Fimela.com, Jakarta Menyaksikan film Kartini besutan Hanung Bramantyo yang tayang mulai 19 April 2017 membuat saya menangis berkali-kali. Saya tak akan memberikan detail film tiap adegan, jadi jangan kuatir spoiller ya. Tangisan itu karena kisah Kartini bergitu terkait dengan hidup saya dan ibu saya.
Dari sejak kecil, Kartini lekat dengan hari Kartini yang dimeriahkan dengan berbagai acara dengan pakaian adat. Sampai dengan saya membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang dan Panggil Aku Kartini Saja, bayangan saya Kartini adalah sosok perempuan bangsawan Jawa yang elegan. Namun, bayangan itu seketika pudar setelah membaca buku tersebut.
Saya sangat menantikan film Kartini karena ingin melihat sosok hidup, Ngasirah, ibunda Kartini. Perempuan kuat yang saya bayangkan seperti ibu saya. Dan film Kartini memberikan lebih dari bayangan saya.
Besar dari ibu yang menikah pada usia 12 tahun, kisah hidupnya menggema dalam otak sejak kecil. Ibu saya, Suparmi harus merelakan impiannya pudar karena diharuskan menikah usai menamatkan Sekolah Rakyat.
Bukan karena tak mau dan tak mampu sekolah, namun adat mengekang kebebasannya. Jadi saat melihat adegan Kartini dalam pasungan, saya melihat ibu saya terpasung. Tubuhnya tak bisa mengembara lagi, sementara pemikirannya terus mengembara.
Juga adegan ketika Kartini membuat sekolah dengan sabak sebagai alat tulis. Ibu saya dulu sekolah dengan sabak, demikian ceritanya. Dari bayangan, akhirnya saya bisa melihat bentuk sabak saat nonton film Kartini.
Ibu Kartini
Bukan tanpa alasan ketika Pramudya Ananta Toer menulis buku Panggil Aku Kartini Saja. Ya, gelar bangsawan Raden Adjeng bukanlah gelar biasa. Banyak kaum bangsawan rela melakukan apa saja untuk mendapat dan mempertahankan gelar tersebut.
Namun, Kartini tak mau mendapat gelar itu pada awalnya. Pengorbanannya begitu berat. Pertama, dia harus rela terpisah dari ibu kandungnya yang tak bergelar bangsawan. Kedua, dia harus rela mnikah dengan Bupati meskipun dia tak mencintainya.
Untuk mencapai tahap itu, berbagai tata krama harus dipelajari. Merendahkan pandangan di hadapan pria. Padahal, Kartini adalah anak yang tomboi, persis seperti ibu saya.
Melihat kelakukan Kartini, saya kembali ingat ibu saya. Bermain layangan, penasaran nonton bioskop ke kabupaten, hingga ikut berbagai lomba saat Sekolah Rakyat menjadi dongeng hidupnya. Kisah yang tak dilanjutkan karena harus menikah.
Adegan Kartini berusaha menghidupkan pendidikan bagi adik-adiknya dan menggerakan ekonomi masyarakat Jepara membuat saya kembali ingat ibu saya. Keluarga kami tak miskin, namun juga bukan kaya. Tapi Ibu saya bertekad memberi pendidikan kepada lima anaknya untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi kami.
Ibu saya, tak pernah membaca cerita tentang Kartini. Namun, dia hidup dengan pemikiran Kartini. Kartini yang ingin bebas tanpa terkekang adat karena gelar Raden Adjeng. Karena Engkau, Kartini tak suka dipanggil dengan gelarmu, izinkan aku memanggilmu Ibu. Karena setiap perempuan Indonesia, adalah anak batinmu. Anak yang Engkau besarkan dengan cita-cita kesetaraan.
Salam,
Puput Puji Lestari
Redaktur Kanal Film Bintang.com