Editor Says: Tentang Meneruskan Semangat Kartini

fitriandiani diperbarui 22 Apr 2017, 12:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Masih dalam momen Hari Kartini, rasanya saya ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk berbicara dengan kamu, sebagai sesama wanita, tentang hal-hal yang banyak menyinggung hidup kita, tentang hal-hal yang seringkali jadi masalah kita bersama, juga tentang bahagia yang kita impikan sebagai individu, maupun sebagai segolongan wanita pada umumnya.

Hari Kartini di tahun 2017 ini jatuh pada hari Jumat. Seperti tahun-tahun sebelumnya, banyak kantor-kantor yang mengomandokan karyawannya—khususnya wanita—untuk mengenakan kebaya. Tidak tahu siapa yang memulai tradisi ini, mungkin karena di fotonya beliau mengenakan kebaya? Entah lah, saya merasa tidak perlu terlalu memusingkan kenapa Hari Kartini diindetikkan dengan kebaya. Saya mau positive thinking saja, kebaya itu hanyalah media selebrasi. Sebab jiwa Kartini sesungguhnya terletak di pemikiran, bukan pakaian.

Pemikiran Kartini dahulu lah yang bisa membuat kita, para wanita, ada di tempat kita sekarang ini, memegang gadget, memiliki akses internet untuk mencari informasi dan belajar tentang apapun. Pemikiran Kartini pula yang membuat saya berkesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi dan berkarier. Ya, seperti yang kita semua pelajari di sekolah dahulu, Kartini memperjuangkan hak wanita agar bisa setara dengan pria. Wanita Indonesia kini merdeka.

Pemahaman kita tentang perjuangan Kartini mungkin berbeda. Cara kita mengaplikasikan kemerdekaan ini pun berbeda. Bagi saya pribadi, setidaknya saya bisa manfaatkan privilege ini untuk memilih kebahagiaan saya sendiri, mengejar mimpi-mimpi, juga mewujudkan semua ambisi.

Kita mungkin masih harus berjuang melawan sisa-sisa stigma yang masih menjadi tembok pemisah wanita dengan kemerdekaan dirinya sebagai manusia, tapi bagi yang still have no idea how to fight like Kartini yang banyak menyuarakan pemikirannya hingga didengar dunia, saya rasa kita bisa memulainya dari diri sendiri dan dari lingkungan di sekitar kita—dan inilah yang sering luput; menerapkan semangat Kartini dalam diri sendiri dan lingkup terkecil kita.

Menerapkan Semangat Kartini dalam Kehidupan Sehari-hari

Saya cuma mau mengingatkan, kita ini punya kekuatan yang sama dengan Kartini. Cara menunjukkannya mungkin berbeda, situasinya mungkin berbeda, 'musuh' kita juga mungkin berbeda, tapi saya ulangi; kita punya kekuatan yang sama.

Tak perlu jauh-jauh. Semangat Kartini bisa tercermin dari keberanian para wanita yang berani melarikan diri dari abusive relationship. Lho, kok gitu? Lah iya, kalau pacarmu super duper posesif, pacarmu tidak suportif dan malah mengekangmu untuk melakukan ini itu, tidak menyemangati dan malah mematikan kepercayaan diri, bukan kah itu yang dilawan oleh Kartini zaman dahulu? Bukankah Kartini dahulu berusaha memerdekakan wanita dari kekangan yang serupa—meski tak sama?

Bagaimana bisa kamu merasa harus bertahan dalam kekangan semacam itu setelah kita menjadi wanita yang merdeka?

Saya yang sungguh tak memahami teori feminisme ini juga berusaha menerapkan semangat Kartini dengan sikap menghormati sesama wanita. Memang sederhana, tapi coba lihat di sekitar kita? Berapa banyak wanita yang masih mencela, dan menghakimi wanita lain karena pilihan hidupnya? Seperti ketika suatu hari, saya geram sendiri saat menelusuri kolom ‘Photos of juliaperezz”. Jupe waktu itu baru saja melakukan sesi foto di bangsal rumah sakitnya dengan fotografer ternama, riomotret. Dari atas ranjang perawatan, memang tak banyak yang bisa Jupe lakukan. Saya ingat ada salah satu foto tersebut, di mana Jupe yang telah memulas wajahnya dengan makeup, masih dengan terduduk di ranjang, tersenyum lebar memeluk selimut untuk menutupi bagian depan tubuhnya dan membiarkan hampir seluruh bagian punggungnya polos tertangkap kamera.

Foto tersebut di-repost oleh seorang wanita—yang saya yakin bukan fansnya—dengan caption bernada negatif dan ia menge-tag kembali ke akun Jupe. Jupe yang memang tengah berjuang hidup melawan kanker serviksnya, diminta bertaubat oleh wanita tersebut. Ia diminta menutup aurat, mengingat dirinya sudah sekarat.

Saya tak habis pikir dengan perilaku wanita tersebut. Kalau mau berpikir positif, mungkin saya bisa bilang “maksud wanita tersebut mungkin baik”. Tapi apa, sih, artinya maksud yang baik itu jika tak ditunjukkan dengan cara yang baik? Kenapa harus menghakiminya? Bukankah Jupe lebih butuh dukungan moril dibanding ‘peringatan’ seperti itu?

Itulah yang saya bilang tadi, cara sederhana meneruskan semangat Kartini yang saya mulai dari diri saya sendiri, dengan menghormati sesama wanita. 

Saya juga masih banyak belajar untuk menerapkan dan membiasakan diri dengan hal-hal tersebut. Tapi saya paham betul kesadaran semacam ini harus dipelihara dan terus dikembangkan agar semakin banyak yang bisa dilakukan. Semoga kita semua bisa maju bersama tanpa perlu saling menjatuhkan di perjalanan. Selamat Hari Kartini.