Editor Says: S2 atau Menikah?

Febriyani Frisca diperbarui 04 Apr 2017, 12:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Bukan. Kamu sedang tidak membaca script iklan produk kecantikan yang sering kamu lihat di televisi itu, kok.

***

Sebagai manusia biasa, setiap memasuki usia baru, pasti ada saja kegalauan yang dirasakan. Terutama buat cewek-cewek yang diburu-buru pertanyaan “kapan menikah?”. Termasuk saya. Namun, ketimbang memikirkan pertanyaan-pertanyaan basa-basi semacam itu, saya lebih cenderung memikirkan, “kapan saya melanjutkan pendidikan S2?”. Kapan?

Belum tau.

Kegalauan melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 rupanya bukan hanya jadi milik saya seorang. Setelah sharing ke beberapa teman, (beruntung) mereka pun merasakan hal yang sama. Kami punya keinginan yang sama untuk sekolah lagi, namun di lain sisi, ada beberapa hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu. 

Saya sendiri memang bukan orang yang ‘gila’ pendidikan, bukan juga orang yang suka ikut-ikutan. Lebih dari itu, saya ingin membuktikan pada diri saya sendiri bahwa saya, yang notabene perempuan, mampu untuk melakukan lebih dari sekadar minta atau menunggu dikawini. ((( ayam kali ah dikawini )))

Tak bisa dimungkiri, stereotip bahwa “sejauh apapun perempuan melangkah, ujung-ujungnya perempuan akan kembali ke dapur dan kasur juga” memang masih sangat kental di Indonesia. Namun, hal itu nggak membuat saya gentar untuk melakukan apa saja yang saya mau dan bisa di masa muda. Sebaliknya, stereotip itu menjadi motivasi saya untuk bisa berkembang lebih jauh.

Jika memang suatu hari nanti ujung-ujungnya saya akan kembali ke dapur dan kasur, saya tidak ingin kembali dengan tangan kosong. Harus ada bekal yang saya bawa ke ‘rumah’ bagi keluarga, meski itu bukan dalam bentuk harta. Saya sadar, menjadi seorang istri dan ibu di zaman semakin edan ini tidaklah mudah.

Pandai memasak, membersihkan rumah atau hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan fisik dan melayani keluarga bukan jadi satu-satunya skill yang harus dimiliki oleh perempuan. Lebih dari itu, mendidik keluarga dan membentuk karakter serta mental yang kuat jadi hal yang lebih penting dari pada itu. Therefore, saya ingin sekolah lagi.

“Jika pendidikan saya tidak berguna bagi masyarakat, setidaknya ia bisa berguna bagi keluarga dan orang-orang tersayang saya nantinya.”

2 dari 2 halaman

Bagaimana jika tidak pernah ada S2?

Namun, hingga kini, saya belum merancang pendidikan S2 dengan jelas. Masih di awang-awang. Belum tahu di mana, tapi saya sudah tahu akan mengambil jurusan apa. Biaya pun belum kelihatan. Sejauh ini, saya masih mengumpulkan bekal dan memantapkan diri, sebelum benar-benar bergelut dengan rentetan SKS dan segudang materi. Ahey!

Melihat pengalaman beberapa orang di sekitar saya yang sedang menjalani pendidikan S2, tampaknya mereka nggak lagi ada kesempatan untuk bersenda gurau lebih lama daripada ketika mereka menjalani S1. Lebih serius aja gitu. Hmm apakah saya yang hobi cengengesan ini akan merasakan hal serupa? Pastinya.

Sedikit flashback ke beberapa tahun lalu ketika saya menjani pendidikan S1. Tuntutan untuk menjalani kuliah setiap mahasiswa itu bermacam-macam. Ada yang mengikuti kemauan orangtua, ada yang ingin menuju cita-cita, ada yang biar terlihat lebih keren dan intelek saja, hingga yang ikut-ikutan teman.

Nah, berbeda dengan teman-teman remaja baru lulus SMA kebanyakan, saya sendiri memilih kuliah pendidikan S1 karena hal yang ternyata sangat sepele, yakni biar ada kegiatan. Sebab, saat itu, saya yang notabene seorang lulusan SMK, belum ingin dan siap untuk memasuki dunia kerja.

Jadi, satu-satunya pilihan yang saya punya adalah minta dikuliahi oleh orangtua saya. Hahaha entah disebut apa, tapi saya benar-benar merasa sangat selo kala itu. Dan benar saja, setiap harinya selama kuliah, saya merasa seperti sedang bermain sambil belajar hahaha.

Bahkan, sampai lulus kuliah pun saya seperti tidak percaya, bagaimana main-mainnya saya di perkuliahan bisa memberi saya nilai lebih untuk melanjutkan hidup ke depannya. Maka, dengan latar belakang saya di S1 yang sangat konyol ini, saya ingin merasakan sekolah yang benar di S2. Hmmm semoga.

“Lantas, bagaimana jika ternyata Tuhan menakdirkan kamu untuk menikah lebih dulu? Atau bahkan tidak akan pernah ada S2 dalam hidupmu?,” tanya seorang teman kepada saya. Ya gimana ya, berbicara tentang takdir Tuhan tentunya tak aka nada yang bisa melawan. Yang jelas, saya percaya bahwa rencana-Nya akan lebih indah dari rencana saya yang nggak seberapa ini. *lanjut marut kelapa*