta Jika mendengar nama The Dance Company, yang pertama ada di benak penggemar musik Indonesia mungkin adalah lagu Papa Rock n Roll. Ya, selain menjadi single pertama mereka di tahun 2009, ungkapan 'Rockstar yang sayang istri' yang terdapat di lagu tersebut sepertinya memang menggambarkan kepribadian dari masing-masing personelnya.
***
Memang, keempat personel The Dance Company yaitu Ariyo Wahab (vokal), Baim (Gitar), Pongki Barata (Bass), dan Nugie (Drum) sudah terlebih dahulu menyandang status rockstar lewat jalannya masing-masing sebelum bergabung menjadi sebuah band. Dan, dikatakan sayang istri, karena sebagian besar lagu mereka di The Dance Company memang sengaja dibuat sebagai ungkapan cinta terhadap keluarga, termasuk para istri.
Sudah memiliki tiga album secara total sejak berdiri di tahun 2007, The Dance Company kembali mengeluarkan karyanya di 2017 ini. Setelah merilis single Dance With You, mereka baru saja memperkenalkan single Foto beberapa waktu lalu.
Lagi-lagi, dikatakan Ariyo Wahab (Riyo), lagu berjudul Foto merupakan curahan bentuk cinta para personelnya terhadap keluarga. Lewat lagu ini The Dance Company ingin menikmati peran sebagai rocker sekaligus family man yang bisa bersenang-senang di panggung.
"Kita hanya melakukan hal-hal romantis untuk istri, salah satunya seperti itu (lagu Foto). Jaman sekarang saat semua sudah nyimpan foto di gadget, kita masih lakukan hal-hal yang kuno (simpan foto di dompet)," ucap Riyo saat berbincang dengan Bintang.com beberapa waktu lalu.
Lantas, bagaimana The Dance Company memaknai musik yang mereka usung di karya terbarunya tersebut? Termasuk kiat empat rockstar dengan berbagai ide gila yang ada di kepalanya menjaga kokompakan, berikut Bintang.com mengupasnya secara mendalam lewat sebuah wawancara eksklusif bersama empat personelnya.
What's On Fimela
powered by
Dedikasikan Musiknya untuk Keluarga
Memasuki tahun 2017, The Dance Company membuktikan jika musik senang-senang yang mereka usung masih tetap aktif. Setidaknya, sampai pertengahan tahun, mereka sudah merilis dua single yang nantinya akan masuk di album yang berjudul Keliling Dunia.
Sekian lama vakum, akhirnya The Dance Company muncul lagi di 2017, bisa diceritain mengenai karya kalian di tahun ini?
Pongki: The Dance Company itu sudah malang melintang dari 2009, album pertamanya yang lagunya Papa Rock n Roll, album kedua 2012, dan sampai 2017 ada 5 tahun gap kosong albumnya, akhirnya kita keluarin single. Single pertama Februari kemarin judulnya Dance With You, di radio lumayan lah kemarin. Nah sekarang single kedua itu judulnya Foto, ternyata lebih seru ya. Mungkin yang denger kangen kali dengan bunyi The Dance Company yang seperti itu.
Lagu Foto katanya ungkapan cinta kalian untuk istri dan keluarga, mungkin bisa diceritain mulai dari ide proses pembuatannya?
Pongki: Kalau liriknya memang kita mencari satu tema yang bisa mewakili kata trust, sesuatu yang klasik, jadi kaya nyimpan poto di dompet untuk sekarang kan aneh tuh, tapi somehow kita masih melakukan itu.
Baim: Tema lagu Foto memang pertama kali dicetuskan oleh Pongki. Disitu akhirnya berkembang karena kalau kita lihat lirik-lirik The Dance Company harus jujur, yaitu disekitar kita aja. Kemarin Papa Rock n Roll memang begitu kehidupan kita kemarin. Jadi untuk Foto ini memang sesuai yang kita punya aja.
Setelah kemarin EDM, sekarang balik lagi ke Rock n Roll, kenapa?
Pongki: Sederhana sebenarnya, kita selalu berusaha mencari tema atau musik yang pas buat kita, itu dulu. Kita udah coba berbagai macam gaya dan disingle sebelumnya yang judulnya Dance With You kita coba gaya EDM. Kemudian di Foto kita kayak kembali ke akarnya kita, ada rocknya, ada popnya. Melodinya pop tapi musiknya rock, ada punknya dikit, to the point gitu. Tapi vokalnya tetep digarap ada pecahan suaranya.
Baim: Dan untuk musik yaa seperti ini. Kita orangnya nggak mau yang rame-rame. Termasuk mas Nugie waktu itu sempet input di musik nggak usah pake yang aneh-aneh karena konsep kita jadi kayak trio kan sebenarnya, gitar, drum, bass. Ya akhirnya lagu Foto ini memang lagu yang paling Rock n Roll dari kita, kalau kita manggung yaa kayak gitu nanti.
Nugie: Kalau aku fikir berbuat sesuatu dengan musik di The Dance Company itu sesuatu yang nggak boleh direkayasa dan nggak boleh pakai siasat. Yang aku jalanin dengan teman-teman dari awal itu yaa kita nggak pernah harus gini gitu. Ini album yang akan keluar, Keliling Dunia ini kontennya ada lima lagu, kita keluarin satu-satu yang semuanya murni hasil lima tahun kita 'bertapa' untuk nyari sesuatu. Kalaupun nanti bisa dijual atau tidak yaa kita percaya aja kalau yang kita lakuin itu seneng-seneng doang dari awal sampe akhir, asli.
Jadi benar lagu Foto itu memang ungkapan cinta kalian dengan memajang foto istri di dalam dompet?
Baim: Sebenernya memang tema lagu Foto ini lagu yang menceritakan istri kita sih. Kayaknya nggak ada band lain yang bercerita tentang istrinya, album pertama pun kita seperti itu.
Ariyo: Kalau misalnya kita bikin lirik soal istri ya memang kita pengen buat yang seperti itu. Kita dari dulu berantemnya udah, susah-susahnya udah, yaudah sekarang happy-happy-nya aja.
Pesan untuk istri seperti apa yang ingin kalian sampaikan di lagu Foto?
Pongki: Pesannya bahwa dari liriknya aja, 'Satu dunia pun tau siapa yang nomor satu'. Jadi trust, please trust us. 'Dari dulu sampai sekarang, dari pacaran, menikah dan punya keluarga selama belasan tahun ini yaa cuma elu. Elu yang gua cinta, gua sayang, percayalah itu sayang'. Cuma kalau kalimatnya, 'percayalah kasih' kan semua orang udah bikin. Kita bikin angle-nya dari Foto, 'buktinya foto dari jaman pacaran masih ada di dompet'. jadi percaya lah sama kita.
Baim: Sebenernya Foto itu Pongki juga udah cerita kalau lebih ke trust, jadi kalau misalnya diaplikasiin ke remaja masa kini yang penuh dengan gadget, yaa sebenernya lucu juga kalau kalian coba buat sebuah foto di tempat percetakan terus disimpan gitu di dompet, artinya kamu memberikan suatu kepercayaan sama pacar bahwa, 'nih gua simpen satu foto'. Kalo handphone kan bisa banyak. Jadi ini memang lebih ke personal kalau kita sampai menaruh satu foto dalam dompet, artinya itu spesial banget orang itu.
Beberapa kali The Dance Company bikin single tentang keluarga kalian, apa ada alasan khusus?
Pongki: Kita bikin lagu yang buat kita seneng ngomonginnya. Kayak Papa Rock n Roll itu waktu kita bikin itu memang kita lagi seminggu di Bali, nggak dibuat-buat. Yang Foto juga memang kita nyimpan foto, berarti dasarnya itu di love, cuma sudut pandangnya kan seorang ayah pada anak atau suami pada istri.
Nugie: Kalau misalnya tema lagu di The Dance Company itu sepertinya setelah saya denger dari album pertama sampai sekarang itu yang aman untuk semua kalangan. Kita nggak bisa naruh kata-kata yang gitu deh (kasar), nggak pernah. Sampai sekarang anak saya nanyikan Papa Rock n Roll nggak ada yang marah kan? itu yang saya seneng dari The Dance Company.
Beberapa band seperti The Beatles atau Aerosmith pernah bikin lagu tentang kritikan, apa The Dance Company kepikiran buat bikin lagu seperti itu?
Baim: Kayaknya buat tema bhineka tunggal ika deh hahaha.
Nugie: Kalau misalnya itu kesepakatannya senang-senang mungkin bakal terjadi. Tapi kalau misalnya cuma dari saya terus saya paksakan pasti nggak akan pernah terjadi. Yang pasti empat-empatnya (personel) ini harus sama-sama menyatakan senang, yaudah pasti jadi. Aerosmith atau The Beatles pun saya rasa begitu waktu bikin lagu itu.
Pongki: Makanya kita lama bikin album itu karena harus sepakat dulu berempat, baru rilis. Kalau nggak nanti jadi ganjalan, jadi kita harus sepakat. Kalo teknis pengerjaan tentunya susah sepakat, tapi kalau tema, konsep harus sepakat karena itu yang akan kita pakai promo sepanjang tahun kan.
Band Senang-senang Ala The Dance Company
Memang, sebelum bergabung dalam The Dance Company, masing-masing personelnya sudah terlebih dahulu suskes sebagai frontman di bandnya masing-masing. Dan, ketika akhirnya sepakat untuk membentuk The Dance Company, baik Nugie, Ariyo Wahab, Pongki Barata dan Baim sepakat jika band tersebut adalah 'arena bersenang-senang' bagi mereka.
Kalian mendeklarasikan diri jika The Dance Company sebagai band senang-senang kalian, apa alasannya?
Nugie: Kalau behind the scene, kalau dengerin kita ngobrol-ngobrol memang ternyata kita sampai hari ini pun nggak pernah memaksakan apapun. Jadwal, konsep, baju, nggak ada. Kita terserah masing-masing karena pada dasarnya semua harus seneng ketika menjalani ini. Dan hampir dipastikan yang kita temui di acara apapun itu pasti kita ketawa, itu artinya kita sampai sekarang memang senang-senang, plus dapat duit, Enak kan? Hahaha
Ariyo: Dan masih banyak kebahagiaan lain, seperti kita ngurus keluarga, ngajak main keluarga bareng-bareng, silaturahmi, itu kan seneng-seneng.
Baim: Jadi band ini lain aplikasinya sama band-band yang ada. Kita bilang beda karena band ini kalau ditawarin tur kita nggak mau ambil kalau tempatnya terlalu jauh. Mending kita ganti ama iklan. Memang kita kenapa bisa seperti ini sekarang karena kita teman dari dulu dan ngapa-ngapain nggak 'serius' harus ngoyo.
Temenan sudah lama, apa masih suka ada konflik diantara personel?
Nugie: Tetap ada konflik, itu biasa tapi nggak jadi sebuah masalah. Dalam band, komunikasi walaupun nggak tatap muka udah bisa ngakak tuh.
Pongki: Kita dengerin vokalis. Kalo kita bertiga ribut, hayo gimana yo?
Ariyo: Kayak kemarin lagu Ku Panggil Namamu, saya sama Nugie mikirnya gitu, ternyata si Baim ini punya pendekatan lain dengan musiknya, akhirnya dibuat slow dengan musik yang nadanya seperti itu. Tadinya gua nggak setuju, cuma Baim menjelaskan kalau kita harus balance kalau buat lagu. (Lagu) Beatnya kan udah banyak, jadi slownya harus ada buat kepentingan segala macam. Yaudah akhirnya ikhlas, yaudah.
Kalau bicara soal genre musik, sebenarnya The Dance Company itu genre musiknya seperti apa?
Pongki: Freedom. Musik kita tuh nggak pernah ada batasannya. Maksudnya Nugie pun musiknya antah berantah, Hahaha. Yang penting semua happy-happy, jadi lagu, udah.
Baim: Memang kita tumbuh dari era 90an, musik-musik rock era itu kita pasti dengerin. Dan kekinian pun kita masih dengerin, jadi kita masih tetap update terus sama musik. Nggak harus ngikutin, tapi kita kepo.
Pongki: Dalam karya kita, contohnya pernah ada perdebatan di lagu Ku Panggil Namamu, itu mas Nugie pesen coba interlude-nya kayak anak jaman sekarang, tapi tiba-tiba baim, 'nggak, aku jangan main kayak anak jaman sekarang'. Justru dengan gaya yang nggak dimainkan sama anak jaman sekarang, jadi maunya tetep classic rock melodies gitu, rock lah. Bukan yang sekarang yang perpaduan sound effect, Baim nggak mau. Dan mas Baim akan tetap stand out sebagai gitaris karena dia nggak mengaplikasikan modern yang sudah dimainkan oleh semua band yang ada sekarang, jadi kita masukin ke sana. Kaya drum juga bisa aja kita pakai drum mesin, tapi nggak, nggak ada trigger, sampling, jadi rock mentah. The Beatles itu mau bikin apa aja terserah dia, nggak ada batasan. Itu kebebasan yang kita ambil dari senior-senior kita.
Kalian musisi yang tumbuh di era 90an, apa ada perbedaan genre dari musik kalian di era tersebut dengan apa yang dimainkan The Dance Company saat ini?
Pongki: Nah ini yang kita nggak pikirin, kita nggak pernah mikir kalau kita harus beda. Mungkin untuk musik 80an atau 90an, anak yang lahir tahun 1997 belum pernah dengar musik jaman itu. Saya pernah ngobrol sama adik-adik yang dibawah saya, ketika saya kasih tau ada musik namanya Nirvana itu mereka nggak tau. Mereka harus youtube dulu, dan pas mereka denger pasti mereka tau bagusnya dimana. Mungkin kita bisa tularkan ke anak-anak jaman sekarang bahwa musik nggak cuma EDM atau musik-musik jaman sekarang, ada dulu musik yang keren2.
Ariyo: Tapi jangan salah, anak-anak kecil jaman sekarang justru lebih nyari referensi musik ke belakang lagi.
Ngomongin soal musik, kalau boleh tau menurut masing-masing personel, album siapa dan yang mana yang kalian anggap paling sukses di industri musik?
Pongki: Saya paling suka albumnya Sting, Ten Summoner's Tales. Alasannya karena komplit, saya menemukan Sting sisi eksperimental, punk, tapi pop. Nyanyinya pop tapi mainnya eksperimental dari ketukan beatnya, tapi dia sebagai pemain bass tetep ngepunk.
Ariyo: Kalau saya suka albumnya aerosmith yang Nine Lives. Karena dia memasukkan semua unsur dari kebudayaan, bahkan India dimasukin. Dan menurut gua itu album yang paling mentoknya Aerosmith. Setelah itu dia ngeluarin yang EDM segala macam itu nggak masuk.
Baim: Kalau menurut saya album terkeren itu The Dance Company awal, beneran. Album itu yang mempengaruhi hidup gua soalnya. Hahaha. Gua favorit gua dari dulu sampai sekarang tetep adalah dua, White album The Beatles dan Black album Metallica. Hitam putih itu emang keren banget menurut saya. Di era 60an Beatles buat album White, album itu dari popnya ada sampai yang ngaconya juga ada di album itu. Namun akhirnya di era 90an, Metallica ngeluarin album Black, sepertinya sih mau ngikutin Beatles juga yaa gambarnya hitam semua. Tapi itu paling keren isinya menurut gua.
Nugie: Kalau saya nggak berubah dari dulu cuma satu album itu, yaitu Pearl Jam, album Ten yang menurut saya bikin saya jadi seperti sekarang ini. Kalau dia nggak bikin album Ten, mungkin saya nggak ngeluarin album solo dan akhirnya berkiblat ke arah yang seperti itu. Karena dari liriknya yang mereka sampein ada marahnya, ada kontemplasinya, aransemen musiknya yang liar. Dan buat saya sampai sekarang belum ada gantinya album itu.
Oiya sebagai band senang-senang, apa kalian tetap punya mimpi untuk bikin konser tunggal?
Baim: The Dance Company ini adalah kumpulan empat orang yang legend, kata orang hahaha. Mungkin benar karena kita mengawali karir musik dari 90an dan sampai sekarang masih hidup, orangnya dan karyanya. Kalau kita manggung banyak yang ngomong kenapa nggak buat hits-hits kalian yang dulu dijadiin satu? Oiya kenapa nggak kita buat ya. Dan kalau kita ditanya mau buat konser tunggal, sebenernya mau-mau aja kalau ada budget yang pas dan segala sesuatu yang sesuai sama yg kita mau. Kalau nggak yaa biasa aja.
Pongki: Daripada sembarangan, tajuknya konser tapi kemasannya sembarangan akhirnya kita mending nggak usah. Kalo mau mending yang sekalian bener. Kenapa harus bener, kalau kita ngomongin konser, itu semua udah berubah. Ticketing, harga, tempat, sound, konsep, semua harus istimewa, bukan manggung gigs, jadi memang harus disesuaikan. Kalau semuanya pas ayoo, kalau cuma sekedar demi konser mending nggak usah.
Tergabung menjadi sebuah band, meski masih tetap produktif dalam menghasilkan karya, The Dance Company sudah memiliki prioritas lain ketimbang profit yang dihasilkan. Seperti konsep yang diusung, band senang-senang ini sepertinya akan terus mengedepankan kesenangan, baik dari segi bermusik maupun bersahabat.