Fimela.com, Jakarta Matahari pernah sekali nggak muncul. Hari itu Minggu Wage, 10 Agustus 1986. Tapi kabarnya, surya akan kembali menyengat. Dari barat, bukan timur. Memakan waktu 7 tahun untuk memahami makna matahari yang menghilang dalam cerpen Srengenge karya Seno Gumira Adjidarma. Tulisannya itu sempat dimuat di surta kabar ternama, jauh sebelum saya lahir.
Tapi untungnya, muncul kembali di sebuah buku kumpulan cerpen yang dia tulis, dengan judul Penembak Misterius. Yang ini, terbit tahun 1993, ketika saya masih berumur setahun. Seno dan karyanya yang ini pertama kali dikenalkan oleh guru saya waktu SMA. Kira-kira, tahun 2009, ketika kelas saya punya proyek membedah buku cerpen ini.
Saya baca setiap cerpen di dalamnya. Nggak ngerti. Tapi tugas selamanya akan menjadi tugas kalau nggak pernah dilakukan. Kayak utang saja, kan? Akan selalu menjadi utang kalau belum dibayar. Akhirnya saya baca semuanya, meskipun nggak begitu masuk ke dalam otak. Bosan, bosan. Ternyata ada satu cerpen yang sampai sekarang pun masih terngiang dan terbayang.
Srengenge. Berkisah soal matahari yang tiba-tiba nggak muncul lagi. Baru muncul di kemudian hari, tapi bukan dari timur seperti yang saya bilang tadi. Katanya, kalau matahari muncul dari barat, ini tandanya gawat. Panas neraka bakalan makin terasa dan tentu saja, bikin semua orang cemas luar biasa.
Ceritanya, semua orang yang sedang ada di sebuah pasar mendengar berita ini dari radio. Kubu terbelah menjadi dua, yang percaya dan menentang. Si Orang Gila, namanya Sukab, justru berkhotbah kepada semua orang di pasar untuk cepat-cepat bertobat. Srengenge, yang biasanya orang sebut dengan matahari hilang dan akan terbit dari barat. Ini sudah pasti bencana.
Sukab, si Orang Gila, tentu nggak dipercaya banyak orang. Mereka akhirnya cari kepastian dengan mengejar matahari ke barat. Sampai di ujung jalan, ternyata bukan orang-orang pasar saja yang resah. Tapi mereka yang datang dari segala penjuru telah tiba lebih dulu, menunggu dan mendamba sinar untuk kembali terbit, meskipun dari barat, tapi yang penting terbit!
Srengenge. Dikejar-kejar hingga ke ujung dunia, seakan manusia benar-benar percaya bumi ini datar. Srengenge. Dicari-cari dan terus didambakan, meski tak muncul tanda kebenarannya. Srengenge lama kelamaan wujudnya bukan lagi sinar matahari menyengat. Dia berubah, yang sejak kapan pun, hingga waktu yang tak bisa ditentukan pun, menjadi harapan semua lapisan.
Dulu dan sekarang nggak ada bedanya. Tukang sapu terus mengayun seikat lidi bertangkai panjang, walau nggak ada lagi daun berserak. Bapak-bapak tua kucal berkulit gelap terus mengayuh sepeda ontel. Entah ke barat, atau timur, yang penting menjemput kata 'semoga' berwujud nasi dan telur iris sisa jualan warteg di terminal.
Harapan itu bernama srengenge
Polisi lalu lintas masih saja mengatur perempatan yang penuh dengan barisan motor dan mobil. Menyemprit-nyemprit meski tak ada yang melanggar ketentuan. Dalam hatinya, semoga saja banyaknya tiupan periwitan akan berbanding lurus dengan jumlah nasi bungkus yang akan dibawa pulang malam nanti. Pulang ke baratkah? Ke timurkah? Yang penting ada harapan yang harus terus tumbuh.
Seorang pebisnis yang masih tertahan di perempatan jalan melihat polisi itu. Lewat pula sang kakek dengan ontel bobrok yang butuh oli supaya nggak bunyi ngik-ngak-ngik. Rasa prihatin nggak muncul sama sekali dalam dirinya. Karena yang paling penting adalah 'semoga' yang terus dia lafazkan seperti tasbih. Semoga anak dan isteri nggak marah karena dia pulang terlambat. Semoga persediaan beras dan susu masih tersisa sampai dua minggu ke depan.
Srengenge, apa pun wujudnya, nampaknya bukan cuma milik Seno di masa Orde Baru. Bukan juga milik orang-orang kecil yang tertekan namun tak tahu apa yang akan terjadi besok atau lusa. Proses mencari kepastian pun nggak panjang dan dalam, karena sudah keburu dipotong dengan gelengan kepala. Atau naiknya kedua bahu tanda tak tahu.
Srengenge juga ternyata milik saya yang hilang. Makanya saya bekerja selama 2 tahun dan memaksa untuk menemukan srengenge yang saya inginkan. Mencarinya bukan cuma butuh waktu dan tenaga. Bukan juga di barat dan timur. Srengenge saya, juga srengenge-srengenge milik jutaan orang di pertiwi ini tentu berbeda. Tapi sama-sama harus terus dicari.
Srengenge dulu dan sekarang sama. Ada sebagai harapan. Ada sebagai surya yang sinarnya nampak, tapi nggak mungkin kamu pegang apa lagi simpan. Bersoraklah sekuat-kuatnya dalam hati. Karena terbit dari timur atau barat, masih untung srengenge bisa dikenal. Sinarnya bisa diresapi sambil menunggu di mana pada akhirnya dia muncul, barat atau timur. Nggak penting.
Karla Farhana,
Editor Feed