Editor Says: Tentang Kepantasan Mendapat yang Terbaik

fitriandiani diperbarui 11 Mei 2017, 12:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Apa yang kita dapatkan adalah apa yang sesuai dengan kepantasan kita menerimanya. It’s always equal, dan karena itu pula ada sebuah kesimpulan bahwa pasangan kita adalah cerminan diri kita. Bagaimana kamu melihat pasanganmu? Baik kah? Setia kah? Atau... brengsek?

Bagaimana pun dia, terima saja karena itulah cerminan dirimu. Kalau punya idealisme sendiri mengenai kriteria pasangan, ya terapkan dulu itu di dirimu, biar refleksi di diri pasanganmu juga begitu. Jangan nggak berupaya apa-apa untuk memantaskan diri, tapi punya keinginan setinggi langit. Giliran nggak tercapai, nyalahin orang. Sama seperti anak sekolah yang mau ulangan tapi nggak belajar, mengharap bisa nyontek sama teman. Terus pas nggak dikasih, marahin temannya. Ya, setipe lah sama orang-orang yang kalau ngaca di kuah rawon; selalu lebih dulu mencari apa yang salah di orang lain ketimbang apa yang kurang di diri sendiri.

Lalu bagaimana kalau kita sudah mengatur standar itu di diri sendiri, tapi pasangan kita belum juga menyetarakannya?

Percayalah, Tuhan menyiapkan kita jodoh yang setara. Agar kita nggak perlu susah-susah meninggi, dia pun nggak perlu rela-rela merendah demi kita. Begitu pula jika posisinya berbalik; dia nggak perlu susah-susah meninggi dan kita nggak perlu merendah hanya demi menyamai dia. Intinya ya kalau memang nggak setara, nggak perlu maksa.

Setara di sini bukan semata masalah status sosial maupun finansial, tapi juga pandangan tentang hidup ke depannya serta cara menghargai hari ini. Beberapa di antara kita mungkin hanya perlu disadarkan, di mana level kita seharusnya kita berada, baru kemudian beranjak bersama-sama. Namun ada pula yang ditunggu, diajari, diberi contoh, disadarkan, tapi masih di situ-situ aja. Nah, yang begini yang nggak bisa dipaksakan.

2 dari 2 halaman

Tentang Baik dan Buruk, serta Nilai Kepantasan

Alkisah ada pasangan yang bagaikan langit dan bumi. Bukan cuma tinggi badannya yang menggambarkan kiasan tersebut, tapi juga visi misinya tentang hidup. Yang satu gemar berlari, karena baginya hidup harus terencana, harus punya ambisi biar perjalanan ini punya tujuan. Sementara yang satu lagi maunya jalan santai, prinsipnya, “nggak perlu buru-buru, yang penting sampai tujuan.” Nggak perlu buru-buru dalam arti membiarkan diri terdistraksi dengan pemandangan kanan kiri selama di perjalanan. Ibarat lagi lari maraton, dia mau-mau aja sesekali mampir di warung kopi yang ditemui. Bayangkan betapa sulitnya dua orang tersebut menyelaraskan langkah agar bisa berjalan beriringan.

Nggak ada yang salah dari pasangan tersebut. Hidup berpasangan memang tentang upaya dua individu untuk berjalan beriringan. Dua individu, yang punya keinginan dan caranya sendiri-sendiri dalam memaknai hidup. Kalau memang nggak bisa disamakan ya lebih baik berjalan sendiri-sendiri dari pada membuang banyak energi dengan percuma.

Ada yang patah hati, itu pasti. Ada yang menangis dan menyesali, “kenapa kita nggak bisa memiliki dia selamanya?” itu juga sangat mungkin terjadi. Kadang, kita cuma bisa terima bahwasanya apa yang kita perjuangkan mati-matian itu tetap nggak akan jadi milik kita, selama kita belum layak untuk menerimanya, bisa jadi karena kita jauh lebih baik dari dia, atau karena dia yang terlalu baik untuk kita.

Sama seperti sebuah kota yang baru saja kehilangan ‘pelayan’ terbaiknya. Kota yang dihuni oleh banyak orang yang lebih rela terus menerus hidup merendah dibanding berusaha sedikit lebih keras untuk bisa diajak meninggi.

Kita akan selalu dipasangkan dengan orang yang seperti kita. Kalau kamu ingin terus bersamanya, belajar lah untuk terus menyeiramakan langkah. Entah kamu yang harus berjalan lebih kencang, atau dia yang harus sedikit memelankannya. Begitulah seni hidup berpasangan, dan tentang kepantasan kita mendapat yang terbaik.

Goodluck!

 

 

Salam,

Fitri Andiani

Tag Terkait