Makin Jarang Digunakan, Tarif Telepon Harus Lebih Terjangkau?

Henry Hens diperbarui 09 Mar 2017, 19:57 WIB

Fimela.com, Jakarta Dalam sehari atau mungkin seminggu, berapa waktu yang kamu gunakan untuk menelepon atau ditelepon orang lain? Rasanya tidak banyak. Maklum saja belakangan ini masyarakat Indonesia dan bahkan dunia, lebih sering berkomunikasi melalui media sosial atau fasilitas percakapan seperti WhatsApp, BBM, chatting dan lain-lain dibandingkan telepon.

Telepon dan SMS hanya digunakan sesekali, itupun biasanya untuk keperluan mendesak saja. Lalu, apakah biaya atau tarif telepon seharusnya bisa lebih murah atau terjangkau? Pertanyaan inilah yang jadi bagian dalam seminar nasional dengan tema besar tentang penurunan biaya interkoneksi. Acara yang diprakarasai oleh Indonesia Technology Forum (ITF) tersebut diadakan di Ballroom Crowne Plaza Hotel, Jakarta, Selasa (7/3/2017).

Dalam sambutan melalui rekaman video, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara menekankan kembali kalau interkoneksi adalah hak pelanggan yang harus dilayani oleh masyarakat. Menurutnya, ada lima dimensi terkait interkoneksi. Salah satunya adalah bagaimana industri seluler tetap sustainable ke depan serta semakin kompetitif sehingga bisa menawarkan layanan yang terjangkau (affordable) bagi masyarakat.

Sementara itu menurut Benyamin Sura, Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kominfo, saat ini pihaknya masih terus mengkaji dengan BRTI terkait besaran interkoneksi. Sedangkan menurut I Ketut Prihadi Kresna, salah seorang komisioner BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) pihaknya sangat mendukung industri telekomunikasi yang sehat.

Pendapat menarik datang dari pengamat telekomunikasi, Bambang P. Adiwiyoto yang menyatakan sejak beberapa tahun lalu dasar yang digunakan oleh regulasi dalam menghitung interkoneksi adalah LRIC (Long Run Incremental Cost). Artinya, konsumen bisa menggugat kalau dasar yang digunakan dalam mengambil kebijakan tarif interkoneksi itu bukan dari hitungan paling efisien.

Penurunan tarif interkoneksi nantinya akan membuat trafik atau lalu lintas telepon meningkat.  Dengan begitu, pendapatan operator tidak akan terlalu tergerus dengan penurunan tarif interkoneksi. Industri telekomunikasi seluler yang kuat tentu membutuhkan iklim usaha yang kompetitif karena berhubungan dengan hajat hidup masyarakat.

Kementerian Kominfo mendorong operator untuk melakukan efisiensi dan keberlanjutan industri penyelenggaraan telekomunikasi dengan menurunkan tarif interkoneksi.  Tapi, kebijakan itu tak serta merta disambut oleh seluruh operator. Operator berbeda pendapat, ada yang pro, ada pula yang kontra. Turunnya biaya interkoneksi juga diyakini tak akan menggerus pendapatan operator karena pasar Indonesia sensitif terhadap harga.

Karena itu jelas, kebijakan penurunan biaya interkoneksi adalah kebijakan yang pro konsumen.  Konsumen akan memperoleh tarif telepon antar operator yang semakin murah dan tak perlu membuat operator khawatir berlebihan. Turunnya tarif bisa membuat potensi jumlah panggilan melalui telepon akan lebih meningkat.

 

What's On Fimela