Fimela.com, Jakarta Memperingati Hari Musik Nasional, pemerintah bersama para musisi pun merayakannya. Mereka berharap musik bisa menjadi bahasa universal untuk perdamaian. Namun, berbanding terbalik dengan keinginan tersebut, karena sekarang ini sebuah karya masih belum bisa diapresiasi sepenuhnya.
Sebut saja pembajakan masih marak belakangan ini. Tak hanya dalam bentuk fisik, namun juga melalui ranah digital. Akibatnya, para musisi dan penyanyi yang hidup dari menjual karya pun harus gigit jari.
"Sebagai musisi, kami berharap kepada pemerintah agar musik Indonesia diperhatikan. Kami khawatir dengan kondisi musik Indonesia di mana tren tidak seperti 5-10 tahun lalu," kata Pasha Ungu di Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, Kamis (9/3).
Untuk bertahan hidup dari aksi pembajakan, biasanya seorang musisi rela bekerja sendiri dalam menjual karyanya, atau akrab disebut indie. Pada saat mereka konser, seringkali penjualan secara langsung dilakukan.
"Musisi cenderung bekerja sendiri, berusaha sendiri, menjual sendiri. Ini ada persoalan apakah ini penting atau tidak? Musik Indonesia adalah khazanah," tuturnya.
Tindakan apapun dari pemerintah untuk mendorong musisi dan penyanyi Indonesia supaya lebih maju merupakan satu hal yang sangat penting. Bagaimanapun hak cipta harus dilindungi oleh undang-undang dan dilakukan penindakan atas pelanggarnya.
"Buat kami ini sangat penting. Siapapun Kementrian terkait harus bertindak. Untuk menjual hak cipta. Jangan sampai negara Indonesia tidak perhatikan musik Indonesia sendiri," ujar Pasha.
Bagi Pasha, musik Indonesia selayaknya bahasa Indonesia yang harus dipertahankan dari gerusan budaya asing. "Bayangkan kalau tidak ada musik Indonesia? Musik Indonesia sama kayak bahasa Indonesia. Di saat derasnya orang banyak bahasa asing, jangan sampai itu terjadi itu sama kayak musik Indonesia," tukas Pasha Ungu di Hari Musik Nasional.